Langkah-langkah itu. Pegangan pada pinggangnya. Putaran lembut tapi terkalkulasi. Alana mulai menyadarinya, perlahan. Gerakan "Brian" memang jauh lebih anggun, lebih terlatih. Tapi ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan—nuansa di setiap pergerakannya, tekanan di ujung jari, ritme tubuhnya saat memimpin tarian. Sangat akrab. Terlalu akrab.Chandra bukan penari yang hebat, tapi pernah, suatu malam di ruang tamu apartemen kecil mereka, Chandra mencoba mengajarinya langkah waltz sambil tertawa karena Alana kerap menginjak kaki Chandra. Mereka waktu itu hanya memakai kaos oblong dan celana rumah, lampu digelapkan setengah. Alana sempat menggodanya,"Tau nggak, kita kayak pasangan di B-movie." Dan Chandra menjawab dengan menjatuhkan ciuman di puncak kepalanya. Malam itu tidak sempurna, tapi penuh tawa. Hangat. Nyata.
Lampu sorot mengarah padanya saat Alana melangkah maju ke podium. Tangannya tenang, namun di dalam dadanya, detak jantung menggema lebih keras dari gemuruh tepuk tangan yang mengiringinya. Ia tahu apa yang diharapkan orang-orang. Senyum manis, kata-kata aman, sebaris pujian untuk suami yang berdiri gagah di sebelahnya. Ia tahu dirinya hanya figuran yang kebetulan memakai gaun mahal dan nama besar.Tapi tidak malam ini.“Terima kasih atas sambutan hangatnya,” ucap Alana, suaranya bening namun mantap. Ia menatap sekilas pada Brian, lalu menoleh ke arah barisan kursi yang dihuni para elite dan media. “Saya tidak akan berbicara panjang. Hanya ingin sedikit melengkapi apa yang tadi disampaikan oleh suami saya. Tentang persatuan.”Beberapa kepala mulai menoleh, penasaran. Alana berhenti sejen
Setelah melewati lampu-lampu kamera dan sorot mata publik, seorang wanita paruh baya dengan name tag kecil di dada dan clipboard di tangan menyambut mereka dengan langkah terburu-buru.“Tuan dan Nyonya Ravenshade, terima kasih sudah datang,” katanya, suaranya sedikit tegang.“Para tamu kehormatan sudah menunggu di ruang VIP. Pembukaan resmi akan dimulai dalam sepuluh menit.”Brian mengangguk tenang, lalu merentangkan tangannya ke arah Alana, mengisyaratkan agar ia ikut. Alana diam saja, melangkah pelan di sampingnya, pikirannya masih tertinggal di arena karpet merah. Ia belum sepenuhnya siap menghadapi ruangan itu. Tapi tidak ada waktu lagi untuk menunda.Ruang VIP itu berlapis kemewahan. Langit-langitnya tinggi, dindingnya dipenuhi lukisan kontemporer. Sofa-
Beberapa hari setelah kejadian dengan kain sutra, Alana masih belum bisa menyusun ulang pikirannya. Ia mencoba fokus di studio, menenggelamkan diri di balik layar tablet dan deretan benang yang belum disentuh. Tapi pikirannya terus terganggu oleh satu hal, Brian. dan niat tersembunyi di balik segala yang ia lakukan.Saat siang merayap pelan, Brian lagi-lagi masuk tanpa banyak suara. Ia meletakkan sesuatu di meja kerja Alana. Sebuah undangan berdesain mewah dengan emboss emas. Gala Tahunan Museum Kaliandra.“Acaranya besok malam,” kata Brian datar. “Kehadiran kita wajib. Ravenshade sponsor utama. Jadi ini adalah salah satu agenda terpenting tahun ini.”Alana mengangkat alis, lalu menggeleng pelan. “Ralat. Kehadiran kamu yang penting. Bukan aku.” Ia menatap undangan itu, lama. Ia tahu persis acara ini. Semua petinggi industri akan ada di sana. Pers dan kamera. Para investor. Dan para musuh. Semua menyatu dalam satu ruang yang berkilau. Sebuah ide mulai menyusup ke dalam benaknya, diam-
Malam itu, apartemen mungil Riana terasa lebih sempit dari biasanya. Udara tak bergerak, seolah menahan napas bersamanya. Sebuah paket kecil tanpa nama pengirim tergeletak di depan pintu apartmentnya.Perutnya langsung berontak. Ia mundur satu langkah, lalu dua. Pikirannya meloncat-loncat. Kalau pria itu sampai tahu alamat apartemennya, berarti dia tahu lebih banyak. Terlalu banyak. Ia memejamkan mata, menahan napas dalam-dalam. Tangannya gemetar saat akhirnya membuka bungkus coklat lusuh itu dan menemukan sebuah USB drive berwarna hitam matte beserta secarik kertas di dalamnya.Ponselnya bergetar. Nomor tak dikenal, tapi ia tahu siapa yang menelepon. Suara di seberang terdengar tenang, nyaris santai. Seperti sedang memesan kopi, bukan memerintah kejahatan."Kayak biasa aja, ikuti petunjuknya," kata pria itu.
Beberapa hari setelah insiden itu, butik Valestra Bridal tidak lagi terasa seperti tempat yang sama. Dinding putih yang dulu menenangkan kini seakan menindas. Di balik kaca jendela besar, dua pria bertubuh kekar berdiri tegak memakai jas hitam, bergantian mengawasi sekeliling.Di dalam, suara bor dan langkah sepatu teknisi menggema. Kamera-kamera baru kini tergantung di setiap sudut, berkedip pelan seperti mata-mata yang tak pernah lelah. Detektor gerakan, suhu infrared, hingga kunci biometrik juga sudah terpasang kemarin. Alana berdiri di pojok ruangan, tangannya menyilang di dada, matanya tajam mengamati proses pemasangan.Riana mencoba bekerja. Tangannya menata tumpukan kain satin di rak display, tapi gerakannya terlalu hati-hati, terlalu sadar. Sesekali ia melirik ke atas, ke arah kamera yang seolah menatap langsung ke tengkuknya. Ia menarik napas, me