“Kau bukannya...” kata-kata Riana tertahan di tenggorokannya, Napasnya belum teratur, dan matanya masih menatap ke arah pintu rooftop yang baru saja tertutup.
Dina meliriknya, “Kau kerja di Valestra Bridal, kan? Perusahaan kakakku, Alana. Aku pernah lihat kau di sana.” Ia tersenyum. “Tadi aku lihat kau jalan buru-buru, jadi maaf ya, aku buntuti.”
“Eh… nggak. Justru aku yang makasih.” Suara Riana bergetar, dan ia menunduk. “Aku... nggak tahu apa jadinya kalau kamu nggak datang tadi.”
Dina hanya menatap Riana dengan sorot lembut yang tidak memaksa. Rasa iba dan penasaran bercampur dalam diamnya.
“Aku penasaran,” ucap Dina akhirnya. “Apa yang kalian bicarakan tadi? Kalau kamu bersedia cerit
Bab 36 Apa Yang Kau RenggutAlana masih duduk di tempatnya, kedua tangannya menggenggam pensil rosewood itu seolah benda itu bisa memberinya jawaban. Tapi tak ada jawaban, hanya pertanyaan yang terus bergema. Ini bukan hal kecil. Ini bukan sekadar kejutan manis dari seorang suami yang perhatian. Ini adalah sesuatu yang lebih dalam, lebih mengganggu. “Bagaimana Brian bisa tahu tentang toko kecil itu di Montmartre? Bagaimana ia bisa menemukan model yang persis sama? Dan yang paling membingungkan… bagaimana ia bisa mendapatkan tulisan tangan Chandra?”Ia menggigit bibirnya, matanya menatap kosong ke arah lantai. “Apa lewat foto? Atau…” Napasnya memburu. “Apa dia meny
Studio itu sunyi. Hanya bunyi gemerisik halus dari kertas yang disentuh jemari Alana, dan deru pendingin udara yang bekerja terlalu keras untuk ruangan sebesar itu. Di atas meja, lampu sudut menyala temaram, menciptakan lingkar cahaya sempit yang hanya menerangi sebagian besar kertas-kertas berserakan, kain, dan pensil-pensil warna yang berserak. Di tengahnya, ia duduk, membungkuk, dengan mata yang memerah karena lelah dan kepala yang berat oleh desain yang tak kunjung selesai.Tangannya menggenggam pensil mekanik rosewood kesayangannya. Ujungnya sudah tumpul. Ia menekannya lagi, sedikit lebih keras. Sekejap kemudian, suara kecil itu terdengar."Ctakk."Alana terdiam. Ia menunduk dan melihat pecahan grafit runcing yang jatuh ke atas kertas. Lalu matanya jatuh pada pensil itu, terbelah halus di ujung, retak memanjang
“Kau bukannya...” kata-kata Riana tertahan di tenggorokannya, Napasnya belum teratur, dan matanya masih menatap ke arah pintu rooftop yang baru saja tertutup.Dina meliriknya, “Kau kerja di Valestra Bridal, kan? Perusahaan kakakku, Alana. Aku pernah lihat kau di sana.” Ia tersenyum. “Tadi aku lihat kau jalan buru-buru, jadi maaf ya, aku buntuti.”“Eh… nggak. Justru aku yang makasih.” Suara Riana bergetar, dan ia menunduk. “Aku... nggak tahu apa jadinya kalau kamu nggak datang tadi.”Dina hanya menatap Riana dengan sorot lembut yang tidak memaksa. Rasa iba dan penasaran bercampur dalam diamnya.“Aku penasaran,” ucap Dina akhirnya. “Apa yang kalian bicarakan tadi? Kalau kamu bersedia cerit
Riana berdiri sendirian di rooftop yang nyaris gelap. Angin malam memukul-mukul rambut dan bajunya, membawa aroma semen kering dan logam yang belum disentuh manusia terlalu lama. Tempat itu bukan kafe, bukan lounge. Ini bukan tempat orang berkumpul untuk berbagi cerita. Ini tempat sepi, dingin, berdebu, dan belum resmi digunakan. Rooftop dari gedung perkantoran kosong, terletak cukup tinggi untuk melihat kelap-kelip lampu kota, tapi cukup tersembunyi untuk memastikan tak seorang pun tahu apa yang terjadi di atas sana.Ia melangkah ke pinggir pagar kaca, mencoba menenangkan napas. Tangannya menggenggam ponsel di balik jaketnya, seolah benda itu bisa jadi perlindungan. Tapi ia tahu, tidak ada sinyal yang bisa menyelamatkan malam ini jika sesuatu melenceng.
Kantor Leo Ravenshade selalu tampak terlalu luas untuk satu orang. Ruangan di lantai atas itu dibalut furnitur kayu gelap yang mewah. Leo duduk dengan dagu bertumpu pada tangan, memandangi grafik pasar saham yang tak kunjung berubah dengan jenuh.Pintu diketuk ringan lalu terbuka. Seorang gadis muda dengan tubuh ramping dan langkah gemulai, dengan percaya diri melangkah masuk. Usianya awal dua puluhan. Rambut panjangnya terurai sempurna, bibirnya diberi warna yang terlalu mencolok untuk dandanan profesional. Ia berdiri di depan meja Leo dengan gaya setengah menggoda.“Permisi, Pak. Aku punya informasi yang ... menarik,” ujarnya sambil menunduk sedikit, lalu memiringkan tubuhnya.Ia mencondongkan diri ke arah Leo
Pagi itu, langit masih mendung ketika Brian tiba di kantor pusat Ravenshade. Bangunan tinggi dengan kaca-kaca biru yang mencerminkan awan kelabu itu tampak seperti biasa: sibuk, formal, dan dingin. Pegawai berlalu-lalang dengan langkah cepat, membawa berkas dan laptop, membentuk irama efisien yang telah menjadi denyut harian perusahaan. Namun di tengah arus itu, Brian berjalan tenang, dengan tujuan yang tersembunyi rapi di balik ekspresi datarnya.Ia memasuki lobi lantai eksekutif dan memberikan anggukan singkat pada Vincent yang sudah menunggunya di dekat lift. Mereka tidak bertukar sapaan. Hanya satu tatapan singkat yang cukup untuk mengabarkan bahwa semuanya berjalan sesuai rencana.“Selamat pagi,” Brian menyapa tegas, dingin. “Kita langsung aja.”