Brian akhirnya mengendurkan genggamannya, sedikit mendorong Clarissa menjauh. Gerakannya tenang, namun ada ketegasan yang tak bisa disembunyikan. Ia sendiri mundur selangkah, menciptakan jarak yang jelas di antara mereka. Napasnya terdengar tertahan, pandangannya bergeser dari Clarissa ke arah Alana yang berdiri tak jauh, wajahnya pucat dan kaku.“Clarissa…” suaranya dalam, nyaris menahan amarah. “Apa yang kau lakukan di sini?” Matanya menyipit, mengamati ekspresi Clarissa yang tampak terlalu puas untuk sebuah kebetulan. “Dan, apa yang kau lakukan pada Alana?” ia menoleh singkat pada Alana, lalu kembali menatap Clarissa.Alana tidak bergerak. Rasanya tubuhnya mengeras. Ia menelan ludah, menyadari tatapan Clarissa tidak pernah berpaling dari Brian.Clarissa menghela napas lembut, lalu tersenyum tipis. “Oh, tenang saja, Brian. Aku hanya ingin melihat-lihat legenda yang sering kudengar … Alana’s Touch,” ujarnya dengan nada santai yang sengaja diperjelas setiap katanya. “Dan memang, h
Ruang konsultasi itu terasa lebih sempit dari biasanya. Udara dingin dari pendingin ruangan tak mampu menurunkan panas yang merayap di tengkuk Alana. Di hadapannya, Clarissa berdiri tegak, menatap cermin besar di dinding seakan sedang menilai panggungnya sendiri.Alana menarik napas pelan, mencoba menjaga suaranya tetap datar.“Riana, tolong ambil ukuran Nona Clarissa,” perintahnya sambil meraih buku catatan desain.Clarissa mengangkat dagunya sedikit, sudut bibirnya terangkat dalam senyum sinis.“Oh, jadi kau akan menyerahkan hidup dan mati Valestra Bridal ini pada bawahanmu?” ujarnya ringan, namun nada meremehkannya jelas terdengar.“Aku pikir kau akan menanganinya sendiri, se
Pagi berikutnya, Valestra Bridal tampak sibuk seperti biasa. Gaun-gaun putih berkilau tergantung rapi di gantungan, para penjahit bergerak cepat di sudut-sudut ruangan, dan aroma kopi segar bercampur wangi kain baru memenuhi udara. Alana duduk di meja kerjanya, menunduk dalam pada sketsa yang belum selesai. Ia mencoba meresapi setiap tarikan garis, berharap ritme kerja mampu menenggelamkan segala resah yang sejak kemarin merayap. Namun, bayangan wajah Clarissa terus saja muncul di sudut pikirannya, diiringi tatapan Brian yang begitu hidup ketika melihat hadiah itu.Pintu ruang kerjanya terbuka sedikit, memperlihatkan Riana yang berdiri di ambang. Wajah asisten itu pucat, ada ketegangan yang jarang Alana lihat darinya. “Alana,” bisiknya nyaris tak terdengar, “ada klien yang bersikeras ingin bertemu denganmu sekarang juga.”Alana meletakkan pensil, mengangkat alis. “Siapa?”Riana menelan ludah, lalu menyebutkan namanya pelan-pelan, seperti kata itu sendiri bisa memicu sesuatu. “Clari
“Tidak mendapatkan apa-apa?” Kata-kata itu menggaung di kepala Clarissa, memukul sesuatu yang tadinya tertidur di dalam dirinya. Ia menegakkan punggung, tatapan matanya berubah. Ada kilatan tekad yang mulai menyala di balik wajahnya yang semula tenang. Ia menghela napas panjang, kali ini tidak lagi dalam nada ragu. “Kalau begitu…” suaranya pelan, namun sarat maksud. “Mungkin seseorang harus memberinya hadiah.”Leo mengangkat alis, berpura-pura tidak langsung menangkap maksudnya. “Maksudnya?”Clarissa menatapnya lurus, senyum perlahan tumbuh di bibirnya. “Ya. Hadiah yang bukan sekadar barang, Leo. Sesuatu yang akan mengingatkannya pada siapa dirinya sebenarnya. Sesuatu yang membuatnya merasa… dihargai.”“Bagaimana jika kau membantuku Leo?” Clarissa menyandarkan tubuh ke kursinya, kedua tangannya kini rileks di pangkuan. “Kita bisa menunjukkan bahwa masih ada orang yang peduli padanya. Barusan kau sendiri bilang, Alana bahkan tidak pernah memberinya hadiah pernikahan? Kalau aku melaku
Valestra Bridal sedang sibuk-sibuknya pagi itu. Musik lembut dari pengeras suara bercampur dengan suara gesekan kain, langkah kaki staf, dan denting gantungan gaun. Namun semua itu nyaris tidak terdengar oleh Alana. Ia masuk dengan langkah cepat, wajahnya kusut, dan tatapan yang menembus siapa pun yang mencoba menyapanya. Staf yang mengenalnya hanya bertukar pandang, lalu memilih tidak menghalangi.Ia terus berjalan, menuju ruang kerja di belakang butik. Di sana, Riana duduk di meja panjang, memeriksa deretan sketsa. Perempuan itu mendongak, dan ekspresinya langsung berubah saat melihat wajah sahabatnya.“Alana, kamu kenapa?” Riana menjatuhkan pensilnya di atas kertas.Alana menutup pintu dengan dorongan cepat. “Riana, aku butuh teman bicara,” katanya tanpa jeda, suaranya bergetar.
Pagi itu Brian terlihat berbeda. Bahkan sebelum Alana sempat menyapa, ia sudah berjalan mondar-mandir di ruang makan, ponselnya menempel di telinga. Nada bicaranya pada Vincent tajam, cepat, dan nyaris tak memberi ruang jeda.“Batalkan pertemuan yang tidak penting. Prioritaskan Maxwell,” perintahnya, matanya lurus menatap papan jadwal digital di meja makan. “Aku nggak mau buang waktu untuk hal-hal yang bisa di-handle orang lain. Fokusnya cuma satu, Vincent. Maxwell.”Alana, yang duduk di meja dengan secangkir kopi yang masih penuh, memutar cangkirnya perlahan. Kata “Maxwell” yang diucapkan dengan nada tegas itu langsung memantik sesuatu di dadanya. Ia tak mendengar nada profesional di sana, yang ia tangkap adalah urgensi. Obsesi. Dan obsesi itu punya nama lain di kepalanya. Clarissa Maxwell.Brian menutup teleponnya, membuang napas panjang. “Jadwal hari ini gila. Aku harus….”“Ya, aku dengar kok,” potong Alana ringan, terlalu ringan. “Sepertinya ada yang nggak sabar ketemu Clarissa.”