Share

WARNING!

“Pagi!” Afi masuk ke markas IT sambil menyapa anak buahnya seperti biasa.

“Loh? Udah masuk, Bu?” Salah satu anak magang yang tadinya bermain game mempertanyakan kemunculan Afi.

“Iya. Kok, udah masuk?” Pria berkacamata yang berdiri memegang mug beruap ikut bertanya. “Padahal rencananya, nanti sore kita semua mau ke rumah Ibu,” tambahnya. Kemudian melangkah menuju meja yang berada tepat di samping ruangan Afi.

“Saya udah enggak punya rumah. Jadi, sekarang udah waktunya ngumpulin pundi-pundi buat beli rumah baru,” jawab Afi sambil berjalan menuju ruangannya. Namun, begitu melewati meja pria berkacamata tadi, Afi mendadak berhenti. Dia menoleh, menatap anak magang yang duduk di samping dispenser. Anak itu kembali fokus bermain game.

“Itu namanya siapa? Saya lupa,” tanya Afi pada pria berkacamata sambil menunjuk si anak magang.

“Tito,” jawab si pria.

Kemudian Afi memanggil anak magang itu dan menanyakan ke mana teman-temannya. “Kalian biasanya berempat, ‘kan?”

“Itu, Bu. Lagi ke ... Diklat atau Humas, ya?” Anak itu kelihatan bingung sendiri. “Pokoknya ke kantor manajemen, Bu. Ngecek printer. Katanya ada yang trouble.”

Afi manggut-manggut. “Kamu sibuk enggak?”

“Free, Bu.” Tito langsung sigap berdiri. Dia sudah tahu bahwa Afi akan memberikan tugas.

“Okay, saya minta tolong, coba kamu carikan toko service komputer yang berani beli tabung komputer rusak. Kalau ada, cari yang berani beli dengan harga di atas rata-rata. Buat list, nanti kasih ke saya.”

Perintah Afi disambut penuh semangat. “Siap, Bu.” Anak magang itu memberi hormat ala tentara.

Kemudian Afi berpindah menatap pria yang menyesap kopi. “Jer!”

“Iya, Bu.” Pria itu menyahut buru-buru.

“Kalau anak magang yang lain udah balik, suruh mereka mindahin tabung-tabung itu ke gudang, ya.” Afi menunjuk tumpukan tabung komputer di pojok ruangan.

“Siap, Bu.”

“Habis itu, suruh mereka bongkar CPU-CPU di gudang. Ambil spare part-nya. Terus cek satu-satu, masih berfungsi atau enggak. Kalau masih, tolong bersihin dan simpan di wadah. Diorganisir, ya. Misalnya, RAM nyimpannya di wadah RAM dan hard disk nyimpannya di wadah hard disk. Jangan dicampur biar nanti nyarinya enak.”

“Paham, Bu.”

“Okay. Thanks, ya, Jer.”

“You’re welcome, Bu Cantik.”

Afi tersenyum sebelum beranjak ke ruangannya. Setelah meletakkan tas jinjing di meja, dia menyalakan AC. Ketika itu, HP dalam tasnya berbunyi. Abangnya menelepon.

“Halo, Bang.” Afi duduk di kursi.

“Gimana, Dek? Kerasan tinggal di rumah baru?”

Afi mengembuskan napas sangat pelan, lalu menyandarkan punggung dan kepala. Dia dilema. Haruskah dia mengatakan bahwa Egi sudah pulang dan mereka tinggal bersama?

Afi menimbang dampak pilihan itu. Namun, risikonya tampak begitu tinggi. Afi takut abangnya memaksa pindah. Apalagi kalau dia tahu bahwa Tiara juga tinggal di sana. Dia pasti akan mempertanyakan, di mana Afi tidur.

Afi tidak mungkin mengatakan bahwa dia tidur sekamar dengan Egi. Bahkan berbagi ranjang dan selimut. Meskipun begitu, mereka tidak melakukan apa-apa. Hanya sebatas tidur bersama. Ya, walaupun ada adegan pelukan, tapi tidak lebih dari itu. Mereka sama-sama menjaga diri dari jerat hasrat.

“Dek? Suara Abang jelas, ‘kan?”

Afi mengiakan dengan tenang. Kemudian dia mengatakan cukup kerasan tinggal di rumah itu.

“Bagus, deh, kalau gitu. Oh, iya. Abang kirim paket. Ada seragam istri Abang yang enggak terpakai lagi. Masih bagus dan layak pakai.”

Afi senang mendengar kabar itu. Dia sudah tidak punya stok seragam. Sekarang pun dia hanya mengenakan kemeja putih dan rok spandek hitam. Mirip dengan pakaian anak magang.

Kemarin saat berbelanja, dia hanya membeli pakaian harian dan satu pakaian formal yang sekarang dikenakan. Sebenarnya dia ingin mencari kain hijau dan batik, serta seragam mustard. Sayangnya, Egi sulit diajak berkompromi.

“Kamu butuh sesuatu, Dek?” tanya Dian. “Uang misalnya.”

Afi menggeleng meskipun dia tahu betul bahwa abangnya tidak akan melihat. “Enggak, Bang. Tabunganku aman, kok. Malah banyak transferan masuk. Teman-teman kantor pada ngirim sumbangan. Sampai Pak Direktur pun ikut-ikutan kirim transferan. Mana nominalnya gede banget lagi.”

Meskipun keadaannya menyedihkan, Afi merasa tidak pantas menerima sumbangan. Dia masih mampu bekerja. Bahkan sekarang dia mendapatkan tempat tinggal yang sangat layak huni. Namun, Afi tidak enak hati untuk menolak atau pun melarang niat baik orang. Dia juga tidak mungkin mengembalikan dana yang sudah ditransfer. Dia khawatir tindakan itu akan menyinggung perasaan orang.

“Ya, bagus, dong, Dek. Itu artinya banyak banget orang yang peduli sama kamu. Kenapa kamu malah menggerutu gitu?”

“Aku enggak enak, Bang. Menerima uang orang secara cuma-cuma itu rasanya ... ugh, gimana gitu.” Afi kesulitan mencari padanan kata yang tepat. “Rasa-rasanya hidupku udah dibeli sama mereka. Aku khawatirnya kalau suatu saat nanti aku bikin salah, mereka bakal minta ganti atau mengungkit-ungkit kebaikan. Aku enggak suka kayak gitu.”

Meskipun Dian adalah pria, Afi merasa lebih nyaman dan bebas menumpahkan uneg-unegnya. Selain karena abangnya dapat dipercaya, Dian juga tidak bekerja di tempat yang sama dengannya. Sebab itulah Afi yakin rahasianya tidak akan bocor ke mana-mana. Namun, tentu saja perkara Egi dan Tiara adalah cerita yang berbeda. Afi tidak yakin menceritakan masalah itu.

“Lebay kamu! Enggak boleh berprasangka buruk sama orang. Mereka kasih sesuatu, ya, terima. Soal ikhlas enggak ikhlas, atau misalkan mereka pamrih, itu bukan urusan kamu, Dek. Kamu, ‘kan, enggak pernah maksa.”

“Tapi, tetap aja aku enggak enak ....” Afi cemberut. Telunjuknya membuat gambar lingkaran di lengan kursi.

“Udah, ah. Kalau kamu enggak mau terima, kirim aja ke Abang. Dengan senang hati Abang--”

“Enggak!” Afi cepat memotong. “Jangan mimpi, ya, Bang.”

“Eh, ngomong-ngomong soal mimpi, nih, Dek. Tadi malam, Abang mimpi jorok.”

Curhat pembuka itu tak pelak mendatangkan kerutan di kening Afi. “Jorok gimana maksudnya?”

“Emmm, Abang mimpi mergokin kamu skidipapap.”

Mata sipit Afi melebar maksimal. Dia melongo, tak habis pikir dengan mimpi abangnya.

Segelintir orang mungkin menganggap bahwa ‘skidipapap’ adalah bagian dari lagu Tompi. Penyanyi Jazz itu sering kali memakai kata ‘skidipapap’ sebagai pengisi kekosongan musik. Namun, orang-orang zaman sekarang menjadikan kata aneh itu sebagai samaran makna yang sangat vulgar, yakni berhubungan badan.

“Tau enggak sama siapa?” tanya Dian. Mengajak Afi bermain tebak-tebakan.

Tentu saja Afi tidak tahu. Dia tidak punya indera keenam yang bisa membaca pikiran abangnya.

“Sama Om Egi!”

DEG!

Bagaikan mendengar dentuman petir, Afi terkinjat sampai jantungnya berdetak cepat. Tidak hanya itu, mendadak kepalanya terasa panas. Darahnya seolah terkumpul di sana. Sementara itu, tangannya jadi genetaran dan dingin. Perubahan mekanisme tubuhnya itu terjadi sangat cepat.

“Gila, ‘kan? Abang enggak ngerti banget kenapa bisa mimpi kayak gitu. Padahal Abang ini enggak kekurangan seks, loh. Istri Abang siap gempur tiap malam.”

Lutut Afi terasa lemas, padahal dia tidak berdiri. Dia mengurut kening yang mendadak merasa pening.

Mungkin bagi Dian mimpinya hanya lelucon. Bunga tidur yang ‘ngelindur’. Namun, tidak demikian bagi Afi. Mimpi abangnya seperti sebuah warning.

Afi mulai berpikir untuk secepatnya mencari rumah baru agar mimpi abangnya tidak jadi kenyataan? Dia cemas. Tadi malam dia memang hanya sebatas tidur bersama dengan Egi. Namun, dia tidak bisa menjamin malam ini dan ke depannya. Dia tidak tahu seberapa kuat imannya dalam menangkal setiap sentuhan Egi. Afi tidak menampik bahwa hasratnya kerap terpantik.

“Dek?” Dian memanggil karena adiknya tak kunjung bersuara.

“Iya.” Ari menjawab lemah.

“Kamu kenapa? Sakit?”

“Enggak.” Afi menggeleng.”

“Serius?”

Afi menjawab dengan gumaman.

“Oh, iya. Abang hampir lupa bilang ini, Mama on the way ke rumah kamu.”

“Hah?” Afi bangkit dari kursinya dalam keadaan mata melotot. “Rumahku yang mana?”

“Ya, yang sekarang, lah. Rumah Om Egi.”

Gawat!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status