Dirgantara mendapatkan tugas mengawasi pendidikan yang tengah ditempuh oleh para prajurit. Dia tidak akan bertemu dengan Alina selama seminggu ke depan. Untunglah ada sang ibu yang akan menemani istri manjanya itu.
"Alina, tolong kamu siapkan semua pakaian tugas milik suamimu. Mari ibu bantu kamu untuk menyiapkannya. Biar kamu terbiasa dan tahu mana-mana saja seragam yang harus dibawa," lirih ibu sambil merangkul lengan menantunya itu. "Baiklah, Bu," jawab Alina yang ditanggapi senyuman oleh nyonya Suyarso. Kini kedua wanita itu tengah sibuk menata dan menyiapkan pakaian milik Dirgantara. "Lin, apakah kamu bahagia hidup bersama, Dirga?" tanya sang ibu mertua, membuat Alina kaget. "Ehm ... kan baru dua hari, Bu. Mana bisa Alina menilai," jawaban dari Alina tersebut membuat nyonya Suyarso mengernyit. "Kok baru dua hari? Bukannya kamu juga sangat menginginkan pernikahan ini? Nyatanya kamu ikut daftar calon menantu keluarga Suyarso." Seketika Alina terdiam dan menunduk. "Jangan bilang kamu menyesal menikahi Dirgantara ya, Alina. Tapi ... jangan khawatir, dengan beriringnya waktu, pasti kamu akan terbiasa dan bisa menerima Dirgantara dengan sepenuh hati. Ibu dan ayah mertuamu sangat sayang loh sama kamu. Jadi, jangan buat kami kecewa, ya. Oh ya, jangan lupa, segera beri kita berdua cucu," celotehan dari nyonya Suyarso, membuat Alina bingung. "Iya, Bu. Nanti akan Alina coba." "Jangan nanti, tapi harus! Harus kamu lakukan! Sekarang ayo kita antarkan tas ransel ini pada suamimu," wanita paruh baya itu sudah menenteng tas ransel milik Dirgantara, untuk dibawa ke ruang tamu. "Dirgantara nitip Alina ya, Bu." ucap Dirgantara yang membuat sang ibu tersipu. "Ih, yang pengantin baru. Tenang saja, Alina akan ibu jaga sebaik mungkin, melebihi diri ibu sendiri." jawab wanita paruh baya itu dengan senyuman ramahnya. Kini pemuda tampan itu pergi meninggalkan asrama, sampai seminggu kedepan. Sesekali dia menoleh ke arah istri dan ibunya yang saat ini masih berdiri di depan pintu. "Hati-hati!" teriak sang ibu menyemangati dan mendoakan putra sulungnya itu. "Ayo masuk, Alina" ajak ibu dan diikuti oleh wanita cantik itu. "Ayo kita belajar masak dulu." "Tidak, Bu. Nanti saja. Alina capek, Alina pengen istirahat," ucapnya terlihat malas dan tak bertenaga. "Bukannya kamu baru saja bangun tidur, kok sudah mau ke kamar lagi, Nak? Nggak baik loh, kalau seorang istri kembali tidur di jam segini. Setidaknya, lakukanlah aktivitas yang bermanfaat, agar tubuhmu nggak loyo. Jadi istri prajurit itu harus kuat, sabar dan tabah. Nggak boleh ngeluh apalagi malas." "Bu, yang bertugas itu mas Dirga. Bukan Alina. Kenapa Alina juga harus ikut militer? Alina ini istri, Bu." sahut wanita cantik itu dan berlari masuk ke dalam kamarnya. Seketika nyonya Suyarso terdiam dan mematung. Dia tidak menyangka kalau ucapannya bisa melukai hati Alina yang cantik itu. "Ya Tuhan, kenapa begini? Kenapa aku malah membuat menantuku sedih? Bisa gawat kalau ketahuan Dirgantara. Aku harus ke dalam kamarnya dan membuat hatinya kembali tenang. Setelah menghela nafas dalam-dalam, nyonya Suyarso pun melangkah menuju kamar menantunya. Dia mengetuk pintu, berharap mendapatkan respon dari Alina. "Alina" panggil wanita paruh baya itu dari luar kamar. "Nak" sapanya lagi, yang akhirnya ditanggapi oleh sang menantu. "Maafin Ibu, ya. Bukan maksud ibu mau menekan kamu, Nak. Ibu hanya ingin kamu menjadi wanita yang paling sempurna di mata Dirgantara. Selama ini putraku itu sangat acuh pada semua wanita. Beberapa kali ibu dan Ayah mengenalkan dia dengan wanita berkelas dan berpendidikan. Tapi dia menolak dan malah memarahiku. Sehingga kita diam dan berserah. Untung kali ini dia mau mengikuti saran dariku, untuk mencari teman hidup. Saat pilihan ibu jatuh pada kamu, tiba-tiba dia langsung mengiyakan. Ini merupakan anugerah dari yang diatas untuk kami dan Dirgantara. Jadi ... maafkanlah ibu, Nak Alina. Ini semua demi kebaikan kalian berdua. Tugas Dirgantara memang seperti ini, dan sebagai istri, kamu juga akan menjadi peran utama, Alina," jelas nyonya Suyarso panjang kali lebar pada menantu cantiknya itu. Mendengar semua penjelasan dari sang ibu mertua, membuat Alina akhirnya bangkit dan memeluk erat tubuh mertuanya. "Alina juga minta maaf, Bu. Alina sangat egois." jawab Alina yang saat ini sesenggukan di bahu ibu mertuanya. "Sudah ... sudah ... sekarang ayo kita masak," ucap sang ibu yang langsung diangguki oleh Alina. Kini keduanya nampak ceria dan menikmati aktivitas masak di dapur. Sedikit berbincang, sang ibu menceritakan tentang masa kecil Dirgantara yang begitu cengeng dan sering sakit. Mendengar sepenggal masa lalu suaminya itu, membuat Alina tersenyum sinis. Seakan dia punya senjata untuk mengancam sang suami yang sering berbuat usil padanya. Setelah selesai mengerjakan dua resep masakan, ibu dan menantu itu pun beristirahat sejenak di meja makan. "Apakah kamu sudah bisa mempraktekkan masakan ibu tadi, Alina?" tanya nyonya Suyarso yang diangguki oleh Alisa. Wanita paruh baya itu pun tersenyum manis, akhirnya usahanya untuk mendapatkan hati Alina, berhasil. Sore berganti malam, Alina bersama sang mertua tidur bersama dalam satu ranjang. Tiba-tiba Alina terbangun karena barusan mimpi buruk. Hatinya berdegup kencang, seakan ada sesuatu firasat yang menyayat hatinya. "Ada apa ini? Apakah ada sesuatu yang terjadi pada mas Dirga?" gumam Alina dalam hati. Wanita cantik itu langsung meraih syal yang ada di samping tempat tidur dan pergi keluar kamar untuk melihat keadaan di luar. "Kenapa ini? Kenapa hatiku berdebar tidak karuan? Apakah ada sesuatu?" di tengah gelapnya malam yang dingin, tiba-tiba datang sepeda motor parkir di halaman asrama. Seorang pria berseragam berjalan menghampiri Alina yang saat ini berdiri cemas. "Mbak Alina?" "Benar. Ada apa ya, Pak?" tanya wanita cantik itu semakin khawatir. "Hmmm, apa kita bisa bicara di teras? Ada sesuatu hal yang ingin saya sampaikan pada mbak Alina?" "Oh, silahkan, Pak!" Suasana malam semakin mencekam, rasa takut dan cemas bercampur jadi satu dalam hari wanita bernama lengkap Alina Anastasia itu. "Katakanlah, Pak!"Dengan tertatih-tatih wanita itu menghampiri seseorang yang nampak lemah penuh luka. "Ya ampun, Mas. Apakah kamu baik-baik saja?" tanya wanita hamil itu mencoba membantu pria itu dari semak belukar. "Saya ada di mana ini?" tanya lemuda itu lagi dengan darah yang mengucur di seluruh tubuhnya. Wanita manis berkulit sawo matang itu menggelengkan kepalanya, dia tidak mau menanggapi pertanyaan dari pria itu. Sang wanita memilih menyelamatkannya terlebih dahulu. Tidak jauh dari tempatnya berjalan, terlihat camp-camp kecil pemukiman milik warga sekitar. "Masuk dan duduklah, aku akan merebus air untuk membersihkan luka-lukamu, Mas. Disini jauh dari tempat kesehatan. Jadi, tolong bersabar ya," ucap wanita hamil itu dengan nada lembut. Segera wanita bernama Ana itu merebus air yang akan dia gunakan untuk membersihkan luka-luka di tubuh pemuda itu. "Siapa dia, Ana?" tanya wanita paruh baya yang merupakan ibu dari Ana. Dia melihat bingung pada pemuda berseragam loreng yang penuh dengan noda da
"Ayo istirahat, Na" ajak sang ibu dengan wajah tenang dan ramah. Alina pun mengangguk dan mulai terpejam, dalam tidurnya dia bermimpi bertemu dengan sang suami yang baru saja berangkat. Dia terus meminta tolong pada Alina yang tak bisa menggapai tangannya. mimpi buruk itu, membuat Alina kembali terbangun. Nafasnya ngos-ngosan tidak karuan. Dia tidak tahu apa arti dari mimpinya tersebut. Tiba-tiba, ponselnya berdering, sebuah panggilan darurat dari tempat bertugas Dirgantara, memberitahukan kalau pesawat militer yang di tumpangi puluhan prajurit dan letnan itu jatuh dan hilang dari radar. Sejenak Alina tidak bisa berkata-kata. Dia terdiam tanpa kata dan bengong menatap jam dinding yang tengah berputar."Apakah aku bermimpi? Apakah aku masih di alam mimpi? Ibu! Ibu!" teriakan dari Alina membuat sang ibu kaget dan bergegas pergi ke kamar putrinya untuk melihat keadaan Alina. Wanita paruh baya itu memeluk Alina dan menenangkannya. Perlahan-lahan dia mulai bertanya pada Alina tentang kepa
Diam-diam, Alina mendengar perbincangan suaminya dengan sang atasan. Sejenak Alina terdiam dan menghela nafas dalam-dalam. "Apakah benar, kamu akan pergi selama setahun? Bukannya pangkatmu itu sudah tidak harus pergi-pergi ke luar daerah, Mas?" ketus Alina saat sang suami mengakhiri panggilannya. "Bukan begitu, Na. Ini darurat, harus ada yang membimbing dan mengarahkan para prajurit. Aku tidak bisa memilih, Na. Ini adalah pekerjaanku dan aku harus siap menanggung konsekuensinya.""Sekalipun harus meninggalkan istrinya yang tengah hamil?" sahut Alina yang membuat Dirgantara terdiam sejenak. "Hah, maafkan aku, Na. Aku akan meminta tolong pada ayah dan ibu, untuk menjagamu," lirih Dirgantara yang membuat Alina berkaca-kaca. "Terserah kamu, Mas. Intinya aku kecewa," timpal Alina dan membelakangi suaminya. "Na ....""Udahlah, Mas. Aku nggak bisa berkata-kata lagi selain mengikhlaskan kamu," tegas Alina yang membuat Dirgantara meneteskan air matanya. Hari yang seharusnya membuat kelua
"Mau paha kirinya, Pak," sahut Dirgantara terlihat frustasi. Tidak lama, penjual memberikan dua paha goreng lagi pada Dirgantara. "Ini asli kiri ya, Pak?" "Hmmm, kayaknya iya. Menurut mata batin saya, Mas," jawab sang penjual yang diangguki oleh Dirgantara. Setelah membayar, Dirgantara kembali pulang menemui istrinya yang saat ini sudah muntah-muntah di kamar mandi. "Alina, jangan-jangan kamu hamil?" tanya Dirgantara yang menatap panik pada istrinya. "Entahlah, Mas. Rasanya aku malas ngapa-ngapain. Kamu bikin makanan sendiri aja. Aku mau istirahat. Kalau ibumu tiba-tiba datang lagi, bilang jangan buat keributan dulu." ucap Alina sambil berjalan melewati suaminya yang masih membawa bungkusan ayam goreng. "Na, terus paha kirinya gimana?" tanya Dirgantara bengong menatap sang istri."Udah nggak nafsu," ketusnya yang langsung masuk ke dalam kamar. Dirgantara hanya bisa menghela nafas dalam-dalam dan menaruh paham ayam goreng di atas meja makan. "Mas!" panggil Alina lagi yang membuat D
"Na!!" sapa Dirgantara yang berlari mengikuti langkah sang istri. "Jangann, Na!" teriak Dirgantara membuat tetangga sebelah keluar. Mereka bertanya pada Dirgantara dan juga Alina, tentang keributan yang terjadi. Alina pun menjawab, kalau dirinya ingin suaminya mencurikan mangga milik tetangganya itu. Sejenak sang tetangga terdiam dan saling memandang. Sepertinya mereka paham dengan apa yang barusan di katakan oleh Alina. "Oh, istrinya ngidam maling mangga ya, Pak?" "Hah ... anu ... iya!" jawab Dirgantara asal, dia tidak mau menambah masalah lagi. "Oalah, ya udah, Pak. Silahkan di curi mangganya. Kita nggak lihat kok, iyakan Pah," ucap sang istri yang diangguki suaminya. "Iya, nggak apa-apa, Pak. Curi saja setiap kepingin." sahut sang suami dari tetangga sebelah dan kembali masuk. Dirgantara dan Alina celingukan saling pandang. "Loh, mau kemana, Mas?" tanya Alina yang melihat suaminya itu mendekati buah mangga. "Katanya suruh nyuri, mumpung harga diriku masih setengah tiang ni
Alina terkapar tak sadarkan diri, tidak ada pergerakan dari tubuh mungilnya yang mulai berisi itu. Dirgantara yang baru saja berangkat, tiba-tiba merasa cemas dan khawatir dengan keadaan Alina yang dia tinggal begitu saja. "Hah, astaga. Saking banyaknya pekerjaan dan masalah tentang ibu, membuat aku dan Alina semakin jauh dan asing. Aku sudah jarang menyentuh dan memperhatikannya." gumamnya di sepanjang perjalanan. Karena hatinya terus gusar dan gelisah, Dirgantara akhirnya berbalik arah menuju rumahnya lagi. Dia ingin meminta maaf pada istrinya, tentang sikapnya yang kurang baik akhir-akhir ini. Sesampainya di rumah, pria gagah dan berseragam itu mencari-cari keberadaan istrinya yang tak ada di manapun. "Alina!" panggilnya lagi, tapi tidak ada tanggapan dari wanita manja yang biasanya banyak tanya itu. Langkahnya terhenti, saat melihat sang istri jatuh pingsan diantara meja makan. Segera dia menghampiri Alina dan mengangkat tubuh wanita cantik itu menuju sofa. "Alina! Bangun, Na. Sa