Malam itu, Rama menikmati suara Maryam yang sedang menemani Icha; keponakannya itu belajar. Sembari bermain dengan Salma da Fatih yang mulai mengantuk.
“Sampai jam berapa Mama ngajarnya?” Bisik Rama pada Salma.
“Malem.”
“Malem banget?” Tanya Rama lagi.
“Kalau Mama nemenin belajar Kak Icha terus Salma dan Dek Fatih ngapain?”
“Main, sama Ibu Ines.” Sahut Salma singkat tanpa melihat lawan bicaranya.
Mulut Rama membulat. Sebentar-sebentar melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 20.00.
Tak lama setelahnya, ia mendengar Icha berderap masuk ke ruang keluarga. Lalu naik ke lantai dua. Menuju kamar tidurnya. Itu artinya, sesi belajar privat malam itu usai.
Rama menggumam, “Apa nggak kemaleman pulang jam segini? Kasian anak-anak.”
“Icha kecapekan banget, Bu.. Saya kasihan kalau mau memaksakan. Katanya hari ini olahraga spinning sama taekwondo ya?” Suara Maryam terdengar sampai ruang keluarga.
“He’em.. Saya sebenarnya juga kasihan, tapi bagaimana lagi. Itu pilihannya. Oh, ya sebentar.” Ines kembali masuk kembali menuju dapur. Langkah terburu-buru itu tak lepas dari tatapan Rama.
Ines kembali keluar dengan sebaki minuman dan sepiring gimbab yang ia beli sewaktu pulang kerja tadi.
“Kok ngelamun?” Sela Ines.
“Sepertinya saya nggak bisa lama-lama lagi, Bu. Udah larut malem.” Kata Maryam.
“Gitu ya? Tapi ini, dimakan dulu.. Atau mau dibungkus? Dibungkus aja, ya? Salma dan Fatih tadi udah makan ini juga, kok. Buat kamu di rumah. Ya?” Ines nyerocos tanpa mampu di sela. Nada bicaranya bertanya, tapi ia tak membiarkan Maryam memberikan jawabannya.
Maryam baru mau membuka mulut tapi Ines sudah melesat membawa bakinya lagi menuju dapur.
Maryam ragu-ragu ingin memanggil Salma dan Fatih. Tapi ia tak bisa menahan lebih lama lagi, hari sudah semakin larut.
Ia berdiri, lalu perlahan melangkah ke ruang keluarga itu. Maryam mengedarkan pandangannya. Ruang keluarga itu sangat luas dan berbatasan langsung dengan dapur, tangga menuju lantai dua dan lurus ke depan adalah pintu menuju taman belakang.
Rumah yang sangat luas jika hanya dihuni dua orang saja.
Lalu pandangan Maryam memaku pada dua sosok yang sedang duduk lesehan di karpet berhadap-hadapan dengan satu meja kecil di tengahnya. Kaki Fatih terlihat terjulur di pangkuan Rama.
Tidur? Fatih tidur?
Maryam mempercepat langkahnya. “Salma.. Sudah waktunya pulang. Adik?” Ucap Maryam pelan dari arah belakang Rama.
“Fatih sudah tidur, Ma..” Jawab Salma sambil menunjuk Fatih yang ada di pangkuan Rama. Sedangkan Rama menoleh padanya dengan senyum kaku.
“Aduh, kok tidur dulu..” Ucap Maryam reflek. Ia semakin bingung bagaimana membawa anaknya mewati kebun itu dalam keadaan tidur. Sungguh ia takut.
“Maaf…” Ucap Maryam pada Rama sembari mengambil Fatih ke gendongannya.
“Sudah siap ini.. Fatih tidur?” Ines datang dari arah dapur. Maryam meringis.
“Biar saya antar. Saya bawa mobil. Salma dan Fatih biar sama saya. Kasihan sudah terlalu malam, angin malam tidak bagus buat mereka.” Ujar Rama yang tentu saja membuat Salma melonjak riang.
Raut wajah Maryam tak enak hati dengan tawaran tersebut. Tapi ia tak menampik bahwa ia butuh teman untuk menemani.
“Yeay.. Jadi Mama nggak takut lagi lewat kebun bambu.”
“Kebun bambu? Kebun bambu apa?” Tanya Rama. Tapi tak ada satupun yang berniat menjawab
“Sebaiknya begitu. Diantar Rama aja ya Mbak Mar. Oh, iya.. Dia adik saya, adik kandung.” Kata Ines. Setelah mengucapkan itu ia memandang Rama kembali. ‘Puas kamu?!’
Itu arti dari tatapan Ines pada adik laki-lakinya itu.
Rama mengambil Fatih lagi dari gendongan Maryam dan meletakkannya di jok belakang mobil, merebahkannya disana.
“Salma duduk di depan temani Om, ya..” Ucapnya pada Salma.
“Om?” Maryam dan Ines bersamaan. Rama hampir saja terantuk atap mobil saat menuntun Salma masuk.
Rama mengusap rambut Salma sekilas sebelum akhirnya menutup pintu itu. Mengabaikan sejenak tatapan kaget dua orang wanita yang berhasil membuatnya aneh di depan Salma.
“Ada yang salah?” Tanya Rama kemudian. Ini di luar jam kerjanya, di luar sekolah. Salma dan Fatih tidak harus memanggilnya dengan sebutan Mister Rama…
Dua orang wanita di depannya ini membuatnya merasa telah melakukan kesalahan yang sangat besar. Padahal hanya sebuah panggilan. Apa salahnya.
Maryam dan Ines saling berpandangan, lalu sama-sama memutar bola mata dan membuang muka. Kompak sekali.
Tapi arti keterkejutan antara Maryam dan Ines tentu saja berbeda. Dan hanya mereka masing-masing yang tau.
Karena Rama justru diabaikan oleh dua orang wanita itu, ia akhirnya masuk ke dalam mobilnya. Mengamati diam-diam mamanya Salma.
“Hati-hati Mbak Mar.. Bungkusannya tadi nggak lupa, ‘kan?”
“Nggak, Bu. Itu sudah dicantolin di sini.” Maryam menunjuk bungkusan di gantungan motornya. “Saya pamit, terimakasih sekali.”
Ines mengulas senyum dan melambaikan tangannya.
Maryam melaju perlahan dan diikuti mobil Rama di belakangnya. Ines bersedekap menatapi iring-iringan itu hingga lenyap ditelan tikungan.
“Jangan macam-macam sama dia kamu, Ram… Awas aja.” Gerutunya seorang diri.
Gelagat adiknya itu disadari oleh sang kakak. Rama sepertinya serius menyukai Maryam. Dan itu membuatnya kesal.
Maryam memang luar biasa baik, lembut tapi juga pekerja keras. Ines baru mengenal Maryam satu tahun setengah tapi sudah kenal dengan pribadi Maryam. Ines tiba-tiba menjadi gelisah.
Takut Rama akan menyakiti Maryam dan anak-anaknya, lalu takut Maryam akan menjauh, lantas hubungan mereka jadi renggang.
Ines sudah berpikir berlebihan. Ia sadar.
Semoga saja Rama hanya kagum.
Semoga dugaannya salah.
Semoga, ia menyayangi Salma dan Fatih sebatas guru dan murid saja. Semoga…
Di dalam perjalanan malam itu Rama mencoba berbincang dengan Salma tentang keluarganya.
Ia memang sudah tahu bahwa papanya bekerja di tempat yang jauh, seperti apa yang dikatakan Salma. Lantas ada hal yang mengganggu pikirannya, sekarang bukan jaman lampau yang jarak adalah sesuatu yang berat soal menjalani hubungan.
Banyak sarana komunikasi. Mereka bisa bertelefon bahkan melakukan video call. Tapi Salma selalu mengatakan bahwa bagaimana wajah papanya saja dia tidak tahu. Hanya sebuah foto usang tentu saja tidak mampu menggambarkan secara utuh bagaimana sosok laki-laki yang dipanggilnya ‘Papa’ itu.
Anak kecil itu tanpa sadar telah berbagi terlalu banyak pada Rama rupanya.
“Salma…”
“Iya…” Sahut Salma tanpa menoleh. Wajahnya terus ke samping kiri menikmati rumah-rumah dan apa saja yang seperti berkejaran di luar sana.
Rama terkekeh sebentar mendengar sahutan mendayu dari Salma.
“Salma.. papa Salma nggak pernah telpon?”
“Pernah.. Satu kali” Jawab Salma dengan polosnya.
“Pernah? Berarti Salma ngomong sama Papa ya? Salma seneng?” Tanya Rama dengan antusias. Ia turut senang jika akhirnya Salma mendapat kabar dari papanya. Akan tetapi, dugaannya salah.
“Enggak ngomong, Salma denger Mama panggil nama papa aja, setelah itu Mama nangis.” Nada bicara Salma sangat datar seperti menceritakan suatu hal yang sangat biasa.
Namun di telinga Rama, terutama di ulu hatinya ia merasa seperti ada duri tajam yang menusuk-nusuk.
Gadis kecil ini…
“Nangis? Salma tanya sama mama nggak kenapa nangis?” Rama tau ia tidak berhak ikut campur sejauh itu seharusnya. Ia tahu ia lancang sebab rasa ingin tahunya soal urusan rumah tangga orang. Tapi ia sulit sekali mengabaikan lara di hati Salma.
Salma menggeleng.
Malam itu, malam dimana Enggar akhirnya menelpon untuk kali pertamanya setelah sekian tahun. Salma tersentak bangun sebab suara dering ponsel mamanya yang menggema dengan volume tertingginya.
Pintu kamar itu tidak pernah tertutup, hingga suaranya merembet masuk kamar melalui cleah pintu yang terbuka, sangat mengganggu tidur Salma dan Fatih.
Saat Salma baru mencapai pintu ia mendengar mamanya menyebut nama papanya. Enggar. Salma tahu nama papanya Enggar. Karena mamanya tidak pernah lupa menceritakan bagaimana sosok sang papa, sebelum akhirnya cerita itu tak ada lagi.
Mata Salma melebar antusias karena pertama kalinya sang papa menelpon, ia ingin segera keluar kamar namun langkahnya kembali terhenti saat melihat mamanya menurunkan ponsel dari telinganya dengan lemas. Serta…
Mama menangis…
Anak kecil itu mengurungkan niatnya untuk keluar dan berjalan lunglai kembali ke tempat tidur. Tak lama kemudian ia merasakan usapan tangan sang mama.
Ia mendengar jelas mamanya mengatakan, ‘Apa yang harus mama lakukan, Nak?’
Mata Salma terpejam, tapi telinganya terbuka lebar. Ia mendengar isak tangis mamanya semakin memilukan. Seperti seorang dewasa yang tahu apa yang saat itu harus dia lakukan, Salma pun begitu. Terus memejamkan mata dan berpura-pura tidur sampai ia benar-benar terlelap dengan sendirinya.
Salma menceritakan semua itu pada Rama dalam perjalanan malamnya. Salma sudah terisak karena mengingat kesedihan sang mama. Dan Rama mengulurkan tangan kirinya mengusap kepala Salma menenangkan.
Tangisan Salma kali ini berbeda… Begitu menurut Rama.
Apa yang dikatakan papa Salma sampai Maryam mengatakan hal itu dan menangis tersedu?
“Salma nggak suka sama Papa..” Ucap Salma lugas. Datar dan tegas.
Rama menoleh terkejut dengan apa yang barusan dikatakan anak usia 5 tahun itu.
“Hmm?”
“Papa bikin mama nangis…”
Rama tercekat. Serasa ada duri di dalam tenggorokannya. Ingin menginterupsi dan melarang Salma mengatakan demikian, meski begitu ia adalah ayah Salma. Tapi bibirnya tak mampu berucap. Lebih tepatnya ia tak tega.
Ia bahkan tak tahu pasti luka itu sedalam apa. Salma hanya tahu bahwa ketidakhadiran serta telah membuat mamanya menangis adalah tindakan jahat.
Lantas, berikutnya keheningan kembali menyapa. Salma membuang muka ke jendela sampingnya, sementara Rama menebak-nebak sejauh apa rasa kecewanya Salma atas papanya.
Juga, apa yang sedang terjadi pada mereka.
Perjalanan malam itu terasa sangat lama bagi Rama.
Sesaat kemudian Rama membelalak karena jalan di depannya gelap gulita. Hanya ada sorot lampu kuning dari motor Maryam dan mobilnya.
Ia menoleh kanan kirinya. Semuanya pohon bambu yang sangat rapat. Tidak ada penerangan sedikitpun.
Di depan sana, ia melihat jelas Maryam melambatkan laju motornya, juga bahu perempuan itu yang tampak tegang. Jari kiri Rama bergerak memutar mengubah setting lampunya menjadi sorot jauh. Detik berikutnya bahu Maryam terlihat turun perlahan lebih rileks dan perempuan itu juga menambah kecepatannya. Rama tersenyum.
“Jadi ini kebun bambu itu?”
Salma mengangguk datar.
Malam itu, semua orang kembali ke kamar dengan dada mengembang bahagia. Setelah Khalid memutuskan undur diri. Termasuk Khalid yang juga memasang senyum sepanjang perjalanan pulangnya.Tak apa menunggu dua sampai empat minggu lagi. Ia yakin jawaban Ines adalah 'iya' untuknya.Tetapi, masih ada satu hal lagi yang mengganjal bagi keduanya. Icha.Seharusnya, Icha ikut dilibatkan tadi. Seharusnya ia mengajak Icha diskusi terlebih dulu sebelum memutuskan pulang.Khalid sedikit menyesal. Sebab entah kapan lagi memiliki kesempatan seperti tadi, saat Icha dengan gamblang bertanya soal niatannya.Senyum Khalid semakin mengembang memingat hal itu.Ines mengetuk pelan kamar anaknya yang berada di rumah Pak Ali itu. Ines sempat melirik jam tangannya, masih jam 20.20. Biasanya Icha masih memainkan gawai untuk sekedar nonton youcup atau game online.Ines mengetuk lama. Lama tidak ada sahutan lalu Ines sedikit berseru."Icha.. Buka pintunya, Dek. Udah tidur, ya"Panggilan Adek yang selalu Ines sematka
"Gimana, Pi, Mi? Mbak Ines mana?" Tanya Rama tak sabar.Mahesa sudah lelap setelah ditimang gendong oleh papanya. Salma dan Fatih juga susah berhasil terlelap setelah sedikit drama pencarian sang mama yang sedang menggali informasi dari Icha.Maryam berjalan dari arah kamar Icha, menuju ruang tamu bergabung dengan suami dan mertuanya.Belum juga Pak Ali maupun Bu Andini menjawab, Rama kembali berkata,"Itu ketawa-ketawa kenapa? Padahal tadi kayaknya sengit banget kaya mau nerkam mangsa. Kok bisa?""Kamu cerewet banget kaya perempuan!" Sergah Bu Andini. "Tunggu aja di sini. Biarin mereka ngomong. Semoga itu pertanda baik. Kita berhutang banyak pada Nak Khalid.""Ha? Hutang apa? Perusahaan? Emang iya, Sayang?" Rama mencecar lagi, memvalidasi pada MaryammTadi sewaktu ada tamu gayanya berwibawa sekali, tak mau banyak omong tak mau ikut campur. Begitu tidak ada orang sifat aslinya langsung keluar. Jiwa kepo dan cerewetnya seringkali bikin Bu Andini pusing tujuh keliling.Maryam mendelik k
Hujan malam itu tak lagi deras. Menyisakan rintik lembut terbawa angin sepoi menimpa punggung Ines yang kini sempurna menghadap Khalid.Matanya memicing, mengkerut lalu membeliak karena sebuah hantaman memori masa lalu.Memori itu masih berserak, tapi ia bisa mengingatnya.Seorang laki-laki berdarah campuran arab dengan cambang dimana-mana, bola mata cokelat yang perlahan memejam itu berada di bawahnya, menopang bobot tubuhnya. Saat Ines bangkit dari atas tubuh itu, ia melihat belakang kepala laki-laki itu mengalir darah segar.Saat itu, yang dilakukan Ines adalah berteriak kencang histeris. Ia sama sekali belum pernah melihat darah sebanyak itu.Dan laki-laki itu terluka kepalanya karena kecerobohannya.Ines tengah bercanda dengan temannya waktu itu di halaman fakultas entah berebut apa, berlarian mundur tanpa tahu bahwa ada batu besar yang siap menyambutnya tanpa dosa.Ines mundur dan tersandung batu itu, tubuhnya terpelanting mundur menabrak seseorang di belakangnya dan menindih or
Tok tok tok. Maryam mengetuk pintu kamar Icha beberapa kali, tetapi tidak ada sahutan. Mustahil Icha sudah tertidur. Maryam meraih handle pintu itu, terkunci. "Mbak Icha cantik.. Ini Tante. Boleh Tante masuk? Mbak Icha belum tidur 'kan?" Bibir Maryam hampir menempel dengan pintu karena suara rendahnya. Ia tak ingin membuat keirbutan di malam itu sekaligus agar suaranya tetap terdengar oleh Icha. "Mbak Icha.. Tante pengen curhat, nih.." Bujuk Maryam lagi. Ia menggunakan panggilan 'Mbak' pada Icha agar Icha dianggap sebagai yang paling tua dan dihargai. Nyatanya, Icha bukan anak kecil lagi. Panggilan yang awalnya diciptakannya untuk melatih Salma dan Fatih itu justru amat sangat disukai oleh Icha. Tak lama terdengar bunyi anak kunci diputar. Kemudian handle pintu bergerak dan membuat pintu itu terbuka."Kalau Tante mau membujukku karena Mama, mending Tante pergi aja. Maaf. Icha lagi pengen sendiri." Icha hendak menutup pintunya kembali tapi ditahan oleh tangan Maryam. "Tunggu du
Khalid adalah mahasiswa luar negeri dari program 'Student Exchange' di kampus tempat Ines menimba ilmu. Fakultas yang sama, tetapi sayangnya mereka berbeda jurusan. Hanya sekitar satu tahun, dua semester penuh Khalid memintal ilmu di nusantara kendati ia masih memiliki darah nusantara dari ibunya. Ibunya berasal dari sini. Mereka tinggal berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain termasuk Indonesia karena bisnis keluarganya. Tetapi sejak ibunya meninggal 18 tahun lalu, keluarga mereka seolah ikut berhenti melupakan nusantara. Mereka mulai menetap di Dubai dan selama 18 tahun itu tak ada yang kembali ke Indonesia. Baru sekarang Khalid kembali karena mengingat seorang gadis yang dulu dikenalnya. Dengan alasan ingin mengembangkan bisnis, Khalid membujuk sang ayah agar mengijinkannya ke Indonesia. Lalu tepat sebulan yang lalu, ia tak sengaja bertemu dengan Ines di sebuah bank yang ternyata ia adalah manager di sana. Bagaimana Khalid masih mengingat wajah Ines padahal sudah lewa
Setelah acara reuni malam itu, Khalid bergegas terbang menuju Dubai untuk menemui kedua ayahnya. Dini hari pesawatnya mulai meninggalkan zona udara Indonesia menuju negara yang memiliki teknologi super canggih itu.Di sanalah tempat tinggalnya selama 20 tahun terakhir.Ah, lebih tepatnya, di sanalah ayahnya sekarang tinggal. Seorang diri. Hanya ditemani seorang asisten rumah tangga yang membantu beliau mencukupi kebutuhan sehari-hari. Usianya sudah menjelang 85 tahun. Istrinya sudah lama meninggal meninggalkannya sendirian di dunia ini.Anak-anaknya?Anaknya melanglang buana mengikuti rezekinya masing-masing bersama keluarga masing-masing. Tinggalah si bungsu yang tak kunjung menikah dan membuatnya resah.Hidupnya dilanda gelisah karena memikirkan si bungsu yang katanya enggan menikah.Maka malam itu, merasa waktunya telah dekat. Beliau meminta anak bungsunya agar lekas kembali ke tanah air."Hidup tak melulu soal bisnis dan uang. Ada ruang kosong di jiwa yang harus segera diisi agar