Share

MINTA PENDAPAT

Afi memejamkan mata. Menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Kegiatan itu diulangi sebanyak tiga kali, barulah pikirannya terasa tenang.

Meski tidak benar-benar merasa plong, setidaknya Afi mendapatkan jalan keluar. Dia bangkit dengan tenang, lalu mengambil tas dan meninggalkan ruangan.

“Jer!” panggilnya saat berhenti di depan meja pria berkacamata. “Hari ini saya enggak jadi masuk. Tolong handle kerjaan yang berhubungan sama saya, ya. Saya harus pulang. Mama saya datang ke tempat tinggal yang baru. Enggak enak kalau saya biarin beliau sendirian,” terangnya tenang tanpa ada yang ditutupi.

Afi telah berhasil mengurangi kadar kepanikan yang sempat menguasai dirinya. Dia tidak ‘gerasa-gerusu’ seperti saat mendengar berita rumahnya terbakar. Dia menyadari bahwa tingkat urgensi situasi kali ini tidak semendesak kemarin. Mamanya hanya berkunjung ke rumah. Bukankah tidak ada yang salah dengan niat baik itu?

Awalnya, hal yang membuat Afi panik adalah keberadaan Tiara. Dia khawatir mamanya akan bertemu wanita itu dan berbincang tentang kepulangan Egi. Afi takut kalau Tiara akan memberi tahu mamanya bahwa tadi malam dia dan Egi tidur bersama. Mamanya pasti akan murka kalau mendengar fakta mengerikan semacam itu.

Setelah berpikir jernih, Afi menyadari bahwa kekhawatirannya sia-sia. Mamanya tidak akan bertemu Tiara karena tadi pagi wanita itu berangkat sangat pagi. Bahkan mendahului Egi dan Afi. Entah ke mana dia pergi. Namun, Afi yakin sekali bahwa dia tidak akan kembali saat masih pagi seperti ini.

Adapun jalan keluar yang dipikirkan Afi adalah; pertama-tama dia harus menelepon Egi. Dia harus memberitahukan kedatangan mamanya. Sayangnya, Afi tidak menyimpan nomor Egi yang baru. Nomor lama yang masih tersimpan di HP-nya sudah tidak aktif.  

“Minta ke Abang aja kali, ya?” Afi menggumam saat di lapangan parkir. Dia berhenti di tengah-tengah, lalu menggelengkan kepala. “Mau pakai alasan logis apa?” Dia tidak menemukan alasan yang tepat jika ditanya kenapa meminta nomor Egi.

Afi menggaruk pelipis, lalu menatap ruko yang terlihat jelas di balik tembok parkir. Sepertinya dia tidak punya pilihan lain. Dia harus datang langsung ke tempat itu.

Afi merasa gugup ketika mendatangi resepsionis. Apalagi ketika wanita bertutur lembut itu tidak mengenali nama yang dia sebutkan. Untung saja orang yang dicari muncul dari tangga bersama wanita cantik—cantik sekali sampai membuat Afi minder sendiri. Kulitnya putih, tingginya semampai, langsing, dan rambutnya panjang bergelombang. Sedikit nyentrik karena rambut indah itu dicat kuning emas.

“Eh? Kok, ada di sini?” Egi langsung menyapa dan mendatangi Afi begitu melihatnya. “Perasaan baru pisah sebentar. Masa udah kangen, sih?”

Afi tidak menggubris candaan itu. Dia tersenyum tipis dan mengangguk sopan sebagai bentuk sapaan pada wanita cantik yang ikut menghampirinya. Wanita itu pun membalas dengan cara yang sama.

“Kenalin, Jes—she is mine, Fidyana Rosmalina.” Egi memperkenalkan Afi kepada wanita itu. Kalimatnya hampir serupa saat dia memperkenalkan Afi pada Tiara. Bedanya ada pada tambahan berikut; “Kalau orang-orang biasa manggil dia Afi. Kalau saya lebih suka Rosmalina.”

“Oh, wow! Ada panggilan kesayangan rupanya.” Wanita itu berkomentar dengan nada bercanda, lalu mengulurkan tangan. “Saya Jessica. Hari ini udah resmi partner-an sama Egi.”

‘Partner’. Afi mengulang kata itu dalam hati sampai dua kali. Dia teringat cerita Egi tentang partner kerja di Kalimantan yang juga menjadi partner dalam urusan ranjang. Batinnya bertanya was-was. Mungkinkah Egi akan menjadikan wanita itu berstatus ganda seperti partner-nya yang dulu?

“Afi.” Dia menjabat tangan Jessica sambil tersenyum tipis.

Usai jabatan mereka terurai, Egi meminta waaktu kepada Jessica untuk berbicara dengan Afi. Wanita itu mempersilakan dengan senang hati dan mengatakan bahwa dia akan menunggu di parkiran.

“Kalian mau pergi?” tanya Afi begitu Jessica meninggalkan mereka.

Egi membenarkan sambil menggiring Afi duduk ke salah satu barisan kursi panjang. “Padahal baru hari pertama, tapi saya udah dikasih client. Jadi, Jessica mau kenalin saya ke client itu. Udah bikin janji di kafe,” terangnya tanpa diminta.

Afi mengangguk-angguk, lalu teringat tujuannya datang ke sini. “Maaf banget saya ganggu.”

“No-no-no.” Egi menyanggah. Lengkap dengan gelengan. “You don’t bother me at all. Saya senang kamu ke sini.” Dia menggenggam tangan kanan Afi dan memindahkan ke pangkuannya. “Ada apa?”

Sejujurnya Afi ingin sekali menarik tangannya. Dia malu karena ini tempat umum. Bahkan ada beberapa orang yang berlalu lalang melewati mereka. Namun, Afi urung melakukan itu karena urusannya lebih mendesak daripada hanya sekadar mengurusi pandangaan orang lain.

“Saya mau minta pendapat kamu,” kata Afi.

“Wow! Saya senang banget dengar kayak gini. Tell me now!” Egi tampak antusias.

“Mama on the way ke rumah.”

“Aha. Terus?”

“Saya harus gimana?”

Menyadari pertanyaannya kurang jelas, Afi menambahkan. “Ini soal saya, kamu, dan Tiara. Apa saya harus jujur kalau kita bertiga tinggal serumah?”

“Apa risiko yang kamu takutkan dari kejujuran itu?” tanya Egi serius.

“Mama shock, marah, atau mungkin ... kena serangan jantung.”

“Setau saya Mbak Kikan enggak punya riwayat jantung.”

Kikan Jelita adalah kakak sepupu Egi, sekaligus mamanya Afi. Wanita itu memang sudah berusia 52 tahun. Namun, fisiknya masih sangat bugar dan wajahnya awet muda.

“Tapi, saya takut.”

“Jelasin dulu ke saya, apa yang bikin kamu takut?”

Alih-alih menjawab, Afi justru balik bertanya. “Kamu enggak takut?”

“Dimarahi?” tebak Egi yang disambut anggukan Afi. “Enggaklah. Ngapain takut. Kita, ‘kan, cuma tidur sekamar. Kalau misalkan Mbak Kikan enggak terima terus nyuruh saya tanggung jawab, ya, saya ayo-ayo aja. Disuruh nikahin kamu besok saya juga siap.”

Benarkah semuanya akan sesimpel itu? Jelas tidak! Afi tahu betul bahwa mamanya masih memegang teguh norma dan adat. Beliau pasti kecewa karena anak perempuan satu-satunya melanggar norma dan adat yang masih dihormatinya. Afi tidak sanggup melihat kemarahan dan kekecewaan itu.

Melihat Afi terdiam dalam kegelisahan yang tidak bisa diungkapkan, Egi mengembuskan napas dan mengeratkan genggaman. “Okay. Kalau kamu mau yang gampang, tinggal enggak usah ngomong apa-apa.”

“Terus, gimana kalau Mama menginap? Kamu dan Tiara ...?” Afi menggantungkan pertanyaannya, lalu mengatup bibir. Dia melewati batas. Bukankah rumah itu milik Egi? Tidak seharusnya dia membingungkan alasan terkait keberadaan pria itu.

“Soal Tiara biar saya yang urus. Kalau memang Mbak Kikan mau nginap, silakan. Saya welcome banget. Kamu bisa tidur sama beliau di kamar atas. Biar nanti saya tidur di perpustakaan.”

Afi merasa sangsi bahwa ini adalah jalan keluar terbaik. Haruskah dia mengorbankan pemilik rumah demi kedamaian hidupnya?

Afi memikirkan hal ini lamat-lamat sambil menunduk dan menutup mata. Sementara itu, Egi tidak mendesaknya. Dia sabar menunggu sampai wanita itu memilih jalan keluar sendiri. Dia hanya menunjukkan jalan. Urusan pilihan, Egi menyerahkan sepenuhnya kepada wanita itu.

Afi menghirup napas dalam-dalam, lalu membuangnya sambil membuka mata. Dia mengangguk-angguk dan mengeluarkan kata ‘okay’, lalu berdiri.

Egi ikut bangkit. Sebenarnya dia penasaran tentang pilihan apa yang diambil Afi. Sepintas, kata ‘okay’ memang menunjukkan persetujuan. Namun, Egi tidak yakin bahwa wanita itu menyetujui usulannya. Jangan-jangan, wanita itu mempunyai jalan keluar lain yang tidak diungkapkan kepadanya. Hal itu membuat Egi was-was, khawatir kalau dugaannya benar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status