Hujan malam itu tak lagi deras. Menyisakan rintik lembut terbawa angin sepoi menimpa punggung Ines yang kini sempurna menghadap Khalid.Matanya memicing, mengkerut lalu membeliak karena sebuah hantaman memori masa lalu.Memori itu masih berserak, tapi ia bisa mengingatnya.Seorang laki-laki berdarah campuran arab dengan cambang dimana-mana, bola mata cokelat yang perlahan memejam itu berada di bawahnya, menopang bobot tubuhnya. Saat Ines bangkit dari atas tubuh itu, ia melihat belakang kepala laki-laki itu mengalir darah segar.Saat itu, yang dilakukan Ines adalah berteriak kencang histeris. Ia sama sekali belum pernah melihat darah sebanyak itu.Dan laki-laki itu terluka kepalanya karena kecerobohannya.Ines tengah bercanda dengan temannya waktu itu di halaman fakultas entah berebut apa, berlarian mundur tanpa tahu bahwa ada batu besar yang siap menyambutnya tanpa dosa.Ines mundur dan tersandung batu itu, tubuhnya terpelanting mundur menabrak seseorang di belakangnya dan menindih or
"Gimana, Pi, Mi? Mbak Ines mana?" Tanya Rama tak sabar.Mahesa sudah lelap setelah ditimang gendong oleh papanya. Salma dan Fatih juga susah berhasil terlelap setelah sedikit drama pencarian sang mama yang sedang menggali informasi dari Icha.Maryam berjalan dari arah kamar Icha, menuju ruang tamu bergabung dengan suami dan mertuanya.Belum juga Pak Ali maupun Bu Andini menjawab, Rama kembali berkata,"Itu ketawa-ketawa kenapa? Padahal tadi kayaknya sengit banget kaya mau nerkam mangsa. Kok bisa?""Kamu cerewet banget kaya perempuan!" Sergah Bu Andini. "Tunggu aja di sini. Biarin mereka ngomong. Semoga itu pertanda baik. Kita berhutang banyak pada Nak Khalid.""Ha? Hutang apa? Perusahaan? Emang iya, Sayang?" Rama mencecar lagi, memvalidasi pada MaryammTadi sewaktu ada tamu gayanya berwibawa sekali, tak mau banyak omong tak mau ikut campur. Begitu tidak ada orang sifat aslinya langsung keluar. Jiwa kepo dan cerewetnya seringkali bikin Bu Andini pusing tujuh keliling.Maryam mendelik k
Malam itu, semua orang kembali ke kamar dengan dada mengembang bahagia. Setelah Khalid memutuskan undur diri. Termasuk Khalid yang juga memasang senyum sepanjang perjalanan pulangnya.Tak apa menunggu dua sampai empat minggu lagi. Ia yakin jawaban Ines adalah 'iya' untuknya.Tetapi, masih ada satu hal lagi yang mengganjal bagi keduanya. Icha.Seharusnya, Icha ikut dilibatkan tadi. Seharusnya ia mengajak Icha diskusi terlebih dulu sebelum memutuskan pulang.Khalid sedikit menyesal. Sebab entah kapan lagi memiliki kesempatan seperti tadi, saat Icha dengan gamblang bertanya soal niatannya.Senyum Khalid semakin mengembang memingat hal itu.Ines mengetuk pelan kamar anaknya yang berada di rumah Pak Ali itu. Ines sempat melirik jam tangannya, masih jam 20.20. Biasanya Icha masih memainkan gawai untuk sekedar nonton youcup atau game online.Ines mengetuk lama. Lama tidak ada sahutan lalu Ines sedikit berseru."Icha.. Buka pintunya, Dek. Udah tidur, ya"Panggilan Adek yang selalu Ines sematka
“Mama.. Mama mau nggak sama-sama sama Mister Rama? Mister Rama baik sama Salma dan Dek Fatih.” Celotehan Salma pagi-pagi itu membuat Maryam gelagapan. Ia tak ada persiapan sama sekali menghadapi celotehan random anak sulung perempuannya itu. Tangan Maryam yang sedang membereskan bekal itu terhenti. Ia mengerjap. “Ya?” “Mama nikah, ya, sama Mister Rama..” Pinta Salma. Gadis kecil enam tahun itu meminta mamanya menikah seperti meminta sebuah mainan baru. “Maksud Salma bagaimana? Mama nggak ngerti.” Tepatnya Maryam pura-pura tak mengerti. Juga, mencari keseriusan di wajah Salma. Biasanya, anak-anak itu hanya mengatakan apa yang ada di benak mereka tanpa berpikir panjang. “Mama nikah sama Mister Rama. Biar Mama nggak sedih lagi. Salma sedih kalau Mama sedih. Salma juga mau punya papa lagi.” Jawab Salma mantap. Matanya memandang lurus mata sang mama. “Tapi nggak bisa begitu, Nak.” Sergah Maryam mengalihkan pandangannya. Melanjutkan merapikan bekal makan. “Kenapa?” “Ya, pokoknya ngg
“Mister Rama mau nggak jadi Papa Salma?”Rama gelagapan. Persis seperti reaksi Maryam saat anaknya memberinya saran menikah dengan gurunya.Salma terkikik. “Tuh, kan. Sama kaya Mama. Kaget.”Mata Rama semakin melebar. “Hmm? Kenapa Salma ngomong gitu?” Tanyanya pelan dan rendah.“Memangnya kenapa? Mr. Rama sama kagetnya kaya Mama tadi di rumah.”Jangan sampai apa yang ia pikirkan benar. “Memangnya Salma ngomong apa sama Mama?”Tiba-tiba Rama penasaran, model dan jenis obrolan apa yang anak ini sering perbincangkan dengan mamanya.“Salma minta Mama dan Mr. Rama menikah.” Sahut Salma ringan. Gadis kecil itu terkekeh dan menular pada adiknya.“Ha? Oh, hmm? Kenapa Salma ngomong gitu ke Mama?” Tanya Rama yang masih syok dengan tawaran yang menurutnya sedikit janggal sebab datang dari anak kecil. Salma dan Fatih sama-sama tertawa karena ekspresi Rama.“Karena Salma mau punya papa lagi. Mr. Rama baik sama kami. Jadi kami mau Mr. Rama jadi Papa kami. Mau, ya?”“Papa..” Panggil Fatih riang.Kok
Malam itu, Rama menikmati suara Maryam yang sedang menemani Icha; keponakannya itu belajar. Sembari bermain dengan Salma da Fatih yang mulai mengantuk. “Sampai jam berapa Mama ngajarnya?” Bisik Rama pada Salma. “Malem.” “Malem banget?” Tanya Rama lagi. “Kalau Mama nemenin belajar Kak Icha terus Salma dan Dek Fatih ngapain?” “Main, sama Ibu Ines.” Sahut Salma singkat tanpa melihat lawan bicaranya. Mulut Rama membulat. Sebentar-sebentar melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 20.00. Tak lama setelahnya, ia mendengar Icha berderap masuk ke ruang keluarga. Lalu naik ke lantai dua. Menuju kamar tidurnya. Itu artinya, sesi belajar privat malam itu usai. Rama menggumam, “Apa nggak kemaleman pulang jam segini? Kasian anak-anak.” “Icha kecapekan banget, Bu.. Saya kasihan kalau mau memaksakan. Katanya hari ini olahraga spinning sama taekwondo ya?” Suara Maryam terdengar sampai ruang keluarga. “He’em.. Saya sebenarnya juga kasihan, tapi bagaimana lagi. Itu pilihannya
“Rumah Salma di sini?” Tanya Rama ketika melihat Maryam turun dari motornya. Salma mengangguk.Motor Maryam berbelok di sebuah halaman dengan deretan rumah-rumah petak. Ada 5 rumah petak dengan dinding menempel satu sama lain. Terasnya diberi dinding penyekat antar rumah untuk menjaga privasi.Bentuk depan semua rumah-rumah itu sama. Semua catnya pun sama, berwarna biru muda dan kusen-kusen berwarna putih. Rama menebak rumah itu pasti seperti rumah petakan yang disewakan. Bukan semacam hunian permanen.Ukurannya kecil tapi cukup untuk tinggal Maryam bersama kedua anaknya, halaman itu muat dua mobil, cukup besar sebagai arena bermain Salma dan Fatih.Rama menghentikan mobilnya di luar gerbang halaman, tidak berani masuk dan membuat orang lain berpikiran macam-macam. Terlebih, ia takut Maryam tak nyaman.“Jadi setiap hari harus lewat kebun tadi?”Lagi-lagi Salma mengangguk.Maryam mendekati mobilnya untuk menjemput Fatih yang masih tertidur di mobil.Rama membukakan pintu bagian belaka
Sekian bulan dia menyandang status janda, nyatanya tak berpengaruh apapun pada Maryam.Kehidupannya dengan atau tanpa suami nyatanya sama saja. Dulu, dia memiliki suami tapi seperti tak bersuami.Enggar namanya. Jarang sekali pulang ke rumah dengan alasan sedang menangani proyek di luar kota. Dinas yang awalnya hanya butuh 2 sampai 3 minggu di luar kota, menjadi bertahun-tahun saat Fatih; anak kedua mereka akan segera lahir.Alhasil, Fatih si anak bungsu tak pernah tau bagaimana rupa papanya. Padahal sosoknya ada. Hanya berbeda tempat entah di mana.Maryam sedang menikmati kebebasannya menjadi 'janda'. Dan dalam waktu bersamaan sedang berjuang keras menghidupi anak-anaknya.Ponselnya berdering. Seperti biasa, suaranya menyentak mengagetkan. Segera ia menyambar ponsel itu. Lagi-lagi nomor tanpa nama.Seperti yang lalu-lalu, Maryam selalu mengabaikan panggilan tanpa nama itu. Lalu nomor itu terus mengirim pesan padanya.Maryam meringis. Terakhir kalinya Enggar menghubunginya, ada suara p