Pintu rumah keluarga Valestra terbuka dengan suara engsel yang terlalu nyaring, Irine langsung memeluk Alana erat, terlalu erat. Tangan dinginnya mencengkeram lengan Alana lebih lama dari yang perlu.“Sayang,” bisiknya, senyum lebar menghiasi wajahnya. Saat pelukan itu dilepas, Irine melirik Brian sebentar, penilaian cepat, diikuti senyum manis diplomatis.“Kalian kelihatan lebih segar malam ini.”Silvano, ayah Alana, muncul dari ruang belakang dengan anggukan singkat. Tak ada pelukan, tak ada senyum, hanya sorot mata yang tetap netral dan jabat tangan mantap pada Brian seperti biasanya. Namun malam ini, bahkan keheningan Silvano terasa penuh bobot. Seolah ia menyimpan sesuatu, atau menunggu sesuatu.“Kakak!” suara manis it
Bab 67 Kita Matahari pagi menembus kaca besar penthouse, memantulkan kilau dingin di permukaan meja makan yang terlalu rapi. Sarapan sudah tersaji, roti panggang yang sempurna, potongan buah yang presisi. Brian duduk di ujung meja, mengenakan kemeja kasual yang kontras dengan nada pembicaraannya. “Tentang malam ini,” ujarnya perlahan, tanpa menatap Alana. Suaranya datar, nyaris terdengar seperti membaca instruksi dari manual strategi. “Kita harus kelihatan kompak. Mereka akan mengamati setiap detail.”Tangannya memutar cangkir kopi di antara jemarinya, tetapi matanya tetap tidak berpindah dari permukaan meja. Tidak ada jeda basa-basi, tidak ada nada lembut. Hanya rencana.“Nggak boleh ada argumen. Nggak bisa diem-dieman. Kita harus terlihat seperti pasangan yang sedang melewati masa sulit, tetapi bersatu. Kita adalah tim.”Kata itu, terdengar asing dan ironis di antara dua orang yang selama ini lebih sering saling menusuk dengan kata-kata daripada bekerja sama. Namun, Alana tidak b
Riana telah pergi, meninggalkan studio dalam keadaan setengah gelap. Gaun-gaun setengah jadi bergantung di manekin seperti saksi bisu yang tidak bisa menenangkan apa pun. Alana duduk di kursi kerjanya, punggungnya melengkung ke depan, jari-jarinya saling menggenggam erat di pangkuan. Ruangan itu terasa lebih dingin sekarang, seakan perpisahan barusan menyisakan celah yang belum bisa ditutup.Ia memutar ulang tiap detik yang baru saja terjadi. Nada suaranya sendiri yang penuh tuduhan. Wajah Riana yang berubah drastis dari terkejut menjadi hancur. Dan pelukannya yang datang terlambat, mencoba menambal sesuatu yang sudah sobek terlalu dalam. Ini bukan hanya kesalahan komunikasi. Ini adalah luka. Dan ia yang menyayatnya. Riana adalah orang terakhir yang ia pikir akan menangis karena dia, dan mungkin justru itu yang membuat rasa bersalah ini begitu menggigit.Alana
Kata-kata itu menghantam Alana tanpa peringatan. Dinginnya menembus kulit, menyusup ke dalam sistem sarafnya. Ruangan terasa mengerut. Napasnya tertahan sesaat, nyaris tak terdengar. Ia tahu betul, ini bukan sekadar pertanyaan ringan dari seorang klien, ini adalah ujian tersembunyi di balik senyum elegan.Seseorang telah menyebarkan racun terlebih dulu. Ia belum sempat membela dirinya, tapi versi lemah dan rapuh dari dirinya sudah lebih dulu diperbincangkan di ruang-ruang privat para sosialita.Ekspresinya terkontrol, tapi pikirannya berputar liar.“Siapa? Siapa yang bisa tahu cukup tentang kehidupan pribadi dan kondisi mentalku?”Hanya ada lingkaran kecil. Sangat kecil. Dan dari tempat duduknya, ia bisa merasakan satu nama mencuat perlahan di
Valestra Bridal siang itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Riana duduk di balik meja desainnya, jari-jarinya diam di atas tablet digital, seolah terjebak di antara satu garis sketsa dan sketsa berikutnya. Bayangan ancaman yang dilempar pria itu tempo hari terus muncul, mencuri fokusnya, menyesakkan dadanya. Dina memang berkata akan melindunginya, tapi rasa bersalah dan Ketakutan terus tumbuh dalam diam.Ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Dina muncul di layar."Riana, kapan kamu senggang? Aku sangat khawatir dengan kak Alana. Dia tampak begitu tertekan, dia bahkan sempat tak pulang ke penthouse-nya. Bisakah kita bicara sebentar? Aku butuh saran darimu."Riana menatap pesan itu lama. Terdapat tekanan dalam kata-kata yang tampak manis itu, seperti undangan yang tak bisa ditolak. Ia mengetik balasan singkat dan menyetujui pertemuan.Mereka bertemu di sebuah kafe kecil dekat gedung butik, tempat yang cukup sepi untuk menyamarkan isi percakapan. Dina datang dengan tampilan sempurna sep
Langkah Alana mantap saat ia tiba di depan apartemen Dina. Pintu terbuka setelah tiga kali bel berbunyi. Dina berdiri di sana, alis terangkat sedikit, mulut membentuk senyum setengah bingung, setengah menyambut.“Kak Alana? Tumben ke sini?” tanyanya, manis. “Masuklah. Ada apa nih?”Alana tidak membuang waktu. Ia menatap adiknya lurus, tak duduk di sofa, tak melepas tas.“Kamu ngomong apa ke Ibu?”Dina memiringkan kepala, gerak tubuhnya terlihat polos.“Lho, maksudnya?” Ia tersenyum kecil, seperti sedang bicara pada anak kecil yang menuduh tanpa alasan. “Aku cuma cerita kalau kamu nggak pulang. Aku khawatir, kak. Gimana kalau sesuatu terjadi sama kakak? Aku kan