“Oke, kalau begitu ... apakah ada saran, Pak Rayhan?” suara Alana terdengar pelan, nyaris tanpa semangat.
Rayhan mengangkat alis sambil tersenyum tipis. “Cukup panggil aku Rayhan saja. Atau... Kak Rayhan juga boleh,” ujarnya ringan, mencoba mencairkan suasana. “Sepertinya usia kita tidak terpaut jauh.”
Alana menatap pria itu dalam diam. Ia menebak usia Rayhan baru awal tiga puluhan, tapi sorot matanya jauh lebih matang dari usianya. Ia tak menanggapi candanya, hanya mengangguk singkat, ekspresinya tetap tegang. “Oke … terus … gimana?”
“Nyonya Ravenshade, saya akan berterus terang,” ujar Rayhan kemudian, nadanya kembali profesional.
“Kontrak ini seperti benteng baja. Disusun oleh tim leg
Mobil melaju mulus menembus jalanan kota, Alana bersandar di kursi, pandangannya tertuju pada deretan lampu yang berlari mundur di kaca jendela. Kilau neon dan cahaya lampu jalan membentuk guratan warna yang kabur, tapi pikirannya jauh dari apa yang ada di luar sana. Ia memutar ulang adegan makan malam tadi, setiap tatapan, setiap jeda, setiap kata yang keluar dari mulutnya. Bagaimana suaranya terdengar begitu tenang, meski jantungnya berdegup cepat.Brian duduk di sampingnya, diam cukup lama hingga deru mesin terdengar seperti satu-satunya suara di mobil. Tangannya bertumpu di setir, matanya menatap jalan, tapi Alana bisa merasakan bahwa pikirannya tidak sepenuhnya fokus pada lalu lintas.“Aku nggak pernah ngelihat kamu kayak gitu sebelumnya.”Suaranya pelan, nyaris seperti berbicara kepada diri s
Clarissa meneguk anggurnya, lalu memandang Alana dengan tatapan yang lembut di permukaan namun dingin di kedalaman.“Jangan salah. Aku juga melihat aliansimu dengan Valestra. Langkah yang manis … untuk pasar domestik.” Senyumnya menipis, penuh penilaian.“Tapi kau dan aku tahu, di panggung global, itu tidak akan memberikan dampak yang signifikan.”Brian menyandarkan tubuhnya sedikit, mengangkat alis.“Valestra menutup celah yang selama ini Ravenshade abaikan. Segmen yang mereka kuasai mungkin tidak sebesar Maxwell Group, tapi mereka punya loyalitas pelanggan yang langka. Itu modal yang tidak bisa diukur hanya dari angka laporan tahunan.”
Riana menggeser kursinya sedikit menjauh, matanya menolak bertemu dengan tatapan pria itu. Dadanya terasa sesak, napasnya pendek. Bayangan di rooftop kembali muncul di kepalanya, begitu jelas hingga ia bisa merasakan dinginnya angin malam yang menusuk kulitnya. Dina mencondongkan tubuh, jemarinya menyentuh punggung tangan Riana dengan lembut."Riana, dengar aku. Dia tidak akan menyakitimu," ujar Dina pelan, nadanya terukur, hampir seperti menghipnotis. "Kita di sini semua untuk tujuan yang sama. Aku ada di pihakmu.""Aku... nggak yakin, Aku ga percaya sama dia," jawab Riana dengan suara rendah. Pria itu akhirnya duduk, menyandarkan punggungnya pada kursi. "Aku paham kau ragu," katanya, suaranya tenang namun ada tekanan yang membuat Riana tetap waspada. "Tapi dengarkan rencanaku dulu sebelum kau memutuskan."Riana tetap diam, jari-jarinya meremas ujung serbet di pangkuannya."Clarissa dan Brian akan bertemu untuk makan malam. Kita biarkan makan malam antara mereka, kemungkinan besar
Apartemen kecil itu terasa lebih sempit dari biasanya. Dindingnya seolah menekan, memaksa Riana untuk menghadap pada sesuatu yang selama ini berusaha ia abaikan. Suara kipas angin tua di sudut ruangan tak cukup untuk memecah keheningan yang menekan kepalanya.Ia duduk di ujung ranjang, menatap lantai, mencoba menata napas. Semua yang terjadi beberapa belakangan ini kembali berputar di kepalanya. Setiap percakapan, tatapan, bahkan sentuhan yang tidak ia inginkan, muncul lagi dengan detail yang terlalu jelas.Ponselnya bergetar di meja. Sekilas ia ingin mengabaikan, tapi layar yang menyala menarik pandangannya. Notifikasi yang baru muncul, membuat jantungnya mencelos. Pengirimnya adalah nomor tak dikenal, tapi ia tahu betul siapa pemiliknya. Jari-jarinya kaku saat membuka pesan itu."Sorry atas kejadian di r
Keheningan menekan ruangan, begitu padat hingga Alana merasa gendang telinganya berdengung. Setelah pertanyaan Clarissa tadi, seolah udara tersedot keluar, meninggalkan kekosongan yang membuat setiap detik terasa lebih lama dari seharusnya. Ia tidak berani menoleh pada Brian. Pandangannya hanya terarah ke Clarissa, yang duduk dengan punggung tegak dan senyum tipis di bibir, menikmati setiap detik momen ketika lawannya terdesak.Di sampingnya, Alana menunggu tanda-tanda gelisah atau gugup, tapi yang ia dengar justru tawa pelan. Rendah, terukur, mengalir dengan nada yang nyaris terdengar akrab. Ada sesuatu yang menenangkan sekaligus mengusik dalam suara itu."Paris," jawab Brian akhirnya. Nadanya ringan, seperti membicarakan rencana perjalanan yang tak terlalu penting."Itu sudah lama sekali, Clarissa. Banyak ha
Bab 73Ruang rapat eksekutif di lantai teratas Ravenshade Tower memancarkan kekuasaan dari setiap sudutnya. Dinding kaca penuh membentang dari lantai ke langit-langit, membuka pemandangan Kaliandra yang bergemerlap di bawah langit pagi yang pucat. Meja mahoni panjang terhampar di tengah, permukaannya licin tanpa cela, memantulkan cahaya dari lampu gantung kristal di atasnya. Pendingin udara membuat udara di dalam terasa dingin, nyaris steril. Inilah singgasana Brian Ravenshade, medan yang selalu ia kuasai tanpa cela.Mereka duduk di sisi yang berseberangan. Brian menatap tablet di tangannya, matanya bergerak mengikuti teks laporan. Setidaknya itu yang ingin ia tunjukkan. Tapi Alana bisa melihat jarinya mengetuk ringan di tepi perangkat, ritmenya terlalu cepat. Bahunya terlalu kaku. Bahkan cara ia membalik halaman digital terasa lebih mekanis daripada alami.Alana menyandarkan punggung pada kursi kulit hitamnya, memperhatikan gerak-gerik itu. “Kalau ini cuma urusan bisnis,” pikirnya,