Share

3. Sebuah Pengakuan

"Aku diperkosa."

Entah kenapa Ellea bisa mengatakan itu kepada Ale, sementara selama ini dia hanya diam saja ketika keluarganya menanyainya perihal ini. Tapi dengan Ale, Ellea seperti ringan sekali membagi beban hidup pada Ale, satu-satunya teman yang masih mau menganggapnya ada.

"Kenapa loncerita ini ke gue?"

"Hanya ingin," jawab Ellea singkat.

Ellea lantas menceritakan semua kejadian yang dialaminya kepada Ale, tanpa ada yang ditutup-tutupi. Anehnya Ellea tidak menceritakan kejadian tragis yang dialaminya itu seperti tanpa beban, tidak ada raut sedih dan terluka yang terpampang di wajah ayunya.

"Termasuk yang ini juga?" tunjuk Ale sedikit menyingkap rok yang dikenakan Ellea.

Sontak Ellea merapatkan kedua kakinya karena ulah Ale yang tiba-tiba, "Kak Al," cegahnya menggelengkan pelan kepalanya.

"Sudah terlambat jika lo ingin menutupinya, El. Gue sudah terlanjur lihat. Sumpah gue paling nggak terima jika itu ulah dari monster yang mengatas namakan keluarga."

Ale, mengatakan itu dengan napas yang memburu, "Gue sudah pernah ngalamin El, jadi saranku pergi! tinggalkan neraka itu."

Ellea hanya diam, tidak mengatakan apapun, pergi! dia sangat ingin tapi tidak bisa dilakukannya, mengingat dia masih butuh tempat tinggal, dan juga biaya untuk sekolahnya, beruntung sang ayah masih berbaik hati mengijinkannya untuk meneruskan pendidikan.

Semenjak kejadian Ale yang menolong Ellea waktu itu, mereka terlihat sering bertemu, bukan, tepatnya Ale yang dengan sengaja mencari-cari keberadaan Ellea dengan berbagai alasan konyol yang dibuatnya.

Seperti minggu lalu, Ale mencari keberadaan Ellea di kelas dengan alasan ingin meminjam buku paket fisika, padahal sudah jelas jika dirinya berada dijurusan IPS. Bukan tanpa alasan Ale berbuat seperti itu, semata-mata hanya ingin memastikan keadaan Ellea baik-baik saja.

Apalagi setelah mengetahui fakta tentang memar disekujur tubuh Ellea, yang pelakunya tak lain adalah keluarganya sendiri, Ale, semakin murka. Ale seperti melihat dirinya sendiri di masa kecil yang bernasib sama dengan Ellea. Maka dari itu sebisa mungkin Ale ingin memastika jika Ellea tetap aman selama berada di sekolah dan memastikan jika tidak ada seorangpun yang bisa melukai Ellea baik secara fisik ataupun lewat perkataan. Teman-temannya pun sudah mulai jarang terlihat membully Ellea lagi, semua karena ancaman yang dilakukan oleh Ale, tanpa sepengetahuan Ellea.

"Jika lo mau, gue bisa bawa lo pergi dari sana, El" tawar Ale.

"Gimana caranya? Sementara Kak Al tau sendiri, selama ini aku selalu diawasin sama mereka."

Memang sejak kejadian itu, Ellea tidak bisa bebas seperti dulu, ada seorang yang ditugaskan untuk mengantar jemput Ellea tepat waktu, jika terlambat sebentar saja maka pukulan dari sang ayah sudah tidak terelakkan lagi.

"Apa lo bersedia bersabar dulu, El? Sembari gue pikirin gimana caranya lo bisa bebas dari sana?"

Ellea ingin, tapi dia tidak yakin, Ale bisa melakukannya. Maka yang dilakukannya hanya mengangguk ragu, sekedar untuk menghargai usaha Ale.

Entah kenapa melihat Ellea, Ale merasa biasa saja, tidak seperti biasanya yang risih dan ingin segera menjauh jika berhadapan langsung dengan manusia yang berjenis kelamin perempuan.

Apalagi setelah mengetahui jika Ellea mengalami kejadian yang begitu tragis, hampir sama dengan yang dialaminya dulu. Ale seperti ingin menjadi pelindung bagi Ellea sebagai sosok Kakak 

"Kak, kenapa baik sama aku?"

"Melihat lo seperti ini, mengingatkan gue dulu, El. Bedanya hanya fisik gue yang disiksa."

"Aku takut, Kak Al kena imbasnya, seperti di sekolah Kakak juga ikutan di bully sama mereka, kan?"

"Apa lo nggak tahu?"

"Apa?"

"Jadi, beneran lo nggak tahu?"

Ellea menatap Ale bingung, "Gue tidak bisa deket-deket sama perempuan."

"Maksudnya?" tanya Ellea bingung.

"Ck, lo beneran ya El, nggak tahu apa pura-pura nggak tahu? Selama ini gosip tentang gue sudah menyebar seantero sekolah, nggak mungkin lo nggak tahu tentang itu."

"Tapi, aku emang gak tahu kak Ali."

"Ale! panggil gue itu, sudah berapa kali gue bilang."

"Ma ...."

"Nggak usah minta maaf, bosen gue denger kata itu terus yang keluar dari mulut lo!"

"Gue nggak suka sama perempuan Ellea, dan semua orang ngira kalau gue ini punya kelainan seksual, paham kan maksud gue?"

"Aku perempuan, Kak!"

"Dan yang bilang lo cowok juga siapa?"

"Kak, aku serius."

Ale terkekeh geli.

"Hidup jangan dibawa serius melulu, El."

Keduanya tak lagi berdebat, Ellea dangan wajah datarnya entah apa yang tengah dipikirkannya, sedangkan Ale, sudah disibukkan kembali dengan benda persegi yang selalu dibawanya kemana-mana.

"Ellea!"

Panggilan dari seseorang membuat keduanya mendongak, Ale mengernyitkan dahi menatap sosok yang berdiri menjulang dihadapan mereka.

"Mau apa lo ke sini?" Bukan Ellea yang menjawab, melainkan Ale.

"Ck, yang gue panggil Ellea, bukan Alea!"

"Urusan Ellea berarti utusan gue, jadi katakan ada perlu apa sama dia."

Esta, tidak menanggapi ocehan dari teman sekelasnya itu, fokusnya hanya tertuju kepada Ellea.

"El, bisa bicara sebentar?"

"Nggak bisa! sudah gue bilang urusan Ellea juga urusan gue, jadi bicarakan saja di sini."

"Lo, lama-lama ngeselin ya Li, sumpah pengen banget gue sumpel mulut lo itu."

"Pakek bibir lo, kan? Dengan senang hati."

Umpatan dan makian Esta tak terelakkan lagi untuk membuat Ale diam dan menutup mulutnya, dirinya sudah terbiasa dengan sikap temannya yang satu ini, tapi entah kenapa masih saja membuat emosinya terpancing ketika sedang berdebat dengannya.

"El, apa nggak bisa dipertimbangkan lagi?" tanya Esta kepada Ellea, mengabaikan ocehan dari Ale yang tidak lagi ditanggapinya.

"Maaf Kak, itu sudah keputusanku."

Esta menghela napas kasar, "Nggak ada yang bisa menggantikan posisi kamu di sana, El."

"Tapi, jika sudah seperti ini, apa boleh buat," sambung Esta.

Ellea memilih untuk keluar dari kegiatan pramuka yang diikutinya, keputusanya itu membuat Esta, sang ketua merasa kehilangan, selama ini hanya Ellea lah yang bisa diandalkan untuk membantunya.

****

Tiba waktu yang ditunggu Ellea datang, Ale menepati janjinya untuk membantu Ellea pergi.

Ale memberi pilihan kepada Ellea terkait rencana yang dibuatnya, sedangkan Ellea menurut saja, karena jujur dirinya masih tidak menyangka jika Ale akan seserius ini untuk membantunya.

Antara senang dan haru yang mungkin dirasakan oleh Ellea, akhirnya keinginannya untuk pergi akan segera terwujud. Dia bisa secepatnya bebas dari belenggu keluarganya. Ellea sudah tidak tahan lagi hidup di tengah-tengah keluarga yang tidak lagi menganggap dirinya ada. Maka pilihan Ellea adalah pergi sejauh mungkin, agar tidak ada lagi yang bisa menyakiti fisik maupun batinnya, yang hampir lebih dari setahun ini diterimanya.

"Kenapa? Jangan bilang kalau lo ingin mundur, El."

Melihat Ellea hanya menatap dirinya dengan diam, Ale merasa jika Ellea mulai ragu untuk mengikuti rencana yang sudah disusunnya.

"Bukan," Ellea mengambil sesuatu dari dalam tasnya dan menyerahkan kepada Ale, "Hanya itu yang kupunya kak, tapi aku janji akan mengganti semuanya, suatu saat nanti," sambungnya.

"Jadi hanya karena uang, El?"

Ale menatap tajam Ellea, "Selama ini kebaikan gue, lo artikan dengan sejumlah uang?" sambung Ale.

"Aku nggak tahu harus balas kebaikan kakak dengan apa."

"Lo ingin balas semua kebaikan gue?"

Ellea mengangguk mantap, tidak ada keraguan darinya, "Cukup lo hidup dengan baik dan bahagia, lakuin itu sebagai balas budi kebaikan gue ke elo," pinta Ale.

Hari ini Ellea akan mengakhiri semuanya, penderitaan yang dialaminya selama ini akan segera berhenti, sesuai dengan rencana yang sudah disiapkan Ale.

Ellea hanya perlu menyiapkan dirinya saja, karena dia tidak akan membawa apapun dari rumah sang ayah yang sudah 16 tahun menjadi tempat tinggalnya.

Ellea juga sudah menyiapkan sepucuk surat yang isinya ungkapan terimakasih atas belas kasih yang didapatkan dari ayah, ibu, serta kakaknya. Ditaruhnya surat itu di atas tempat tidur, berharap jika suatu hari nanti ada yang menyadari ketidak beradaan dirinya di rumah ini.

Walau Ellea sudah dapat memastikan jika tidak akan ada yang perduli terhadapnya, ada atau tidaknya Ellea tidak akan  merubah apapun dalam keluarga itu.

Malah menurut pengamatan Ellea, keluarganya itu akan merasa senang, karena sumber masalahnya sudah tak bisa lagi mereka lihat wujudnya.

Selama ini Ellea sudah seperti hama yang harus segera dibasmi keberadaannya, Elang, sosok kakak yang begitu dirindukannya tak mau lagi menoleh kearahnya, kenangan-kenangan masa lampau menyeruak kembali diingatan Ellea.

"Kak, jika suatu saat nanti El, ada bikin kesalahan besar, apa Kak Elang masih mau membela El, seperti ini?" tanya Ellea kepada Elang.

"Apapun kesalahan yang El buat, itu juga kesalahan kakak, jadi El nggak usah khawatir kakak akan selalu melindungi adik kakak yang cantik ini."

Saat itu Ellea tidak sengaja memecahkan kaca jendela rumah tetangga karena lemparan bola yang sedang dimainkanya.

Elang merasa tidak terima melihat sang adik dimarahi oleh tetangganya itu, padahal Ellea sudah meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Elang yang tidak tega melihat Ellea menangis segera pasang badan untuk melindungi adiknya yang sudah sangat ketakutan.

Akhirnya terucaplah janji dari Elang untuk Ellea.

"Sebesar apapun kesalahan Ellea, kakak akan selalu melindungi dan membela Ellea, ingat baik-baik janji kakak ini."

Janji tinggallah ucapan semata, nyatanya sang pemilik janji telah ingkar dan tidak lagi bisa menepatinya. Elang Pradipta Tanjung, seakan tidak ingat apapun lagi tentang janjinya dulu kepada sang adik semata wayangnya, Ellea Pramadisti Tanjung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status