Riana berdiri sendirian di rooftop yang nyaris gelap. Angin malam memukul-mukul rambut dan bajunya, membawa aroma semen kering dan logam yang belum disentuh manusia terlalu lama. Tempat itu bukan kafe, bukan lounge.
Ini bukan tempat orang berkumpul untuk berbagi cerita. Ini tempat sepi, dingin, berdebu, dan belum resmi digunakan. Rooftop dari gedung perkantoran kosong, terletak cukup tinggi untuk melihat kelap-kelip lampu kota, tapi cukup tersembunyi untuk memastikan tak seorang pun tahu apa yang terjadi di atas sana.
Ia melangkah ke pinggir pagar kaca, mencoba menenangkan napas. Tangannya menggenggam ponsel di balik jaketnya, seolah benda itu bisa jadi perlindungan. Tapi ia tahu, tidak ada sinyal yang bisa menyelamatkan malam ini jika sesuatu melenceng.
“Kau bukannya...” kata-kata Riana tertahan di tenggorokannya, Napasnya belum teratur, dan matanya masih menatap ke arah pintu rooftop yang baru saja tertutup.Dina meliriknya, “Kau kerja di Valestra Bridal, kan? Perusahaan kakakku, Alana. Aku pernah lihat kau di sana.” Ia tersenyum. “Tadi aku lihat kau jalan buru-buru, jadi maaf ya, aku buntuti.”“Eh… nggak. Justru aku yang makasih.” Suara Riana bergetar, dan ia menunduk. “Aku... nggak tahu apa jadinya kalau kamu nggak datang tadi.”Dina hanya menatap Riana dengan sorot lembut yang tidak memaksa. Rasa iba dan penasaran bercampur dalam diamnya.“Aku penasaran,” ucap Dina akhirnya. “Apa yang kalian bicarakan tadi? Kalau kamu bersedia cerit
Riana berdiri sendirian di rooftop yang nyaris gelap. Angin malam memukul-mukul rambut dan bajunya, membawa aroma semen kering dan logam yang belum disentuh manusia terlalu lama. Tempat itu bukan kafe, bukan lounge. Ini bukan tempat orang berkumpul untuk berbagi cerita. Ini tempat sepi, dingin, berdebu, dan belum resmi digunakan. Rooftop dari gedung perkantoran kosong, terletak cukup tinggi untuk melihat kelap-kelip lampu kota, tapi cukup tersembunyi untuk memastikan tak seorang pun tahu apa yang terjadi di atas sana.Ia melangkah ke pinggir pagar kaca, mencoba menenangkan napas. Tangannya menggenggam ponsel di balik jaketnya, seolah benda itu bisa jadi perlindungan. Tapi ia tahu, tidak ada sinyal yang bisa menyelamatkan malam ini jika sesuatu melenceng.
Kantor Leo Ravenshade selalu tampak terlalu luas untuk satu orang. Ruangan di lantai atas itu dibalut furnitur kayu gelap yang mewah. Leo duduk dengan dagu bertumpu pada tangan, memandangi grafik pasar saham yang tak kunjung berubah dengan jenuh.Pintu diketuk ringan lalu terbuka. Seorang gadis muda dengan tubuh ramping dan langkah gemulai, dengan percaya diri melangkah masuk. Usianya awal dua puluhan. Rambut panjangnya terurai sempurna, bibirnya diberi warna yang terlalu mencolok untuk dandanan profesional. Ia berdiri di depan meja Leo dengan gaya setengah menggoda.“Permisi, Pak. Aku punya informasi yang ... menarik,” ujarnya sambil menunduk sedikit, lalu memiringkan tubuhnya.Ia mencondongkan diri ke arah Leo
Pagi itu, langit masih mendung ketika Brian tiba di kantor pusat Ravenshade. Bangunan tinggi dengan kaca-kaca biru yang mencerminkan awan kelabu itu tampak seperti biasa: sibuk, formal, dan dingin. Pegawai berlalu-lalang dengan langkah cepat, membawa berkas dan laptop, membentuk irama efisien yang telah menjadi denyut harian perusahaan. Namun di tengah arus itu, Brian berjalan tenang, dengan tujuan yang tersembunyi rapi di balik ekspresi datarnya.Ia memasuki lobi lantai eksekutif dan memberikan anggukan singkat pada Vincent yang sudah menunggunya di dekat lift. Mereka tidak bertukar sapaan. Hanya satu tatapan singkat yang cukup untuk mengabarkan bahwa semuanya berjalan sesuai rencana.“Selamat pagi,” Brian menyapa tegas, dingin. “Kita langsung aja.”
Larut malam. Di ruang kerja penthouse yang senyap, Brian duduk tanpa suara di kursinya. Ia tidak menyalakan lampu, membiarkan gelap merayap di setiap sudut ruangan. Satu-satunya cahaya berasal dari layar laptopnya yang terbuka di depannya, menyinari separuh wajahnya yang tegang dan tak berkedip. Di layar, terpampang denah jaringan internal Ravenshade Tower. Informasi dari Raven berputar terus di kepalanya: server privat, terhubung ke jaringan Ravenshade Tower.Jari-jarinya mengetik pelan, membuka file catatan yang terenkripsi ganda. Begitu terbuka, ia menuliskan tiga nama. “Edgar Ravenshade. Isabella Ravenshade. Leo Ravenshade.”Tiga nama. Satu gedung. Satu keluarga. Hanya mereka yang punya akses penuh dan cukup berani untuk bermain di ruang abu-abu teknologi. Brian menyandarkan tubuh, menggerakkan bahunya perlahan, mencoba meredam ketegangan yang makin merayap dari belakang leher ke kepala. Pikirannya mulai memilah.Edgar. Ayahnya. Rasional, konservatif, nyaris obsesif terhadap rep
Alana merasa udara di penthouse semakin sempit, seperti setiap helaan napasnya diawasi dan ditakar. Dinding-dinding elegan yang dulu terasa mewah kini berubah menjadi penjara kaca yang terlalu terang. Ia melangkah cepat ke arah pintu, tak menoleh lagi.“Sudahlah, Aku mau pergi dulu ke butik,” katanya datar, tanpa menunggu tanggapan. “Nggak usah tunggu aku pulang. Kamu tahu aku di mana.”Ia tidak menunggu jawaban. Tangannya sempat menyentuh tablet di meja, lalu melepaskannya. Ia sengaja membiarkannya di sana. Bukan hanya karena jijik, tapi karena ia tidak mau membawa mata-mata bersamanya.Di dalam mobil, ia tidak menyalakan musik. Jalanan hanya berisi suara mesinnya sendiri dan pikiran yang menabrak satu sama lain. Hanya di Valestra Bridal ia merasa bisa bernapas tanpa rasa curiga. Meskipun ia