Dengan langkah ragu Ellea mengumpulkan sedikit demi sedikit keberanian yang dia punya. Untuk sekedar bertatap muka kepada seluruh anggota keluarganya yang sedang berkumpul di ruang keluarga.
Pertama langkah Ellea tertuju kepada sang kepala keluarga, Hendrik Tanjung. Mengabaikan rasa takutnya, Ellea lantas bersimpuh di bawah kaki sang ayah.
"Ayah.. terima kasih telah sudi membiayai sekolah Ellea sampai hari ini Ellea dinyatakan lulus. Ellea minta maaf jika belum bisa jadi anak yang Ayah inginkan."
Sunyi, tidak ada balasan dari seorang ayah untuk putrinya. Bahkan ketika Ellea mengulurkan tangan bermaksud untuk meminta restunya, Hendrik menolaknya secara langsung dengan pergi begitu saja.
'Tak apa setidaknya aku sudah mencoba, dan meminta maaf.'
Hatinya sangat terluka, tetapi Ellea harus terima apa pun keputusan sang ayah. Fokusnya beralih kepada sosok wanita yang telah berjasa melahirkanhya ke dunia.
"Ibu, Ellea ...,"
Bahkan untuk sekedar mendengar ucapannya pun sang ibu menolaknya. Memilih untuk beranjak dan menyusul langkah suaminya yang lebih dulu pergi.
Ellea mencoba untuk tetap kuat, ini adalah pilihannya. Meski dari awal Ellea sudah dapat menebak jika hasilnya akan sesakit ini.
"Kak Elang, terima kasih untuk 15 tahun kebersamaan kita. Maaf El belum bisa jadi adik yang baik buat Kakak."
Setelah mengatakan itu Ellea bangkit, langkahnya begitu berat menapaki lantai marmer rumahnya. Tempat tinggal yang selama 17 tahun menjadi saksi bisu atas segala peristiwa yang menimpanya. Baik suka maupun duka.
Untuk terakhir kalinya, Ellea menyempatkan diri untuk pamit kepada satu-satunya orang yang masih menganggapnya ada. Bik Aning, asisten rumah tangganya yang juga merupakan pengasuhnya sejak kecil.
"Non hebat, andai boleh biar saja bibik yang datang sebagai wali Non. Sayang bibik tidak bisa melakukan itu, Non."
"Tidak papa, Bik. Bik, Ellea minta maaf ya selama ini selalu menyusahkan Bibik. Juga Ellea mau mengucapkan terima kasih atas semua kenaikan Bibik sama Ellea selama ini yang tidak dapat Ellea membalasnya. Ellea akan berdoa agar supaya Tuhan memberi Bibik umur panjang."
Dirasa selesai dengan segala urusannya, kini Ellea menuju kamarnya. Untuk sedikit merapikan penampilannya. Dengan balutan busana kebaya modern berwarna merah maroon, Ellea terlihat begitu anggun. Malam ini Ellea akan menghadiri acara kelulusannya, juga menjadi malam terakhir Ellea ada di rumah ini. Bahkan menjadi malam terakhirnya Ellea berada di kota ini.
Seharusnya kedua orang tuanya ikut menghadiri acara kelukusannya. Sebab ada sebuah penghargaan yang nantinya di dapat oleh sang putri. Ada nama Ellea Pramadisti Tanjung yang berada di posisi urutan teratas sebagai siswi peraih nilai tertinggi. Bukan hanya di sekolahnya melainkan peraih juara umum dari propinsi jawa timur.
Betapa bangga dan bahagia seharusnya orang tua dari Ellea, karena sang putri berhasil menorehkan prestasi akademi sedemikian rupa. Tapi apalah daya, jika hati dan perasaan mereka sudah ditutupi oleh kebencian yang sudah mendarah daging. Sehingga setinggi apapun prestasi yang dipersembahkan oleh putri tunggalnya itu tidak nampak di mata mereka para keluarganya sendiri.
'Selamat tinggal kenangan.' ucap Ellea dalam hati.
Memandang bangunan dua lantai di depannya, begitu banyak kenangan masa kecil yang menyeruak diingatan Ellea.
Ellea tersenyum dalam kemirisannya.
Tidak mau terlalu lama berdiam diri di depan pintu pagar rumah keluarganya, Ellea bergegas untuk pergi ke sekolah dengan segera. Berharap semua akan berjalan dengan cepat dan lancar.
"Non, sudah siap?"
Panggilan dari Pak Danu, sopir yang diutus sang ayah untuk mengantar jemput dirinya selama ini.
Ellea mengangguk patuh dan segera menyuruh beliau untuk langsung menuju tempat dimana dirinya akan mengadakan acara perpisahan dengan teman-temannya. Sekaligus perpisahan untuk selamanya dari keluarganya.
Tidak ada barang berharga yang dibawa Ellea, hanya pakaian yang melekat di tubuhnya yang dibawa Ellea. Bahkan ponsel pun sengaja Ellea tinggal. Karena memang Ellea tidak berhak lagi untuk menggunakan barang-barang pemberian dari sang ayah. Ellea sudah cukup tahu diri untuk tidak lagi memakai fasilitas pemberian dari ayahnya.
"Terima kasih ya, Pak. Ellea minta maaf jika selama ini sudah menyusahkan Bapak."
Ucapan terakhir Ellea kepada Pak Danu, lantas turun dari mobil untuk masuk ke gedung sekolah karena acara sudah akan dimulai.
Ale, yang sedari menunggu dengan harap-harap cemas segera menghampiri Ellea dengan perasaan lega.
"Akhirnya lo datang juga, El. Gue sudah nungguin dari tadi, gimana? Sudah siap semua, kan?"
Ellea mengangguk yakin, tidak ada keraguan sama sekali pada dirinya.
"Tunggu aku selesaikan berkas dan juga mengisi acara dulu ya, Kak."
"Bahagia ya El, selamat atas keberhasilan yang berhasil lo raih. Sebenarnya gue ingin dampingin lo, tapi nggak bisa karena gue nggak mau ada orang yang lihat keberadaan gue di sini."
"Aku paham Kak, terima kasih sekali lagi."
"Begitu urusan lo selesai, cepat lo pergi dari sana dan ini," menyerahkan ponsel baru untuk Ellea, "gue sudah setting
jadi lo tinggal pakek saja, hanya ada kontak gue disitu."Ellea menerima pemberian Ale dengan perasaan haru, orang yang tidak dikenal sebelumnya telah membantu dirinya sedemikan rupa, cukup sekali kedip butiran kristal bening lolos dari singgasananya tanpa diminta oleh sang pemilik.
Tanpa aba-aba Ale merengkuh tubuh Ellea dalam dekapanya, Ale tidak menyangka bahwa dirinya bisa melakukan ini kepada Ellea, hanya Ellea satu-satunya perempuan yang tidak bisa membuat Ale menjauh.
"Menangislah, keluarkan semua beban yang selama ini lo tahan, gunain gue sebagai tempat pelampiasan lo, El. Gue lebih suka lo seperti ini, marah lah jika lo merasa kesal, menangis lah jika lo merasa sedih, dan tersenyun lah jika lo merasa bahagia, Ellea. Sudah cukup selama ini lo tahan semua perasaan yang lo pendam."
Akhirnya untuk pertama kalinya Ellea bisa mengeluarkan beban yang selama ini ditahanya. Isakan menyayat hati itu keluar juga dari mulut Ellea, dia menangis dalam pelukan Ale, satu-satunya orang yang masih menganggap dirinya ada.
"Aku nggak tahu akan seperti apa nasibku jika saat itu Kak Al tidak datang menolong."
"Lupakan masa-masa itu El, sekarang lo hanya harus fokus sama tujuan hidup lo selanjutnya."
Keduanya memisahkan diri saat setelah nama Ellea dipanggil oleh pembawa acara untuk hadir sebagai salah satu pengisi acara utamanya, Ellea berhak menjadi bintangnya malam ini, dengan prestasi yang diraihnya dan mengharumkan nama sekolah yang sudah 3 tahun ini menjadi tempatnya menuntut ilmu.
Setelah merapikan riasan diwajahnya, Ellea dengan didampingi Ale berjalan menuju aula, sedangkan Ale hanya bisa mengantar saja dan mengawasi Ellea dari jauh, supaya tidak menjadi perhatian orang yang nantinya akan mengetahui keberadaan dirinya yang terlibat dalam menghilangnya Ellea malam ini.
Ale jelas menghindari itu semua, karena memang dirinyalah yang akan bertanggung jawab atas Ellea, dia sudah menjanjikan kehidupan yang layak untuk Ellea kedepannya. Maka dari itu Ale harus sangat berhati-hati agar jangan sampai ada seorang pun yang tahu dirinyalah yang sudah membantu kepergian Ellea.
*****
"Sudah siap?!"
Mendengar pertanyaan seperti itu dari Ale, Ellea langsung menatapnya dan mengangguk. Saat ini dia sudah berada di dalam mobil milik Ale, setelah selesai dengan urusan sekolahnya. Ellea bergegas mencari keberadaan Ale dengan sembunyi-sembunyi agar orang suruhan dari ayahnya tidak mengetahui aksinya.
Lega, itu yang mungkin dirasakan Ellea setelah berhasil masuk ke dalam mobil dengan Ale yang sudah siap di balik kemudinya.
"Sebelum gue melajukan mobil ini, untuk terakhir kalinya silahkan lo puas-puasin deh melihat setiap sudut kota ini, yang mungkin punya kenangan indah."
"Nggak ada yang perlu aku ingat lagi, Kak."
"Yakin?" Ale memastikan, "karena setelah gue bawa lo pergi dari sini, lo sudah tidak akan pernah bisa kembali lagi kesini."
Ellea mengangguk yakin, itu membuat Ale segera melajukan kendaraannya menuju tempat yang sudah dia tinggali selama setahun terakhir, sembari menyiapkan kebutuhan Ellea dan mencarikan kampus terbaik untuk Ellea yang sudah dianggapnya selayaknya seorang adik bagi Ale.
Setelah menempuh perjalanan panjang yang memakan waktu 10 jam lamanya, mereka akhirnya sampai juga di tempat tujuan. Dengan hari yang sudah beranjak pagi, keduanya memilih untuk langsung beristirahat terutama Ale, yang sudah sangat letih menempuh perjalanan pulang pergi hampir 24 jam nonstop.
"Kak Al, apa nggak sebaiknya aku tinggal di asrama saja?"
"No! tidak akan gue izinkan lo tinggal di sana!"
"Kenapa? Aku bisa jaga diri, Kak. Bukanya semua orang disana tidak ada yang tahu tentangku?"
"Gue sudah siapin kamar itu buat lo tempatin, jadi sebaiknya lo buang jauh-jauh pikiran lo tentang tinggal di asrama. Karena tidak pernah gue izinin bahkan dalam mimpi lo sekali pun."
Ellea menurut dan tidak mau membantah perkataan Ale, dirinya sudah cukup selama ini menyusahkanya. Jadi agar tidak membuat Ale marah maka Ellea segera masuk ke kamar tang sudah dipersiapkan oleh Ale secara khusus untuk dirinya.
Tangannya terulur membuka pintu kamarnya, setelah dia masuk betapa terkejutnya dirinya mendapati sebuah istana di dalamnya, ini bukan kamar menurut Ellea, tapi istana yang super mewah. Dia lantas menghampiri Ale yang masih berdiam diri memperhatikannya.
"Kenapa keluar lagi?"
"Sepertinya aku salah masuk kamar, Kak."
Ale terlihat mengerutkan alisnya, "Masuk El, dan istirahatlah," titahnya kepada Ellea yang masih diam mematung melihatnya.
"Ini bukan kamar, Kak Al. Aku seperti tidak pantas berada di dalam istana itu."
"Memang itu adalah istana Ellea, dan lo adalah princess- nya. Jadi cepat masuk karena demi Tuhan gue sudah sangat mengantuk."
Kehidupan baru Ellea dimulai ketika dia membuka kedua matanya. Sang surya telah berada di puncaknya. Artinya ia sudah tertidur lumayan lama.Mereka tiba di apartemen dini hari tadi, dan keduanya langsung istirahat karena merasa lelah akibat perjalanan yang begitu panjang. Beranjak, Ellea membuka daun jendela istananya lebar-lebar, hal pertama yang dilihatnya ialah pemandangan deretan gedung pencakar langit seperti yang ditempatinya ini. Berikut barisan mobil berjejer rapih di jalanan yang nampak begitu kecil dari tempatnya berdiri. Menghembuskan napas perlahan, Ellea beranjak keluar dari sana untuk sekedar melihat-lihat detail bangunan yang akan menjadi tempat tinggalnya. Ekor matanya melirik ke arah jam yang menempel di dinding ruang tamu yang ditapakinya, jarum jam menunjuk diangka 2 siang. 'Pantas saja aku merasa lapar, ternyata aku sudah melewatkan waktu isi perut sebanyak dua kali.'
"El, lo bisa masak, kan?" tanya Ale. Tidak ada kegiatan yang dilakukan keduanya selepas makan, mereka hanya menghabiskan waktu dengan bersantai menikmati tontonan televisi sebagai hiburan. "Bisa, kenapa?" "Oh good! Kalau gitu kamu bersiap, ya. Kita akan belanja kebutuhan dapur dan mulai hidup sehat dengan makan masakan rumahan." Ellea menyatukan kedua alisnya, merasa ada yang aneh dari ucapan Ale. "Memang selama ini Kakak makan makanan yang tidak sehat?" "Karena gue tidak ada bakat memasak, jadi selama ini makanan yang masuk ke perut gue ya makanan cepat saji." "Tapi aku tidak ada baju ganti lagi, Kak." Ellea memandang dirinya sendiri yang masih memakai pakaian semalam. Itu pun hasil beli dadakannya di toko baju pinggir jalan saat posisinya masih berada di kawasan kota tempat tinggalnya. Sebelum akhirnya Ale memasuki pintu
Sesuai janjinya pada Ale semalam, pagi ini Ellea memutuskan untuk mengikuti saran Ale. Dengan ikut serta pergi ke kampus yang nantinya akan menjadi tempatnya meneruskan jenjang pendidikan di bangku kuliah. Ellea sudah bangun pagi-pagi sekali untuk membereskan apartemen lalu memasak dan setelah itu membangunkan Ale. Baru setelahnya ia membersihkan diri dan bersiap.Ketika Ellea keluar dari istananya, Ale sudah menunggu di mini bar dengan penampilan yang sudah nampak rapi dan siap untuk mengantarnya melihat kampus yang menjadi pilihannya. Sekali lagi Ellea terampil mengambilkan makanan di piring Ale, hasil dari acara menontonnya semalam menjadi ajang pengungkapan bagi Ale. Ale memberitahu apa pun tentangnya kepada Ellea. Tentang Ale yang tidak akan bangun jika hanya dipanggil dari luar, dan juga tentang dia yang tidak bisa menyiapkan makananya sendiri."Kak Al, apa penampilanku sudah cocok?" Tanya Ellea melihat dirinya send
Ale berpikir jika Ellea sudah bisa mengatasi traumanya, karena setelah dia lulus dan tinggal di kota ini, Ale hanya bisa berkomunikasi dengan Ellea melalui chat dan telepon saja. Kemarin malam adalah pertemuan pertama mereka setelah satu tahun berpisah, tepatnya Ale yang harus pergi untuk melanjutkan kuliahnya di kota ini.Kedatangan Ale semata-mata untuk menepati janjinya kepada Ellea, Ale sudah menyiapkan semua selama setahun ini demi bisa membantu Ellea dan juga memastikan Ellea bisa hidup bahagia disini. Ale bekerja keras untuk itu menyiapkan tempat tinggal senyaman mungkin untuk menyambut kedatangan Ellea."El, are you okay?" Tanya Ale lqgi yqng melihat masih tidak adanya jawabaan dari Ellea."I'm fine, Kak.""Maaf, gue hanya berusaha jujur sama lo, El. Karena bagaimana pun gue tidak ingin ada rahasia diantara kita."
Hari demi hari, Ellea lalui dengan kesibukan barunya menjadi seorang mahasiswi. Dikehidupan yang baru dijalaninya sekarang, Ellea semakin sulit untuk membuka diri dan menjadi pribadi yang tertutup. Dia seolah menjelma menjadi sosok Ellea yang ambisius, dan hanya fokus sama tujuannya. Sehingga tidak banyak teman yang segan dan tak betah berlama-lama bergaul dengannya.Ellea semakin tak tersentuh, dia hanya akan menjadi dirinya sendiri ketika sedang bersama Ale, itu pun dilakukannya ketika di apartemen, karena selain itu Ellea akan tetap pada sifatnya yang pendiam dan cuek sama keadaan sekitar.Tidak terasa sudah satu semester berhasil dilalui Ellea, selama itu pula Ellea hanya bisa fokus sama pelajarannya saja. Tidak pernah sekalipun Ellea mau ketika ada seorang teman yang mengajaknya untuk sekedar hang out bareng saat jam kuliah mereka selesai lebih awal, ataupun ketika dosen sedang berhalangan hadir.
"Biar aku saja El, kamu tolong jaga di depan, barang kali nanti ada pengunjung yang datang."Dihari pertamanya bekerja, Ellea sudah di buat jengkel oleh semua karyawan. Sejak pertama kali Ellea menginjakkan kaki di sini, tidak ada satu pun pekerjaan yang boleh dilakukan olehnya. Bahkan hanya untuk mengantarkan pesanan saja Ellea tidak diberi kesempatan oleh mereka semua.Di sebuah restoran, Ale yang memilihkan tempat ini untuk Ellea bekerja, tanpa dia tahu bahwa sebenarnya tempat ini merupakan milik Ale sendiri.Tanpa sepengetahuan Ellea, Ale sudah mewanti-wanti kepada semua pegawainya untuk tidak memberikan Ellea pekerjaan yang berat. Ellea hanya boleh duduk di balik meja, selain itu tidak diijinkan olehnya menyambut pengunjung apalagi melayani para tamu yang datang.Tentu saja semua orang akan menuruti permintaan Ale, yang merupakan bos mereka, jika tidak ingin tempatnya menca
"Tolong, jangan bunuh anakku, jangan lakukan itu aku mohon"Mendengar ada pergerakan dari Ellea, juga lirihan yang begitu menyesakkan bagi siapa pun yang mendengarnya. Ale, menghentikan aktivitasnya dan melihat kondisi Ellea yang masih terbaring dengan mata terpejam namun mulutnya tak henti-hentinya mengucapkan kalimat itu berulang-ulang dengan badan yang bergetar juga keringat dingin membanjiri tubuhnya."El, buka matamu ini gue."Usaha Ale untuk lekas menyadarkan Ellea dari mimpi buruknya. Karena jika tidak entah apa yang akan terjadi dengan gadis malang ini, mengingat keadaan fisiknya yang seperti ini. Di goyangkannya badan Ellea dan di tepuk-tepuk kedua pipi Ellea dengan pelan, namun Ellea seakan sudah terperangkap dalam mimpinya sendiri."Jangan lakukan itu padaku, tolong aku minta maaf."Entah sudah keberapa kali Ellea mengulang-ulan
"Rileks ya Ellea, jangan takut saya tidak akan berbuat macam-macam sama kamu. Saya hanya ingin kenal lebih dekat sama kamu, boleh?" Mendapat jawaban 'iya' dari Ellea Gema lantas melakukan pekerjaan dangan maksimal. Dia sudah berhasil membuat Ellea nyaman bercerita dengannya, termasuk bercerita tentang kejadian tragis yang dialaminya dulu. Ellea sempat terhenti dan tidak melanjutkan sesi ceritanya pada bagian yang dia anggap paling menyakitkan. Oleh sebab itu Gema memutuskan untuk berhenti, dan tidak ingin memaksa Ellea untuk mengingat kejadian itu. Setidaknya Gema sudah tahu akan seperti apa penanganan selanjutnya untuk Ellea. Dalam pikirannya Gema merasa simpati juga kagum terhadap gadis ini, sebab dia masih sanggup bertaha sampai detik ini. Karena kebanyakan korban seperti Ellea akan memilih untuk mengakhiri hidupnya dari pada harus merasakan siksaan demi siksaan yang dialaminya. Tidak banyak para pasiennya yang memilih jalan itu, mung