"Begini, katanya pak Dirgantara nitip minta dibawain selimut warna coklat yang ada di dalam lemari. Katanya di sana udaranya sangat dingin. Kebetulan saya mau pergi ke asrama satu, jadi sekalian saya bawain, Mbak," jawab pria paruh baya berseragam itu dengan wajah tenang.
Seketika Alina menghela nafas kasar. Dia tidak menyangka, pria paruh baya itu benar-benar membuatnya jantungan. "Ya ampun, Pak. Saya kira ada kabar apa, ternyata hanya sebuah selimu. Kalau begitu bapak tunggu sebentar di sini. Saya akan ke dalam mengambilkan selimut pesanan mas Dirga," sahut Alina yang pergi meninggalkan pria berseragam itu menuju kamar. Dengan hati-hati, wanita cantik itu membuka lemari pakaian agar tidak membangunkan ibu mertuanya. Dengan seksama, Alina melihat-lihat lipatan selimut yang ada di depannya. "Apa yang ini?" batinnya sambil mengambil selimut tipis berwarna coklat dan membawanya ke depan. "Ini, Pak. Terima kasih ya Pak, sebelumnya sudah mau di repotkan." Pria itu pun berdiri dan menerima tas berisi selimut dari Alina. Kini pria paruh baya itu pergi meninggalkan asrama dua menuju ke tempat Dirgantara. "Ibu" Alina terkejut karena melihat sang ibu mertua sudah berada di belakangnya. "Siapa orang tadi, Alina? Nggak baik malam-malam begini menerima tamu di asrama. Ingat, kamu ini istri dari seorang prajurit yang harus menjaga nama baiknya!" tegas Nyonya Suyarso kepada menantu kesayangannya itu. Entah kenapa, tiba-tiba ada wajah curiga pada wanita paruh baya itu. "Ibu Alina tidak melakukan apapun. Alina hanya ...." "Masuk dan kembalilah beristirahat!" ketus sang ibu mertua yang terlihat benar-benar marah. Alina hanya terdiam dan mengangguk. Tidak lupa Alina menutup dan mengunci pintu. "Ingat Alina, jangan pernah menerima tamu di malam hari. Apa kata para istri yang lain, jika melihat kejadian tadi? Benar-benar mengecawakan. Untung ibu ada di sini. Coba kalau tidak, apa kamu akan membawa pria-pria itu masuk ke dalam," celetuk wanita paruh baya itu lagi dan pergi. Tanpa berucap, Alina langsung meneteskan air matanya. Hatinya begitu sakit saat penjelasannya tidak didengarkan oleh mertuanya. "Kurang ngalah apa coba?" lirihnya sambil menghapus air mata yang membasahi pipinya. Kini Alina duduk termenung di tepi ran jang. Dia bingung harus berbuat apa. Mau minta maaf, tapi itu tidak mungkin. Karena Alina merasa tidak bersalah, sehingga tidak perlu meminta maaf kepada wanita paruh baya itu. Walau sulit untuk terpejam, tapi Alina tetap berusaha untuk tenang dan mencoba bersikap dewasa. Tidak terasa, pagi yang sudah di tunggu-tunggu oleh Alina akhirnya datang. Mentari bersinar dengan cahayanya yang menyelinap masuk ke dalam celah jendela dapur. Alina sudah berkutik dengan sayuran, daging dan bahan-bahan yang siap di olah menjadi sarapan. "Kamu harus mengingat semua resep yang sudah ibu ajarkan padamu, Alina. Biar suamimu tidak pernah kelaparan lagi. Tapi kamu jangan khawatir, ibu akan tulis semua resepnya." ucap wanita nyonya Suyarso sambil menumis bumbu yang sudah di haluskan. Alina tidak banyak bicara, dia hanya tersenyum dan mengikuti semua perintah dari ibu mertuanya itu. Setelah menyelesaikan semua masakan, Alina segera menata semua masakan di atas meja makan. "Alina ayo di makan. Kamu harus cicipi masakan kita pagi ini," ucap sang ibu mertua yang diangguki oleh Alina. Wanita cantik itu lebih banyak diam, dia tidak seperti biasanya yang sering bertanya dan manja. Tiba-tiba telepon sang ibu berdering. Panggilan dari Dirgantara membuat wanita paruh baya itu bersemangat. Dia memberitahu kalau hari ini membuat sarapan bareng Alina. Dia juga mengatakan pada putra sulungnya itu sudah mengajari Alina banyak hal. Tiba-tiba Dirgantara mengatakan pada ibunya, kalau semalam meminta salah satu temannya untuk mengambilkan selimut. Sejenak sang ibu terdiam dan menoleh ke arah Alina. Tidak lama, sang Letnan berpamitan pada ibu dan mengakhiri panggilan. "Kok Dirgantara teleponnya ke ibu? Apa kamu tidak memberikan nomor ponselmu, Alina?" tanya nyonya Suyarso yang di jawab gelengan kepala oleh Alina. "Alina tidak sempat, Bu." Mendengar jawaban dari Alina tersebut membuat wanita paruh baya itu menghela nafas panjang. "Alina, kenapa ibu memilih kamu untuk menjadi istri Dirgantara? Karena ibu tahu latar belakangmu dan bagaimana pendidikan mu. Ibu berharap, kedepannya kamu bisa lebih fokus mengurus Dirgantara di banding apapun. Karena, urusan suami itu nomor satu. Terlebih lagi, suamimu itu bukan orang sembarangan. Jadi, ibu harap kamu mengerti apa yang ibu maksud, Nak," jelas nyonya Suyarso lagi yang menambah tekanan pada hati Alina. "Iya, Bu." "Oh, ya. Nanti sore suamimu itu mau pulang. Katanya dia minta izin beberapa hari untuk menemani kamu. Setelah pernikahan, dia belum sempat cuti. Lihatlah, betapa perhatiannya suamimu itu. Dia ingin lebih dekat denganmu__" "Hah ... maaf ya, Bu. Alina mau jalan-jalan pagi di sekitar asrama. Rasanya badan Alina kaku semua." ucap Alina yang bersiap meninggalkan meja makan. Sekali lagi wanita paruh baya itu mengingatkan Alisa untuk terlebih dahulu membereskan makanan yang ada di meja makan, dan setelahnya bisa pergi. Tapi Alina kali ini menolak untuk melakukan apa yang di perintahkan oleh ibu mertuanya itu. Dia lebih memilih diam dan pergi begitu saja. Nyonya Suyarso hanya bisa menggelengkan kepala dan membereskan semua piring dan sisa makanan yang ada di atas meja makan. "Anak jaman sekarang, kalau di peringatkan selalu begini. Tapi, semoga saja Alina bisa melakukan apa yang sudah aku ajari," celotehnya sambil kedua tangannya sibuk membawa piring kotor ke dapur. "Untung saja Dirgantara anak yang sabar, pasti bisa mendidik dan menjaga istrinya dengan baik" lirih wanita itu lagi sambil duduk santai di ruang tamu. Tidak lama, datanglah Alina yang nyelonong masuk ke dalam rumah tanpa menyapa ibu mertuanya yang jelas-jelas duduk di sofa ruang tamu. "Alina!" panggil nyonya Suyarso yang menghentikan langkah wanita cantik itu. Nyonya Surayso memandang Alina dengan mata yang tajam, mencoba memahami apa yang sedang berpikir menantunya itu. Alina masih berdiam diri, tidak bergerak atau berbicara, seolah-olah terpaku pada satu titik. Nyonya Surayso merasa tidak puas dengan sikap Alina. Dia merasa bahwa Alina tidak menghormati dirinya sebagai ibu mertua, itulah yang membuatnya merasa kesal. "Alina, apa yang salah?" tanya Nyonya Surayso dengan suara yang sedikit keras. "Mengapa kamu tidak berbicara?" Alina masih tidak bergerak, dia malas menjawab pertanyaan Nyonya Surayso. Dia hanya terus mematung, seolah-olah tidak mendengar apa yang dikatakan oleh ibu mertuanya. "Alina pulang, Bu" Kemudian istri Letnan itu pergi tanpa menoleh. "Kenapa dia? Ada apa dengan anak itu? Bagaimana Dek Wilujeng mendidik attitude putrinya?" "Ini tidak boleh di biarkan. Aku harus ngomong dengan Alina!"Abimanyu lebih banyak menghabiskan waktunya bersama Alina. Dia mencoba untuk mengisi hati kakak iparnya yang tengah sedih. Apapun kebutuhan dari Alina, Abimanyu langsung memenuhi. "Terima kasih mas Abi" lirih Alina saat menerima es teh manis dari Abimanyu. "Minumlah, katanya tadi kamu sangat haus, dan pengen es teh manis," ucap Abimanyu yang ditanggapi senyuman oleh Alina. Sementara ayah dan ibu dari Alina merasa khawatir dengan kedekatan putrinya bersama adik iparnya itu. "Kok aku takut to, Yah. Alina dan Abimanyu semakin akrab dan dekat. Bahkan selalu ada untuk putri kita." ucap Wilujeng sambil mengintip mereka dari ruang tengah. "Sama, Bu. Aku juga takut melihatnya. Entah ini wajar atau tidak, aku tak tahu, Bu. Intinya, Dirgantara masih belum di temukan tapi adiknya sudah sangat hangat pada istrinya," jawab sang suami pada Wilujeng. "Semoga tidak terjadi hal-hal yang tidak di inginkan, Yah. Tanpa Abimanyu, hati Alina akan semakin terluka, Yah. Setidaknya, putri kita bisa sedikit
"Siapa, Bu?" tanya Abimanyu pada Wilujeng yang merupakan ibu dari iparnya tersebut. "Ibu juga nggak tahu, dia mencari-cari Alina," jawab sang ibu yang langsung memberikan ponsel milik putrinya itu. Kebetulan tadi benda pipih itu tertinggal di ruang tamu. Dengan tangan bergetar Alina mulai meraih benda pipih itu dari tangan ibunya. "Mas?" panggil Alina sedikit takut. "Bu Alina?" jawab seseorang yang pasti bukan suara Dirgantara. "Hmm" Dengan bibir yang sulit terbuka, Alina hanya mengkode, kalau itu benar dirinya. "Kami dari tim SAR, telah menemukan ponsel milik bapak Dirgantara di dalam saku jaketnya yang bertuliskan nama beliau. Di panggilan terakhir, kami melihat ada nama anda, sehingga kami langsung menghubungi Ibu.""Terus, bagaimana dengan keadaan suami saya sekarang, Pak?" jawab Alina dengan tubuh yang sudah panas dingin. Wanita cantik itu menunggu jawaban dari suara yang tiba-tiba hening. "Pak! Bagaimana dengan suami saya!" bentak Alina yang akhirnya mendapat jawaban dari sa
Ana merintih kesakitan saat mulai menjajakan kue basah buatan ibunya. Sesekali dia meringis kesakitan menahan nyeri pada perutnya. "Kenapa dengan perutku? Padahal aku tidak salah makan," lirih Ana mencoba beristirahat. Wanita manis itu mencoba mengatur nafasnya dan mengelap keringat pada dahinya. Setelah sejenak beristirahat, Ana terpaksa kembali pulang dengan membawa beberapa kue basah yang masih belum laku terjual. Entah kenapa hari ini perutnya benar-benar sakit. "Loh, Ana," sapa sang ibu yang langsung menghampiri wanita manis itu. Sambil meringis kesakitan, Ana meraih kursi dan mulai duduk. "Perut Ana sakit, Bu. Ndak tau, kok tiba-tiba sakit sekali," keluh Ana sambil mengusap lembut perutnya. Mendengar suara gaduh itu, membuat Tara yang terluka berusaha bangun dari tempat tidurnya dan berjalan ke depan untuk melihat. "Ada apa ini?" tanya Tara terlihat aneh. Ibu dari Ana menjelaskan pada Tara kalau putrinya itu sedang sakit perut. "Kenapa tidak di bawa ke klinik kesehatan saja, B
Dengan tertatih-tatih wanita itu menghampiri seseorang yang nampak lemah penuh luka. "Ya ampun, Mas. Apakah kamu baik-baik saja?" tanya wanita hamil itu mencoba membantu pria itu dari semak belukar. "Saya ada di mana ini?" tanya lemuda itu lagi dengan darah yang mengucur di seluruh tubuhnya. Wanita manis berkulit sawo matang itu menggelengkan kepalanya, dia tidak mau menanggapi pertanyaan dari pria itu. Sang wanita memilih menyelamatkannya terlebih dahulu. Tidak jauh dari tempatnya berjalan, terlihat camp-camp kecil pemukiman milik warga sekitar. "Masuk dan duduklah, aku akan merebus air untuk membersihkan luka-lukamu, Mas. Disini jauh dari tempat kesehatan. Jadi, tolong bersabar ya," ucap wanita hamil itu dengan nada lembut. Segera wanita bernama Ana itu merebus air yang akan dia gunakan untuk membersihkan luka-luka di tubuh pemuda itu. "Siapa dia, Ana?" tanya wanita paruh baya yang merupakan ibu dari Ana. Dia melihat bingung pada pemuda berseragam loreng yang penuh dengan noda da
"Ayo istirahat, Na" ajak sang ibu dengan wajah tenang dan ramah. Alina pun mengangguk dan mulai terpejam, dalam tidurnya dia bermimpi bertemu dengan sang suami yang baru saja berangkat. Dia terus meminta tolong pada Alina yang tak bisa menggapai tangannya. mimpi buruk itu, membuat Alina kembali terbangun. Nafasnya ngos-ngosan tidak karuan. Dia tidak tahu apa arti dari mimpinya tersebut. Tiba-tiba, ponselnya berdering, sebuah panggilan darurat dari tempat bertugas Dirgantara, memberitahukan kalau pesawat militer yang di tumpangi puluhan prajurit dan letnan itu jatuh dan hilang dari radar. Sejenak Alina tidak bisa berkata-kata. Dia terdiam tanpa kata dan bengong menatap jam dinding yang tengah berputar."Apakah aku bermimpi? Apakah aku masih di alam mimpi? Ibu! Ibu!" teriakan dari Alina membuat sang ibu kaget dan bergegas pergi ke kamar putrinya untuk melihat keadaan Alina. Wanita paruh baya itu memeluk Alina dan menenangkannya. Perlahan-lahan dia mulai bertanya pada Alina tentang kepa
Diam-diam, Alina mendengar perbincangan suaminya dengan sang atasan. Sejenak Alina terdiam dan menghela nafas dalam-dalam. "Apakah benar, kamu akan pergi selama setahun? Bukannya pangkatmu itu sudah tidak harus pergi-pergi ke luar daerah, Mas?" ketus Alina saat sang suami mengakhiri panggilannya. "Bukan begitu, Na. Ini darurat, harus ada yang membimbing dan mengarahkan para prajurit. Aku tidak bisa memilih, Na. Ini adalah pekerjaanku dan aku harus siap menanggung konsekuensinya.""Sekalipun harus meninggalkan istrinya yang tengah hamil?" sahut Alina yang membuat Dirgantara terdiam sejenak. "Hah, maafkan aku, Na. Aku akan meminta tolong pada ayah dan ibu, untuk menjagamu," lirih Dirgantara yang membuat Alina berkaca-kaca. "Terserah kamu, Mas. Intinya aku kecewa," timpal Alina dan membelakangi suaminya. "Na ....""Udahlah, Mas. Aku nggak bisa berkata-kata lagi selain mengikhlaskan kamu," tegas Alina yang membuat Dirgantara meneteskan air matanya. Hari yang seharusnya membuat kelua