Di dalam ruang VIP yang terisolasi dari riuh gala, atmosfer berubah jadi ruang hampa yang pekat. Dinding-dinding kayu gelap dan lampu gantung kristal mewah tak mampu menghangatkan ketegangan yang menggantung di udara.
Edgar Ravenshade mondar-mandir, langkah-langkahnya cepat dan penuh tekanan, sepatu kulitnya memukul lantai dengan denting halus tapi menusuk. Sementara itu, Silvano Valestra berdiri mematung di tengah ruangan, kedua tangannya saling mencengkeram di depan dada, ekspresinya antara malu dan terdesak.
"Apa-apaan itu tadi, Silvano?!" suara Edgar keluar rendah, terkendali, namun tajam. "Putrimu baru saja secara tidak langsung memberitahu seluruh dunia bahwa pernikahan ini dibangun di atas sebuah tragedi. Apa dia gila?"
Silvano mengangkat wajahnya, berusaha mempertahankan nada bicara yang tetap tenang.
Alana menatap ayahnya dalam diam, masih terhuyung dalam pikirannya sendiri. "Alana’s Touch?" ucapnya lirih, hampir tak percaya pada apa yang baru saja ia dengar. Ia merasa seolah nama itu dicabut paksa dari hatinya dan dijadikan label dagang."Apa maksudnya, Ayah? Gak mungkin kan mereka tertarik pada perusahaan keceil seperti Valestra Bridal milikku? "Silvano menghela napas panjang, lalu menatap anak perempuannya tanpa simpati. “Kamu masih tak mengerti juga, Alana?”“Mereka tidak membeli perusahaan kita, mereka membeli namamu. Reputasimu. Pengaruhmu di dunia fashion, dan cara du
Bab 23Pagi itu, suara dering telepon mengusik tidur Alana. Dengan mata masih berat dan kepala terasa seperti dipenuhi kapas, ia mengangkat panggilan dari nomor yang sudah terlalu akrab.“Tuan Valestra meminta kehadiran Anda di kantor pusat, pukul sepuluh tepat,” suara sekretaris ayahnya terdengar kaku dan tak bisa ditawar. “Ini mendesak.”Alana mengangguk kecil meski tahu tak bisa terlihat. “Baik,” jawabnya singkat sebelum memutus panggilan.Ia beranjak dari tempat tidur dan bersiap, membiarkan pikirannya tetap tertahan pada sisa perasaan dari malam sebelumnya. Ia mengenakan setelan semi formal yang lebih segar, tapi bebannya masih menempel di pundak. Ia turun ke bawah, melangkah ke dapur dengan langkah cepa
Di dalam ruang VIP yang terisolasi dari riuh gala, atmosfer berubah jadi ruang hampa yang pekat. Dinding-dinding kayu gelap dan lampu gantung kristal mewah tak mampu menghangatkan ketegangan yang menggantung di udara.Edgar Ravenshade mondar-mandir, langkah-langkahnya cepat dan penuh tekanan, sepatu kulitnya memukul lantai dengan denting halus tapi menusuk. Sementara itu, Silvano Valestra berdiri mematung di tengah ruangan, kedua tangannya saling mencengkeram di depan dada, ekspresinya antara malu dan terdesak."Apa-apaan itu tadi, Silvano?!" suara Edgar keluar rendah, terkendali, namun tajam. "Putrimu baru saja secara tidak langsung memberitahu seluruh dunia bahwa pernikahan ini dibangun di atas sebuah tragedi. Apa dia gila?"Silvano mengangkat wajahnya, berusaha mempertahankan nada bicara yang tetap tenang.
Langkah-langkah itu. Pegangan pada pinggangnya. Putaran lembut tapi terkalkulasi. Alana mulai menyadarinya, perlahan. Gerakan "Brian" memang jauh lebih anggun, lebih terlatih. Tapi ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan—nuansa di setiap pergerakannya, tekanan di ujung jari, ritme tubuhnya saat memimpin tarian. Sangat akrab. Terlalu akrab.Chandra bukan penari yang hebat, tapi pernah, suatu malam di ruang tamu apartemen kecil mereka, Chandra mencoba mengajarinya langkah waltz sambil tertawa karena Alana kerap menginjak kaki Chandra. Mereka waktu itu hanya memakai kaos oblong dan celana rumah, lampu digelapkan setengah. Alana sempat menggodanya,"Tau nggak, kita kayak pasangan di B-movie." Dan Chandra menjawab dengan menjatuhkan ciuman di puncak kepalanya. Malam itu tidak sempurna, tapi penuh tawa. Hangat. Nyata.
Lampu sorot mengarah padanya saat Alana melangkah maju ke podium. Tangannya tenang, namun di dalam dadanya, detak jantung menggema lebih keras dari gemuruh tepuk tangan yang mengiringinya. Ia tahu apa yang diharapkan orang-orang. Senyum manis, kata-kata aman, sebaris pujian untuk suami yang berdiri gagah di sebelahnya. Ia tahu dirinya hanya figuran yang kebetulan memakai gaun mahal dan nama besar.Tapi tidak malam ini.“Terima kasih atas sambutan hangatnya,” ucap Alana, suaranya bening namun mantap. Ia menatap sekilas pada Brian, lalu menoleh ke arah barisan kursi yang dihuni para elite dan media. “Saya tidak akan berbicara panjang. Hanya ingin sedikit melengkapi apa yang tadi disampaikan oleh suami saya. Tentang persatuan.”Beberapa kepala mulai menoleh, penasaran. Alana berhenti sejen
Setelah melewati lampu-lampu kamera dan sorot mata publik, seorang wanita paruh baya dengan name tag kecil di dada dan clipboard di tangan menyambut mereka dengan langkah terburu-buru.“Tuan dan Nyonya Ravenshade, terima kasih sudah datang,” katanya, suaranya sedikit tegang.“Para tamu kehormatan sudah menunggu di ruang VIP. Pembukaan resmi akan dimulai dalam sepuluh menit.”Brian mengangguk tenang, lalu merentangkan tangannya ke arah Alana, mengisyaratkan agar ia ikut. Alana diam saja, melangkah pelan di sampingnya, pikirannya masih tertinggal di arena karpet merah. Ia belum sepenuhnya siap menghadapi ruangan itu. Tapi tidak ada waktu lagi untuk menunda.Ruang VIP itu berlapis kemewahan. Langit-langitnya tinggi, dindingnya dipenuhi lukisan kontemporer. Sofa-