Wanita paruh baya itupun akhirnya beranjak dari ruang tamu menuju kamar menantunya. Setelah cukup lama berpikir, akhirnya nyonya Suyarso memberanikan diri untuk mengetuk pintu yang sedikit terbuka itu. "Alina, apakah ibu boleh masuk?" tanya sang mertua sedikit sungkan.
"Masuk, Bu," jawab Alina yang yang berbaring dengan posisi membelakangi pintu. "Nak Alina, apakah ibu boleh ngomong sebentar," lirih nyonya Suyarso yang kini sudah duduk di tepi ranjang. "Silahkan, Bu," jawab Alina masih dengan posisi yang sama. Setelah cukup lama terdiam, nyonya Suyarso akhirnya memberanikan diri untuk mengatakan pada Alina, perihal sikapnya barusan yang tidak menghargai orang lain. "Jadi ... menurut Ibu, sikap Alina kurang baik?" lirih Alina yang kini sudah bangkit dan menatap ibu mertuanya itu. "Bukan begitu, Alina. Ibu hanya ingin memberi pengertian kepadamu. Barusan sikapmu yang main nyelonong itu salah, Nak. Seharusnya salam dulu dan menebar senyum. Walau tidak menyapa, setidaknya tersenyumlah," jelas wanita paruh baya itu dengan nada lemah lembut. Setelah terdiam lumayan lama, Alina akhirnya menatap ibu mertuanya penuh sopan dan meminta maaf atas perilakunya yang menurut wanita paruh baya itu kurang sopan. Keduanya kini saling berpelukan dan kembali beristirahat. Dalam diam, Alina mulai berpikir, apakah perjodohannya ini benar-benar akan bahagia. Secara, dia masih belum bisa menaruh hati pada sang Letnan. Walau dia tampan dan baik hati, selera Alina bukanlah Dirgantara, yang tegas, serius dan disiplin. Karena berbanding terbalik dengan dirinya yang banyak membuang waktu dan senang di layani. "Hah, bagaimana akhir dari pernikahanku nantinya?" batin Alina masih menatap langit-langit di kamarnya. Terdengar suara motor parkir di halaman rumah, yang membuat Alina segera beranjak dari tempat tidurnya, untuk melihat siapa yang datang. "Mas Abimanyu?" gumam Alina mengintip dari balik jendela. Segera wanita cantik itu membenahi penampilannya dan membukakan pintu. "Hai" sapa Alina pada pemuda tampan yang selama ini menjadi pujaan hatinya. "Ibu mana?" tanya Abimanyu yang tiba-tiba mencari sang ibu. "Oh ... Ibu. Beliau sedang beristirahat di kamar. Memangnya ada apa ya, Mas?" tanya Alina yang ditanggapi senyuman oleh pemuda itu. "Tidak, katanya semalam dia minta di jemput hari ini." jawab Abimanyu sambil melangkah masuk menuju ruang tamu. "Apa perlu Alina bangunin, Mas?" tanya wanita yang dihentikan oleh Abimanyu. Adik dari Dirgantara itu, tidak ingin mengganggu istirahat sang ibu, sehingga dia memilih untuk menunggunya saja di ruang tamu. "Kamu betah tinggal di sini?" tanya Abimanyu yang tiba-tiba membuat Alina tercengang. "Hah, ya betah nggak betah, Mas. Namanya juga ikut suami," jawab Alina yang membuat Abimanyu terkekeh. Dia sangat penasaran, dengan kisah cinta keduanya. Secara, Dirgantara yang sangat cuek dan dingin, mana bisa merayu seorang wanita, menurut Abimanyu. Setelah berdehem, Abimanyu nampak serius menatap Alina. Dia ingin kakak iparnya itu sedikit bercerita mengenai perjalanan cintanya, selama tiga hari ini. "Tidak ada yang spesial, Mas. Ngapain juga kamu penasaran," ketus Alina sambil mengerucutkan bibirnya. "Apakah, kakakku itu sudah ...." "Cukup! Jangan tanya yang aneh-aneh. Sekarang mas Abi pengen minum apa? Biar Alina buatkan?" tanya wanita cantik itu yang mengundang kesal sang ibu mertua. Diam-diam nyonya Suyarso menguping dan mengintip percakapan menantu dan putra bungsunya itu. "Ehem ... bukannya kamu paling nggak bisa masalah dapur? Kok tumben ini semangat sekali?" tanya ibu mertua mengagetkan Alina. "Ibu, bikin orang jantungan aja," jawab Alina dengan wajah yang nampak kaget. Wanita paruh baya itu kembali bertanya kepada Alina, mengenai dirinya yang begitu bersemangat saat bersama dengan Abimanyu. Alina pun tersenyum dan menggeleng. Wanita cantik itu tidak mau berdebat lagi dengan sang ibu mertua, yang akan berakhir dengan wejangan. "Perasaan ibu aja itu. Namanya juga tamu, ya harus di jamu, Bu." sahut Alina yang langsung melengos dari hadapan nyonya Suyarso. Kembali wanita paruh baya itu menggeleng sambil menghela nafas panjang. Kini ibu dari Dirgantara itu pergi menghampiri putra bungsunya. "Ngapain kamu kesini, Bi?" tanya sang ibu yang membuat Abimanyu mengerutkan keningnya. Pemuda itu pun mengingatkan pada ibunya, kalau kemarin meminta dirinya untuk menjemput. Seketika nyonya Suyarso langsung mengusap kasar wajahnya. Dia sudah lupa dengan perintahnya sendiri. "Maafkan ibu, Nak. Ibu lupa. Tapi, kakakmu belum menelpon lagi. Kapan dia akan pulang. Apakah jadi besok pagi atau kapan, ibu belum tahu." jawab sang ibu, membuat Abimanyu terkekeh. Dia menjelaskan pada ibunya itu, kalau kakak dan iparnya itu sudah dewasa, ngapain juga harus di jagain. Wanita paruh baya itu kembali duduk dan menegaskan kepada Abimanyu, kalau dia tidak tega melihat Alina yang tinggal sendirian di asrama. Apalagi ini baru pertama kali baginya. "Iya, Bu. Tapi mbak Alina sudah dewasa, sudah besar, bisa menjaga dan mengurus dirinya sendiri. Yang ada mbak Alina bukannya senang ditemani Ibu, tapi tertekan dengan celotehan__" "Abi! Ibu sayang kalian semua. Ibu takut terjadi apa-apa dengan Alina. Alina menantu pilihan ibu. Ibu tidak ingin, ada kekurangan sedikitpun pada dirinya." Mendengar ucapan dari sang ibu mertua, membuat hati Alina terenyuh dan tersentuh. Ternyata mertuanya yang cerewet itu memang ingin yang terbaik untuk dirinya. "Terima kasih, Bu," lirih Alina sambil memeluk hangat tubuh wanita paruh baya berwajah ramah itu. "Tenanglah Alina, jangan gubris omongan adik iparmu itu. Sekarang, yang penting kamu aman," tegas ibu mertuanya lagi. "Loh ... ada travel berhenti di depan? Siapa ya?”Abimanyu lebih banyak menghabiskan waktunya bersama Alina. Dia mencoba untuk mengisi hati kakak iparnya yang tengah sedih. Apapun kebutuhan dari Alina, Abimanyu langsung memenuhi. "Terima kasih mas Abi" lirih Alina saat menerima es teh manis dari Abimanyu. "Minumlah, katanya tadi kamu sangat haus, dan pengen es teh manis," ucap Abimanyu yang ditanggapi senyuman oleh Alina. Sementara ayah dan ibu dari Alina merasa khawatir dengan kedekatan putrinya bersama adik iparnya itu. "Kok aku takut to, Yah. Alina dan Abimanyu semakin akrab dan dekat. Bahkan selalu ada untuk putri kita." ucap Wilujeng sambil mengintip mereka dari ruang tengah. "Sama, Bu. Aku juga takut melihatnya. Entah ini wajar atau tidak, aku tak tahu, Bu. Intinya, Dirgantara masih belum di temukan tapi adiknya sudah sangat hangat pada istrinya," jawab sang suami pada Wilujeng. "Semoga tidak terjadi hal-hal yang tidak di inginkan, Yah. Tanpa Abimanyu, hati Alina akan semakin terluka, Yah. Setidaknya, putri kita bisa sedikit
"Siapa, Bu?" tanya Abimanyu pada Wilujeng yang merupakan ibu dari iparnya tersebut. "Ibu juga nggak tahu, dia mencari-cari Alina," jawab sang ibu yang langsung memberikan ponsel milik putrinya itu. Kebetulan tadi benda pipih itu tertinggal di ruang tamu. Dengan tangan bergetar Alina mulai meraih benda pipih itu dari tangan ibunya. "Mas?" panggil Alina sedikit takut. "Bu Alina?" jawab seseorang yang pasti bukan suara Dirgantara. "Hmm" Dengan bibir yang sulit terbuka, Alina hanya mengkode, kalau itu benar dirinya. "Kami dari tim SAR, telah menemukan ponsel milik bapak Dirgantara di dalam saku jaketnya yang bertuliskan nama beliau. Di panggilan terakhir, kami melihat ada nama anda, sehingga kami langsung menghubungi Ibu.""Terus, bagaimana dengan keadaan suami saya sekarang, Pak?" jawab Alina dengan tubuh yang sudah panas dingin. Wanita cantik itu menunggu jawaban dari suara yang tiba-tiba hening. "Pak! Bagaimana dengan suami saya!" bentak Alina yang akhirnya mendapat jawaban dari sa
Ana merintih kesakitan saat mulai menjajakan kue basah buatan ibunya. Sesekali dia meringis kesakitan menahan nyeri pada perutnya. "Kenapa dengan perutku? Padahal aku tidak salah makan," lirih Ana mencoba beristirahat. Wanita manis itu mencoba mengatur nafasnya dan mengelap keringat pada dahinya. Setelah sejenak beristirahat, Ana terpaksa kembali pulang dengan membawa beberapa kue basah yang masih belum laku terjual. Entah kenapa hari ini perutnya benar-benar sakit. "Loh, Ana," sapa sang ibu yang langsung menghampiri wanita manis itu. Sambil meringis kesakitan, Ana meraih kursi dan mulai duduk. "Perut Ana sakit, Bu. Ndak tau, kok tiba-tiba sakit sekali," keluh Ana sambil mengusap lembut perutnya. Mendengar suara gaduh itu, membuat Tara yang terluka berusaha bangun dari tempat tidurnya dan berjalan ke depan untuk melihat. "Ada apa ini?" tanya Tara terlihat aneh. Ibu dari Ana menjelaskan pada Tara kalau putrinya itu sedang sakit perut. "Kenapa tidak di bawa ke klinik kesehatan saja, B
Dengan tertatih-tatih wanita itu menghampiri seseorang yang nampak lemah penuh luka. "Ya ampun, Mas. Apakah kamu baik-baik saja?" tanya wanita hamil itu mencoba membantu pria itu dari semak belukar. "Saya ada di mana ini?" tanya lemuda itu lagi dengan darah yang mengucur di seluruh tubuhnya. Wanita manis berkulit sawo matang itu menggelengkan kepalanya, dia tidak mau menanggapi pertanyaan dari pria itu. Sang wanita memilih menyelamatkannya terlebih dahulu. Tidak jauh dari tempatnya berjalan, terlihat camp-camp kecil pemukiman milik warga sekitar. "Masuk dan duduklah, aku akan merebus air untuk membersihkan luka-lukamu, Mas. Disini jauh dari tempat kesehatan. Jadi, tolong bersabar ya," ucap wanita hamil itu dengan nada lembut. Segera wanita bernama Ana itu merebus air yang akan dia gunakan untuk membersihkan luka-luka di tubuh pemuda itu. "Siapa dia, Ana?" tanya wanita paruh baya yang merupakan ibu dari Ana. Dia melihat bingung pada pemuda berseragam loreng yang penuh dengan noda da
"Ayo istirahat, Na" ajak sang ibu dengan wajah tenang dan ramah. Alina pun mengangguk dan mulai terpejam, dalam tidurnya dia bermimpi bertemu dengan sang suami yang baru saja berangkat. Dia terus meminta tolong pada Alina yang tak bisa menggapai tangannya. mimpi buruk itu, membuat Alina kembali terbangun. Nafasnya ngos-ngosan tidak karuan. Dia tidak tahu apa arti dari mimpinya tersebut. Tiba-tiba, ponselnya berdering, sebuah panggilan darurat dari tempat bertugas Dirgantara, memberitahukan kalau pesawat militer yang di tumpangi puluhan prajurit dan letnan itu jatuh dan hilang dari radar. Sejenak Alina tidak bisa berkata-kata. Dia terdiam tanpa kata dan bengong menatap jam dinding yang tengah berputar."Apakah aku bermimpi? Apakah aku masih di alam mimpi? Ibu! Ibu!" teriakan dari Alina membuat sang ibu kaget dan bergegas pergi ke kamar putrinya untuk melihat keadaan Alina. Wanita paruh baya itu memeluk Alina dan menenangkannya. Perlahan-lahan dia mulai bertanya pada Alina tentang kepa
Diam-diam, Alina mendengar perbincangan suaminya dengan sang atasan. Sejenak Alina terdiam dan menghela nafas dalam-dalam. "Apakah benar, kamu akan pergi selama setahun? Bukannya pangkatmu itu sudah tidak harus pergi-pergi ke luar daerah, Mas?" ketus Alina saat sang suami mengakhiri panggilannya. "Bukan begitu, Na. Ini darurat, harus ada yang membimbing dan mengarahkan para prajurit. Aku tidak bisa memilih, Na. Ini adalah pekerjaanku dan aku harus siap menanggung konsekuensinya.""Sekalipun harus meninggalkan istrinya yang tengah hamil?" sahut Alina yang membuat Dirgantara terdiam sejenak. "Hah, maafkan aku, Na. Aku akan meminta tolong pada ayah dan ibu, untuk menjagamu," lirih Dirgantara yang membuat Alina berkaca-kaca. "Terserah kamu, Mas. Intinya aku kecewa," timpal Alina dan membelakangi suaminya. "Na ....""Udahlah, Mas. Aku nggak bisa berkata-kata lagi selain mengikhlaskan kamu," tegas Alina yang membuat Dirgantara meneteskan air matanya. Hari yang seharusnya membuat kelua