"Aku diperkosa."
Entah kenapa Ellea bisa mengatakan itu kepada Ale, sementara selama ini dia hanya diam saja ketika keluarganya menanyainya perihal ini. Tapi dengan Ale, Ellea seperti ringan sekali membagi beban hidup pada Ale, satu-satunya teman yang masih mau menganggapnya ada.
"Kenapa loncerita ini ke gue?"
"Hanya ingin," jawab Ellea singkat.
Ellea lantas menceritakan semua kejadian yang dialaminya kepada Ale, tanpa ada yang ditutup-tutupi. Anehnya Ellea tidak menceritakan kejadian tragis yang dialaminya itu seperti tanpa beban, tidak ada raut sedih dan terluka yang terpampang di wajah ayunya.
"Termasuk yang ini juga?" tunjuk Ale sedikit menyingkap rok yang dikenakan Ellea.
Sontak Ellea merapatkan kedua kakinya karena ulah Ale yang tiba-tiba, "Kak Al," cegahnya menggelengkan pelan kepalanya.
"Sudah terlambat jika lo ingin menutupinya, El. Gue sudah terlanjur lihat. Sumpah gue paling nggak terima jika itu ulah dari monster yang mengatas namakan keluarga."
Ale, mengatakan itu dengan napas yang memburu, "Gue sudah pernah ngalamin El, jadi saranku pergi! tinggalkan neraka itu."
Ellea hanya diam, tidak mengatakan apapun, pergi! dia sangat ingin tapi tidak bisa dilakukannya, mengingat dia masih butuh tempat tinggal, dan juga biaya untuk sekolahnya, beruntung sang ayah masih berbaik hati mengijinkannya untuk meneruskan pendidikan.
Semenjak kejadian Ale yang menolong Ellea waktu itu, mereka terlihat sering bertemu, bukan, tepatnya Ale yang dengan sengaja mencari-cari keberadaan Ellea dengan berbagai alasan konyol yang dibuatnya.
Seperti minggu lalu, Ale mencari keberadaan Ellea di kelas dengan alasan ingin meminjam buku paket fisika, padahal sudah jelas jika dirinya berada dijurusan IPS. Bukan tanpa alasan Ale berbuat seperti itu, semata-mata hanya ingin memastikan keadaan Ellea baik-baik saja.
"Jika lo mau, gue bisa bawa lo pergi dari sana, El" tawar Ale.
"Gimana caranya? Sementara Kak Al tau sendiri, selama ini aku selalu diawasin sama mereka."
Memang sejak kejadian itu, Ellea tidak bisa bebas seperti dulu, ada seorang yang ditugaskan untuk mengantar jemput Ellea tepat waktu, jika terlambat sebentar saja maka pukulan dari sang ayah sudah tidak terelakkan lagi.
"Apa lo bersedia bersabar dulu, El? Sembari gue pikirin gimana caranya lo bisa bebas dari sana?"
Ellea ingin, tapi dia tidak yakin, Ale bisa melakukannya. Maka yang dilakukannya hanya mengangguk ragu, sekedar untuk menghargai usaha Ale.
Entah kenapa melihat Ellea, Ale merasa biasa saja, tidak seperti biasanya yang risih dan ingin segera menjauh jika berhadapan langsung dengan manusia yang berjenis kelamin perempuan.
Apalagi setelah mengetahui jika Ellea mengalami kejadian yang begitu tragis, hampir sama dengan yang dialaminya dulu. Ale seperti ingin menjadi pelindung bagi Ellea sebagai sosok Kakak
"Kak, kenapa baik sama aku?"
"Melihat lo seperti ini, mengingatkan gue dulu, El. Bedanya hanya fisik gue yang disiksa."
"Aku takut, Kak Al kena imbasnya, seperti di sekolah Kakak juga ikutan di bully sama mereka, kan?"
"Apa lo nggak tahu?"
"Apa?"
"Jadi, beneran lo nggak tahu?"
Ellea menatap Ale bingung, "Gue tidak bisa deket-deket sama perempuan."
"Maksudnya?" tanya Ellea bingung.
"Ck, lo beneran ya El, nggak tahu apa pura-pura nggak tahu? Selama ini gosip tentang gue sudah menyebar seantero sekolah, nggak mungkin lo nggak tahu tentang itu."
"Tapi, aku emang gak tahu kak Ali."
"Ale! panggil gue itu, sudah berapa kali gue bilang."
"Ma ...."
"Nggak usah minta maaf, bosen gue denger kata itu terus yang keluar dari mulut lo!"
"Gue nggak suka sama perempuan Ellea, dan semua orang ngira kalau gue ini punya kelainan seksual, paham kan maksud gue?"
"Aku perempuan, Kak!"
"Dan yang bilang lo cowok juga siapa?"
"Kak, aku serius."
Ale terkekeh geli.
"Hidup jangan dibawa serius melulu, El."
Keduanya tak lagi berdebat, Ellea dangan wajah datarnya entah apa yang tengah dipikirkannya, sedangkan Ale, sudah disibukkan kembali dengan benda persegi yang selalu dibawanya kemana-mana.
"Ellea!"
Panggilan dari seseorang membuat keduanya mendongak, Ale mengernyitkan dahi menatap sosok yang berdiri menjulang dihadapan mereka.
"Mau apa lo ke sini?" Bukan Ellea yang menjawab, melainkan Ale.
"Ck, yang gue panggil Ellea, bukan Alea!"
"Urusan Ellea berarti utusan gue, jadi katakan ada perlu apa sama dia."
Esta, tidak menanggapi ocehan dari teman sekelasnya itu, fokusnya hanya tertuju kepada Ellea.
"El, bisa bicara sebentar?"
"Nggak bisa! sudah gue bilang urusan Ellea juga urusan gue, jadi bicarakan saja di sini."
"Lo, lama-lama ngeselin ya Li, sumpah pengen banget gue sumpel mulut lo itu."
"Pakek bibir lo, kan? Dengan senang hati."
Umpatan dan makian Esta tak terelakkan lagi untuk membuat Ale diam dan menutup mulutnya, dirinya sudah terbiasa dengan sikap temannya yang satu ini, tapi entah kenapa masih saja membuat emosinya terpancing ketika sedang berdebat dengannya.
"El, apa nggak bisa dipertimbangkan lagi?" tanya Esta kepada Ellea, mengabaikan ocehan dari Ale yang tidak lagi ditanggapinya.
"Maaf Kak, itu sudah keputusanku."
Esta menghela napas kasar, "Nggak ada yang bisa menggantikan posisi kamu di sana, El."
"Tapi, jika sudah seperti ini, apa boleh buat," sambung Esta.
Ellea memilih untuk keluar dari kegiatan pramuka yang diikutinya, keputusanya itu membuat Esta, sang ketua merasa kehilangan, selama ini hanya Ellea lah yang bisa diandalkan untuk membantunya.
****
Tiba waktu yang ditunggu Ellea datang, Ale menepati janjinya untuk membantu Ellea pergi.
Ale memberi pilihan kepada Ellea terkait rencana yang dibuatnya, sedangkan Ellea menurut saja, karena jujur dirinya masih tidak menyangka jika Ale akan seserius ini untuk membantunya.
Antara senang dan haru yang mungkin dirasakan oleh Ellea, akhirnya keinginannya untuk pergi akan segera terwujud. Dia bisa secepatnya bebas dari belenggu keluarganya. Ellea sudah tidak tahan lagi hidup di tengah-tengah keluarga yang tidak lagi menganggap dirinya ada. Maka pilihan Ellea adalah pergi sejauh mungkin, agar tidak ada lagi yang bisa menyakiti fisik maupun batinnya, yang hampir lebih dari setahun ini diterimanya.
"Kenapa? Jangan bilang kalau lo ingin mundur, El."
Melihat Ellea hanya menatap dirinya dengan diam, Ale merasa jika Ellea mulai ragu untuk mengikuti rencana yang sudah disusunnya.
"Bukan," Ellea mengambil sesuatu dari dalam tasnya dan menyerahkan kepada Ale, "Hanya itu yang kupunya kak, tapi aku janji akan mengganti semuanya, suatu saat nanti," sambungnya.
"Jadi hanya karena uang, El?"
Ale menatap tajam Ellea, "Selama ini kebaikan gue, lo artikan dengan sejumlah uang?" sambung Ale.
"Aku nggak tahu harus balas kebaikan kakak dengan apa."
"Lo ingin balas semua kebaikan gue?"
Ellea mengangguk mantap, tidak ada keraguan darinya, "Cukup lo hidup dengan baik dan bahagia, lakuin itu sebagai balas budi kebaikan gue ke elo," pinta Ale.
Hari ini Ellea akan mengakhiri semuanya, penderitaan yang dialaminya selama ini akan segera berhenti, sesuai dengan rencana yang sudah disiapkan Ale.
Ellea hanya perlu menyiapkan dirinya saja, karena dia tidak akan membawa apapun dari rumah sang ayah yang sudah 16 tahun menjadi tempat tinggalnya.
Ellea juga sudah menyiapkan sepucuk surat yang isinya ungkapan terimakasih atas belas kasih yang didapatkan dari ayah, ibu, serta kakaknya. Ditaruhnya surat itu di atas tempat tidur, berharap jika suatu hari nanti ada yang menyadari ketidak beradaan dirinya di rumah ini.
Walau Ellea sudah dapat memastikan jika tidak akan ada yang perduli terhadapnya, ada atau tidaknya Ellea tidak akan merubah apapun dalam keluarga itu.
Malah menurut pengamatan Ellea, keluarganya itu akan merasa senang, karena sumber masalahnya sudah tak bisa lagi mereka lihat wujudnya.
Selama ini Ellea sudah seperti hama yang harus segera dibasmi keberadaannya, Elang, sosok kakak yang begitu dirindukannya tak mau lagi menoleh kearahnya, kenangan-kenangan masa lampau menyeruak kembali diingatan Ellea.
"Kak, jika suatu saat nanti El, ada bikin kesalahan besar, apa Kak Elang masih mau membela El, seperti ini?" tanya Ellea kepada Elang.
"Apapun kesalahan yang El buat, itu juga kesalahan kakak, jadi El nggak usah khawatir kakak akan selalu melindungi adik kakak yang cantik ini."
Saat itu Ellea tidak sengaja memecahkan kaca jendela rumah tetangga karena lemparan bola yang sedang dimainkanya.
Elang merasa tidak terima melihat sang adik dimarahi oleh tetangganya itu, padahal Ellea sudah meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Elang yang tidak tega melihat Ellea menangis segera pasang badan untuk melindungi adiknya yang sudah sangat ketakutan.
Akhirnya terucaplah janji dari Elang untuk Ellea.
"Sebesar apapun kesalahan Ellea, kakak akan selalu melindungi dan membela Ellea, ingat baik-baik janji kakak ini."
Janji tinggallah ucapan semata, nyatanya sang pemilik janji telah ingkar dan tidak lagi bisa menepatinya. Elang Pradipta Tanjung, seakan tidak ingat apapun lagi tentang janjinya dulu kepada sang adik semata wayangnya, Ellea Pramadisti Tanjung.
Dengan langkah ragu Ellea mengumpulkan sedikit demi sedikit keberanian yang dia punya. Untuk sekedar bertatap muka kepada seluruh anggota keluarganya yang sedang berkumpul di ruang keluarga. Pertama langkah Ellea tertuju kepada sang kepala keluarga, Hendrik Tanjung. Mengabaikan rasa takutnya, Ellea lantas bersimpuh di bawah kaki sang ayah. "Ayah.. terima kasih telah sudi membiayai sekolah Ellea sampai hari ini Ellea dinyatakan lulus. Ellea minta maaf jika belum bisa jadi anak yang Ayah inginkan." Sunyi, tidak ada balasan dari seorang ayah untuk putrinya. Bahkan ketika Ellea mengulurkan tangan bermaksud untuk meminta restunya, Hendrik menolaknya secara langsung dengan pergi begitu saja. 'Tak apa setidaknya aku sudah mencoba, dan meminta maaf.' Hatinya sangat terluka, tetapi Ellea harus terima apa pun keputusan sang ayah. Fokusnya beralih kepada sosok wanita yang telah berjasa
Kehidupan baru Ellea dimulai ketika dia membuka kedua matanya. Sang surya telah berada di puncaknya. Artinya ia sudah tertidur lumayan lama.Mereka tiba di apartemen dini hari tadi, dan keduanya langsung istirahat karena merasa lelah akibat perjalanan yang begitu panjang. Beranjak, Ellea membuka daun jendela istananya lebar-lebar, hal pertama yang dilihatnya ialah pemandangan deretan gedung pencakar langit seperti yang ditempatinya ini. Berikut barisan mobil berjejer rapih di jalanan yang nampak begitu kecil dari tempatnya berdiri. Menghembuskan napas perlahan, Ellea beranjak keluar dari sana untuk sekedar melihat-lihat detail bangunan yang akan menjadi tempat tinggalnya. Ekor matanya melirik ke arah jam yang menempel di dinding ruang tamu yang ditapakinya, jarum jam menunjuk diangka 2 siang. 'Pantas saja aku merasa lapar, ternyata aku sudah melewatkan waktu isi perut sebanyak dua kali.'
"El, lo bisa masak, kan?" tanya Ale. Tidak ada kegiatan yang dilakukan keduanya selepas makan, mereka hanya menghabiskan waktu dengan bersantai menikmati tontonan televisi sebagai hiburan. "Bisa, kenapa?" "Oh good! Kalau gitu kamu bersiap, ya. Kita akan belanja kebutuhan dapur dan mulai hidup sehat dengan makan masakan rumahan." Ellea menyatukan kedua alisnya, merasa ada yang aneh dari ucapan Ale. "Memang selama ini Kakak makan makanan yang tidak sehat?" "Karena gue tidak ada bakat memasak, jadi selama ini makanan yang masuk ke perut gue ya makanan cepat saji." "Tapi aku tidak ada baju ganti lagi, Kak." Ellea memandang dirinya sendiri yang masih memakai pakaian semalam. Itu pun hasil beli dadakannya di toko baju pinggir jalan saat posisinya masih berada di kawasan kota tempat tinggalnya. Sebelum akhirnya Ale memasuki pintu
Sesuai janjinya pada Ale semalam, pagi ini Ellea memutuskan untuk mengikuti saran Ale. Dengan ikut serta pergi ke kampus yang nantinya akan menjadi tempatnya meneruskan jenjang pendidikan di bangku kuliah. Ellea sudah bangun pagi-pagi sekali untuk membereskan apartemen lalu memasak dan setelah itu membangunkan Ale. Baru setelahnya ia membersihkan diri dan bersiap.Ketika Ellea keluar dari istananya, Ale sudah menunggu di mini bar dengan penampilan yang sudah nampak rapi dan siap untuk mengantarnya melihat kampus yang menjadi pilihannya. Sekali lagi Ellea terampil mengambilkan makanan di piring Ale, hasil dari acara menontonnya semalam menjadi ajang pengungkapan bagi Ale. Ale memberitahu apa pun tentangnya kepada Ellea. Tentang Ale yang tidak akan bangun jika hanya dipanggil dari luar, dan juga tentang dia yang tidak bisa menyiapkan makananya sendiri."Kak Al, apa penampilanku sudah cocok?" Tanya Ellea melihat dirinya send
Ale berpikir jika Ellea sudah bisa mengatasi traumanya, karena setelah dia lulus dan tinggal di kota ini, Ale hanya bisa berkomunikasi dengan Ellea melalui chat dan telepon saja. Kemarin malam adalah pertemuan pertama mereka setelah satu tahun berpisah, tepatnya Ale yang harus pergi untuk melanjutkan kuliahnya di kota ini.Kedatangan Ale semata-mata untuk menepati janjinya kepada Ellea, Ale sudah menyiapkan semua selama setahun ini demi bisa membantu Ellea dan juga memastikan Ellea bisa hidup bahagia disini. Ale bekerja keras untuk itu menyiapkan tempat tinggal senyaman mungkin untuk menyambut kedatangan Ellea."El, are you okay?" Tanya Ale lqgi yqng melihat masih tidak adanya jawabaan dari Ellea."I'm fine, Kak.""Maaf, gue hanya berusaha jujur sama lo, El. Karena bagaimana pun gue tidak ingin ada rahasia diantara kita."
Hari demi hari, Ellea lalui dengan kesibukan barunya menjadi seorang mahasiswi. Dikehidupan yang baru dijalaninya sekarang, Ellea semakin sulit untuk membuka diri dan menjadi pribadi yang tertutup. Dia seolah menjelma menjadi sosok Ellea yang ambisius, dan hanya fokus sama tujuannya. Sehingga tidak banyak teman yang segan dan tak betah berlama-lama bergaul dengannya.Ellea semakin tak tersentuh, dia hanya akan menjadi dirinya sendiri ketika sedang bersama Ale, itu pun dilakukannya ketika di apartemen, karena selain itu Ellea akan tetap pada sifatnya yang pendiam dan cuek sama keadaan sekitar.Tidak terasa sudah satu semester berhasil dilalui Ellea, selama itu pula Ellea hanya bisa fokus sama pelajarannya saja. Tidak pernah sekalipun Ellea mau ketika ada seorang teman yang mengajaknya untuk sekedar hang out bareng saat jam kuliah mereka selesai lebih awal, ataupun ketika dosen sedang berhalangan hadir.
"Biar aku saja El, kamu tolong jaga di depan, barang kali nanti ada pengunjung yang datang."Dihari pertamanya bekerja, Ellea sudah di buat jengkel oleh semua karyawan. Sejak pertama kali Ellea menginjakkan kaki di sini, tidak ada satu pun pekerjaan yang boleh dilakukan olehnya. Bahkan hanya untuk mengantarkan pesanan saja Ellea tidak diberi kesempatan oleh mereka semua.Di sebuah restoran, Ale yang memilihkan tempat ini untuk Ellea bekerja, tanpa dia tahu bahwa sebenarnya tempat ini merupakan milik Ale sendiri.Tanpa sepengetahuan Ellea, Ale sudah mewanti-wanti kepada semua pegawainya untuk tidak memberikan Ellea pekerjaan yang berat. Ellea hanya boleh duduk di balik meja, selain itu tidak diijinkan olehnya menyambut pengunjung apalagi melayani para tamu yang datang.Tentu saja semua orang akan menuruti permintaan Ale, yang merupakan bos mereka, jika tidak ingin tempatnya menca
"Tolong, jangan bunuh anakku, jangan lakukan itu aku mohon"Mendengar ada pergerakan dari Ellea, juga lirihan yang begitu menyesakkan bagi siapa pun yang mendengarnya. Ale, menghentikan aktivitasnya dan melihat kondisi Ellea yang masih terbaring dengan mata terpejam namun mulutnya tak henti-hentinya mengucapkan kalimat itu berulang-ulang dengan badan yang bergetar juga keringat dingin membanjiri tubuhnya."El, buka matamu ini gue."Usaha Ale untuk lekas menyadarkan Ellea dari mimpi buruknya. Karena jika tidak entah apa yang akan terjadi dengan gadis malang ini, mengingat keadaan fisiknya yang seperti ini. Di goyangkannya badan Ellea dan di tepuk-tepuk kedua pipi Ellea dengan pelan, namun Ellea seakan sudah terperangkap dalam mimpinya sendiri."Jangan lakukan itu padaku, tolong aku minta maaf."Entah sudah keberapa kali Ellea mengulang-ulan