Suara azan subuh berkumandang sangat merdu. Prawira terbangun karena nyanyian itu memanggil untuk melaksanakan ibadah. Setelah mandi dan rapi dengan baju koko juga sarung, pria itu membangunkan sang istri. Noura menggeliat, melenguh merasakan tubuhnya tergoncang.
Noura membuka mata dan langsung mendorong tangan pria itu. "Mau apa kamu, Mas!" Dia langsung beringsut ke belakang. Menyilangkan kedua tangan di dada.
"Saya cuma membangunkan kamu, ayo subuhan dulu," jawab Prawira datar mengembalikan tangan ke posisi semula. Dia mundur selangkah.
Tatapan mata Noura lurus sejajar pada pria di hadapannya. "Tapi jangan pegang-pegang juga. Panggil aja, kan bisa." Dia menatap nyalang.
"Maaf, saya sudah panggil kamu beberapa kali tadi," jawab Prawira kemudian. Ini hari pertama sebagai suami istri, dan mereka sudah berdebat.
Tak memperpanjang masalah, wanita itu beranjak dari tempat tidurnya. Langsung masuk ke kamar mandi dengan wajah masam. Dia mengerutu entah apa, menutup pintu sedikit keras.
Prawira pun menghembuskan napas panjang. Sebaiknya dia langsung ke masjid saja. "Noura, saya ke masjid dulu, ya!" seru Prawira saat di depan pintu kamar mandi.
Tak terdengar jawaban dari dalam sana, pria itu pun melangkah meninggalkan kamar. Setelah berada di ruang tamu, terlihat sang mertua juga baru keluar dari kamar. Tampak Pak Sugiarto sepertinya juga ingin solat ke masjid.
"Bapak mau ke masjid?" sapanya menghentikan langkah kaki Pak Sugiarto.
Ayah mertua Prawira menoleh, sambil mengerutkan kening. "Loh … kamu mau ke Masjid, Jaka?" Dia pikir menantunya itu akan salat di rumah saja dengan Noura.
"Iya, Pak." Prawira mengangguk.
"Jangan panggil saya 'bapak' lagi dong, Prawira. Kamu itu sudah menjadi menantu saya. Panggil saya 'ayah' sama seperti Noura!" perintah Pak Sugiarto.
"Baik … Ayah."
Pundak Prawira ditepuk, Ayah mertuanya itu tersenyum. Ada perasaan hangat ketika merasakan cara Pak Sugiarto memperlakukannya. Selama bertahun-tahun Prawira tidak pernah merasakan seperti ini lagi kebersamaan bersama orang tua laki-lakinya. Kini perasaan itu kembali hadir setelah bertemu dengan sang penyelamatnya ini.
Rasanya sedikit aneh atau hanya kebetulan. Pak Sugiarto terlalu baik padanya. Sangat baik, seperti mereka sudah saling mengenal sangat lama. Seolah dirinya sudah dianggap anak sendiri.
***
Setelah kembali dari masjid Prawira langsung masuk ke kamarnya di paviliun belakang rumah. Mengganti pakaian dan segera menuju pangkalan Bakso untuk bekerja. Tak tau bagaimana dengan Noura, dia pun rasanya enggan untuk mengganggu istrinya itu.
"Mas Jaka? Kenapa di sini?" Mas Kardiman, orang yang biasa mengatur semua keperluan untuk Bakso, menyapa. Dia baru saja akan menyiapkan bahan-bahan.
Prawira memasuki dapur hendak membantu Kardiman mengiling adonan. "Lalu, saya seharusnya di mana, Man?" tanyanya.
"Ya di kamar manten lah, Mas. Pengantin baru … emang nggak capek ya, semalam?" Alis Kardiman terlihat naik turun.
"Ya, capek lah, Man." Prawira menanggapi pertanyaan yang sebenarnya mengarah ke maksud lain. Namun, jawabannya tidak salah juga, karena dia memang kelelahan karena berdiri seharian penuh.
Kardiman tersenyum mesum. "Jadi … berapa ronde, Mas?" tanya Kardiman menaik turunkan alis, lagi. Senyumnya terlihat menggelikan, sampai membuat Prawira mendelik tajam. Dia pun tertawa terbahak-bahak. Pengantin baru memang mengasyikkan jika digoda, pikirannya.
Prawira menggeleng, hanya bisa tersenyum digoda seperti itu. "Kamu tidak akan sanggup kalau tau saya kuat berapa ronde. Stamina saya jauh lebih kuat dari kamu," sarkasnya, lalu tertawa.
Namun, tentu saja ejekan itu hanya candaan, Kardiman tau itu. Dia pun ikut tertawa bersama.
Hari ini tidak banyak adonan bakso dibuat. Warung juga tidak dibuka, hanya empat gerobak bakso saja yang akan berkeliling kampung. Itu pun hanya setengah dari target hari biasa per gerobak. Walau baru selesai mengadakan hajatan, tidak mungkin membiarkan pada pegawai tidak berpenghasilan. Pak Sugiarto selalu mengutamakan kesejahteraan pegawainya adalah yang paling penting.
Satu jam setelah membantu Kardiman menyiapkan adonan. Prawira kembali ke rumah untuk sarapan. Dia pun langsung menuju kamarnya. Namun, seketika pria itu dikejutkan dengan sosok wanita yang duduk di kursi santai di teras kamarnya, sedang menyilangkan kedua kaki. Noura sepertinya sedang menunggunya datang.
"Mas, dari mana?" serang Noura langsung bertanya. Wajahnya tampak tidak bersahabat.
"Noura? Saya dari pangkalan, bantu Kardiman buat adonan," jawab Prawira. Lalu dia lebih mendekat, ingin masuk ke kamar, tetapi Noura menghalangi. Wanita itu langsung berdiri di depan pintu dengan berkacak pinggang.
"Ya seharusnya Mas bilang dong kalau mau keluar, Ayah jadi nyalahin aku karena nggak tau Mas pergi ke mana!"
"Iya, maaf, saya lupa. Lain kali saya akan kasih tau kamu." Prawira masih bersikap lembut. Salahnya juga tidak memberitahu istrinya itu. Statusnya kini telah berbeda, dia juga harus mempertimbangkan posisinya sebagai suami dan juga menantu di rumah ini.
"Ya udah, sekarang ke dalam, Ayah suruh kita sarapan sama-sama," ucap Noura sedikit kesal.
"Iya, sebentar ya. Saya ganti baju dulu."
Prawira maju selangkah. Noura dengan cepat menghindar menjauhkan tubuhnya. Dia mendengus langsung berbalik dan meninggalkan Prawira. Pria itu menghela napas. Jelas sikap Noura padanya terlihat jauh berbeda ketika dibandingkan dengan orang lain.
***
“Suami kamu mana, Nou?”
“Masih ganti baju di paviliun, Yah. Tadi setelah subuh Mas Pra bantuin bikin adonan di pangkalan.”
Jawaban Noura dibalas anggukan kepala pria paruh baya itu. Hari ini hari pertama sang putri di kehidupan rumah tangga. Di setiap sujud dia berharap, anak sematawayangnya itu dapat bahagia. Meski pilihannya sulit diterima Noura, tapi semua harapan telah dia tanamkan di sana. Kelak saat dia tidak lagi ada, hatinya pun sudah merasa tenang.
“Ayah minta kamu bisa jaga sikap ke suamimu ya, Nou. Ingat kalian sudah menikah, jadi berusahalah untuk patuh dan mendengar perkataan suami. Kamu harus minta persetujuan suamimu kalau mau melakukan apa pun.”
“Iya, Yah. Nou mengerti.”
Percakapan tiba-tiba terhenti karena sebuah panggilan telepon. Saat melihat layar dengan nomor yang familiar, kening Noura mengerut. Ini waktu liburnya, mendapat panggilan tersebut sepertinya sesuatu yang sangat penting.
“Telpon dari kantor?” sela sang ayah.
“Iya, Yah. Sebentar ya, Noura jawab dulu.”
Usai anggukan Noura menekan tombol terima. “Halo ... ya.”
“Halo, Noura. Saya ada perkerjaan penting buat kamu.”
Noura terlihat mendengarkan ucapan lawan bicaranya dengan serius. “Tapi saya masih di kampung, masih cuti, Pak.”
Entah hal mendesak apa yang sedang menyambutnya. Kemungkinan besar itu pasti berhubungan dengan pekerjaan. Suatu hal yang sepertinya tak dapat Noura tolak. Mau bagaimana lagi, profesinya sebagai jurnalis memang harus selalu siap dalam keadaan apa pun. Apalagi jika itu adalah keadaan darurat, sulit bagi Noura untuk menolak.
“Baik, saya harus bagaimana?” balas Noura membalas sebuah arahan. “Selama tidak terlalu mengganggu waktu liburan, saya tidak terlalu masalah.”
Noura ingin berkata sesuatu. Namun, lidahnya seakan kelu, sulit untuk mengungkapkan. Dipandangi wajah suaminya yang menunggu. Dia tampak ragu untuk mengungkapkan.Apa yang akan dia katakan sebenarnya telah menjadi beban di pikiran wanita itu. Terlebih lagi setelah tahy bahwa Prawira adalah teman masa kecil yang pernah memberi kenangan indah di hidupnya."Kenapa?" tanya Prawira karena wanita itu cukup lama diam."Aku minta maaf soal surat perjanjian itu. Jika kamu keberatan, kita bisa batalkan saja. Dan ... kamu bisa tinggalkan aku jika kamu merasa terbebani," tutur Noura kemudian. Sebenarnya dia juga tidak habis pikir kenapa bisa mengeluarkan kata-kata itu. Mungkin karena adanya rasa bersalah."Jadi itu yang kamu mau?" Prawira menatap teduh pada sang istri. Dia juga tau, pernyataan itu bukan yang ingin Noura katakan. "Jika itu mau kamu, saya akan turuti. Saya sudah katakan, bahwa saya akan menuruti setiap kemauan kamu. Jadi kamu mau?"Dengan cepat Noura mengelengkan kepala. Langsung m
Noura mencari keberadaan sang suami dari saat selesai sholat isya. Entah kenapa rasanya semakin tidak mengerti, dia sadar Prawira sengaja menghindarinya. Noura menempatkan dirinya sebagai seorang sahabat yang sedang membutuhkan. Dan dia sangat merasa kesepian. Ingin rasanya bercerita banyak hal dengan teman masa kecilnya itu. Mengenai kehidupannya beberapa tahun ini, tentang bagaimana dia melewati hari setelah perpisahan mereka. Bagaimanapun juga, Prawira pernah menjadi bagian di hidup seorang Noura.Ketika Noura ingin melangkah ke luar kamar. Pintu tiba-tiba saja terbuka. Sosok pria yang dia tunggu sejak satu jam lalu, muncul dari balik pintu. Mereka sama-sama terjingkat kaget, saling pandang wajah satu sama lain. Detik kemudian, Prawira mengalihkan pandangan, lalu berjalan melewati Noura.Noura berbalik saat pria itu lewat begitu saja dan acuh padanya. "Mas, dari mana?" tanyanya mengikuti langkah sang suami.Pria itu langsung menuju tempat tidur mengambil bantal dan selimutnya. Terl
"Non Noura. Sepertinya tadi Jaka sudah minta maaf, lagian dagangan pada jatuh semua, jadi dia kebingungan mau beresin. Untung ada warga yang bantu." Sepertinya akan ada kesalah pahaman, Kardiman pun anggkat bicara lagi ingin meluruskan.Namun, mendengar hal itu Pak Sugiarto tersentak kaget, fokusnya malah beralih. "Apa? Gerobak saya gimana? Rusak parah nggak, Man?""Hihhh, ayah bukannya tanya keadaan anaknya. Malah mikirin gerobak. Lihat nih, aku luka, Yah." Noura menunjukan telapak tangannya yang tergores, dia kembali protes. Pak Sugiarto malah terkekeh.Dan tiba-tiba gadis itu berpikir jail, dia mendekat langsung mendekap sang ayah."Ehh Nou … kamu basah, Nou!" Pak Sugiarto mencoba mendorong Moura menjauh, tapi tubuhnya dipeluk erat. Sehingga bajunya pun ikut basah.Noura tertawa puas ketika sang ayah telah basah. Tak terima, Pak Sugiarto mengangkat kedua tangan, mengarahkan pada pinggang Noura. Dengan cepat, Pak Sugiarto meraup dan menggelitiki Noura. Gadis itu tertawa serta mengg
Noura mengalihkan pandangan pada pria yang hampir menabraknya. Keadaan pria itu lebih mengenaskan, lalu dia melihat gerobak bakso yang sudah dibenarkan posisinya. Mata Noura menyipit, ternyata dia tahu pemilik usaha bakso tersebut. Sedikit merasa bersalah, Noura menghela napas panjang. Pasti akhirnya si Tukang Bakso itu akan dimarahi sang juragan, yaitu ayahnya sendiri. Tetapi, Noura bukan menyesal karena kecelakaan ini, lagi pula juga bukan kesalahannya. Dia merasa, pasti banyak kerugian yang ayahnya dapat."Mbak Noura nggak apa-apa?" tanya bapak di sebelah Noura, kasihan.Noura tersenyum dan berterima kasih sekali lagi. "Itu gerobak bakso Ayah saya, kan, Pak?" tanyanya."Iya, Mbak. Duhh, sampai peot gitu, kacanya pecah juga. Tapi, sepertinya ... baksonya udah habis," ujar si bapak setelah melihat keadaan gerobak tadi sekilas."Baru jam segini, udah habis?" Noura merasa terkejut. Baru sekitar jam empat sore, biasanya setelah magrib atau isya dagangan habis.Sebuah motor bebek tiba-ti
Dua Minggu setelah kondisi Prawira membaik. Pak Sugiarto membawanya pulang, memberinya tempat tinggal, juga merawat dengan baik. Warga kampung juga bergantian datang melihatnya. Prawira diperkenalkan sebagai anak kenalan Pak Lurah yang mendapat kecelakaan. Tidak punya sanak saudara, hanya bisa bergantung padanya.Entah warga yang datang karena kasihan, atau hanya sekedar ingin tau siapa sosok yang baru dibawa pulang dari rumah sakit?Prawira sangat berterima kasih pada warga kampung yang menemukannya, terutama pada Pak Sugiarto yang suka rela mau menampung dirinya. Telah banyak hutang budi yang dia miliki, terutama akan biaya rumah sakit yang tidak sedikit. Prawira berjanji dalam hatinya, akan membalas atas semua keberuntungan dan kesempatan. Hutang nyawa dibalas nyawa.Satu bulan setelah kejadian itu, Prawira benar-benar pulih dengan baik. Dia sudah bisa beraktivitas secara normal. Ingatannya juga perlahan kembali. Namun, ketika menyadari tentang jati dirinya, Prawira akhirnya bungka
Pertarungan semakin sengit ….Sekali lagi, Prawira melawan ketiganya secara bersamaan. Sisa-sisa tenaga yang dia miliki dikerahkan seluruhnya. Menangkis serangan, membalas, memukul dan menendang.Segala cara yang dia bisa, dia lakukan. Satu pukulan melayang di udara, segera Prawira tahan dengan kepalan tangan. Tangan satunya menyerang di bagian perut lawan, hingga sang lawan menunduk karena dorongan yang kuat. Satu lagi serangan tiba-tiba dari belakang, Prawira menangkis tanpa melihat. Lawan yang terkena tinjunya tadi, ditendang hingga memental. Dengan gerakan cepat berbalik, membalas serangan di belakang. Satu serangan dan balasan terjadi dalam hitungan detik. Erangan dalam pergumulan terdengar dari mulut mereka bergantian."Sial, kalian membuatku kewalahan!" teriak Prawira di sela pertarungan. Napas terengah-engah, sekujur tubuh sakit, tenaga hampir habis.Deruan napasnya memburu setiap melakukan gerakan. Prawira menahan serangan tongkat dengan kedua tangan menyilang, mendorong dan