Alana merasa udara di penthouse semakin sempit, seperti setiap helaan napasnya diawasi dan ditakar. Dinding-dinding elegan yang dulu terasa mewah kini berubah menjadi penjara kaca yang terlalu terang. Ia melangkah cepat ke arah pintu, tak menoleh lagi.
“Sudahlah, Aku mau pergi dulu ke butik,” katanya datar, tanpa menunggu tanggapan. “Nggak usah tunggu aku pulang. Kamu tahu aku di mana.”
Ia tidak menunggu jawaban. Tangannya sempat menyentuh tablet di meja, lalu melepaskannya. Ia sengaja membiarkannya di sana. Bukan hanya karena jijik, tapi karena ia tidak mau membawa mata-mata bersamanya.
Di dalam mobil, ia tidak menyalakan musik. Jalanan hanya berisi suara mesinnya sendiri dan pikiran yang menabrak satu sama lain. Hanya di Valestra Bridal ia merasa bisa bernapas tanpa rasa curiga. Meskipun ia
Kantor Leo Ravenshade selalu tampak terlalu luas untuk satu orang. Ruangan di lantai atas itu dibalut furnitur kayu gelap yang mewah. Leo duduk dengan dagu bertumpu pada tangan, memandangi grafik pasar saham yang tak kunjung berubah dengan jenuh.Pintu diketuk ringan lalu terbuka. Seorang gadis muda dengan tubuh ramping dan langkah gemulai, dengan percaya diri melangkah masuk. Usianya awal dua puluhan. Rambut panjangnya terurai sempurna, bibirnya diberi warna yang terlalu mencolok untuk dandanan profesional. Ia berdiri di depan meja Leo dengan gaya setengah menggoda.“Permisi, Pak. Aku punya informasi yang ... menarik,” ujarnya sambil menunduk sedikit, lalu memiringkan tubuhnya.Ia mencondongkan diri ke arah Leo
Pagi itu, langit masih mendung ketika Brian tiba di kantor pusat Ravenshade. Bangunan tinggi dengan kaca-kaca biru yang mencerminkan awan kelabu itu tampak seperti biasa: sibuk, formal, dan dingin. Pegawai berlalu-lalang dengan langkah cepat, membawa berkas dan laptop, membentuk irama efisien yang telah menjadi denyut harian perusahaan. Namun di tengah arus itu, Brian berjalan tenang, dengan tujuan yang tersembunyi rapi di balik ekspresi datarnya.Ia memasuki lobi lantai eksekutif dan memberikan anggukan singkat pada Vincent yang sudah menunggunya di dekat lift. Mereka tidak bertukar sapaan. Hanya satu tatapan singkat yang cukup untuk mengabarkan bahwa semuanya berjalan sesuai rencana.“Selamat pagi,” Brian menyapa tegas, dingin. “Kita langsung aja.”
Larut malam. Di ruang kerja penthouse yang senyap, Brian duduk tanpa suara di kursinya. Ia tidak menyalakan lampu, membiarkan gelap merayap di setiap sudut ruangan. Satu-satunya cahaya berasal dari layar laptopnya yang terbuka di depannya, menyinari separuh wajahnya yang tegang dan tak berkedip. Di layar, terpampang denah jaringan internal Ravenshade Tower. Informasi dari Raven berputar terus di kepalanya: server privat, terhubung ke jaringan Ravenshade Tower.Jari-jarinya mengetik pelan, membuka file catatan yang terenkripsi ganda. Begitu terbuka, ia menuliskan tiga nama. “Edgar Ravenshade. Isabella Ravenshade. Leo Ravenshade.”Tiga nama. Satu gedung. Satu keluarga. Hanya mereka yang punya akses penuh dan cukup berani untuk bermain di ruang abu-abu teknologi. Brian menyandarkan tubuh, menggerakkan bahunya perlahan, mencoba meredam ketegangan yang makin merayap dari belakang leher ke kepala. Pikirannya mulai memilah.Edgar. Ayahnya. Rasional, konservatif, nyaris obsesif terhadap rep
Alana merasa udara di penthouse semakin sempit, seperti setiap helaan napasnya diawasi dan ditakar. Dinding-dinding elegan yang dulu terasa mewah kini berubah menjadi penjara kaca yang terlalu terang. Ia melangkah cepat ke arah pintu, tak menoleh lagi.“Sudahlah, Aku mau pergi dulu ke butik,” katanya datar, tanpa menunggu tanggapan. “Nggak usah tunggu aku pulang. Kamu tahu aku di mana.”Ia tidak menunggu jawaban. Tangannya sempat menyentuh tablet di meja, lalu melepaskannya. Ia sengaja membiarkannya di sana. Bukan hanya karena jijik, tapi karena ia tidak mau membawa mata-mata bersamanya.Di dalam mobil, ia tidak menyalakan musik. Jalanan hanya berisi suara mesinnya sendiri dan pikiran yang menabrak satu sama lain. Hanya di Valestra Bridal ia merasa bisa bernapas tanpa rasa curiga. Meskipun ia
Mobil meluncur mulus di jalan kota Kaliandra, tapi jantung Alana memukul-mukul dari dalam, menggedor tulang dadanya setelah membaca pesan itu. Ia menoleh ke kaca spion, berharap menemukan satu yang tampak mencurigakan. Tapi yang dilihatnya hanya mobil biasa, dan bayangannya sendiri yang terpantul di kaca. Tidak ada yang terlihat salah. Tapi perasaannya berkata lain.Ia menarik napas pendek, membuka tas kerjanya dengan gerakan cepat, lalu mengeluarkan tabletnya. Layarnya menyala dengan sedikit jeda. Ia memperhatikan bahwa transisinya tak sehalus biasanya. Peralihannya sedikit tersendat. Ia membuka pengaturan baterai. Angka-angkanya menunjukkan bahwa daya habis lebih cepat dari biasanya. Ponsel dan tablet memang bisa menua, tapi ini sesuatu yang lain. Sesuatu yang tidak wajar.“Aneh … Sejak kapan seperti ini?”Pikirannya melayang pada malam itu.Ketika Chandra mengajarinya dasar-dasar keamanan digital sambil menyesap kopi sachet favoritnya dari pantry. "Kalau perangkatmu tiba-tiba lemot
Celestine Sky Lounge berada di puncak sebuah Bangunan mixed-use termewah di kota Kaliandra. Meja-meja terpisah oleh sekat kaca dan tanaman, menciptakan ruang privat yang hening.Leo bangkit dari kursinya ketika melihatnya datang. Ia mengenakan jas kasual abu-abu, senyumnya ramah, terlalu ramah. Alana membalasnya dengan senyum tipis yang tampak letih namun tulus.“Terima kasih sudah meluangkan waktu, Leo,” ujar Alana lirih. Ia memilih gaun longgar warna biru keabu-abuan, riasan tipis dengan sengaja memperlihatkan lingkar mata. Luka yang dibalut dengan keanggunan.“Aku justru senang kau menghubungiku,” sahut Leo setelah menarik kursi untuk Alana, sambil duduk kembali, nadanya hangat, manis. “Kau tampak sangat… tenang. Tapi aku tahu tenang itu justru untuk menyembunyikan badai, buka