LOGINHari-hari setelah kemenangan lomba masak dan pengumuman finalis skripsi itu terasa berbeda.
Entah kenapa, Anaya merasa waktu yang ia habiskan dengan Raka jadi lebih… bermakna.Bahkan hal kecil seperti sarapan bersama atau sekadar ribut soal remote TV pun terasa hangat.Masalahnya, ada satu faktor eksternal yang bikin semua ini makin heboh, siapa lagi kalau bukan Opa.Opa benar-benar hobi bikin rusuh.Sejak melihat Raka dan Anaya kompak di lomba masak, beliau jadi semakin yakin kalau cucu dan menantunya ini perfect couple.Akibatnya? Setiap hari ada aja ide gila Opa buat bikin mereka makin mesra.Pagi itu, baru saja Anaya keluar kamar dengan piyama polkadot, Opa sudah bersiul sambil bawa kamera polaroid.“Cieee, pasangan muda! Sini, Opa foto dulu. Biar jadi pajangan di ruang tamu!”Anaya melotot, buru-buru merapikan rambutnya yang masih acak-acakan.“Opa! Aku baru bangun tidur! Nggak bisa giMalam itu suasana di rumah keluarga terasa hangat dan penuh tawa. Lampu ruang keluarga redup, hanya temaram dari lampu gantung klasik dan beberapa lilin aroma terapi yang menebar wangi lembut.Di sofa, Raka duduk menyamping, sambil menatap perut Anaya yang mulai menonjol. Anaya sendiri duduk bersandar, pipinya memerah karena baru saja digoda Raka tanpa ampun.Opa, yang duduk di kursi goyang dekat mereka, mengamati semua dengan senyum lebar. Ia sudah terbiasa melihat cucu dan menantunya mesra setiap malam, tapi malam ini rasanya lebih lucu daripada biasanya.“Kapan nih kasih Opa cicit banyak?” celoteh Opa sambil mengedip nakal.“Kamu berdua ini kok mesranya kayak abis nikah seminggu. Padahal sudah lama menikah, lho. Jangan bikin Opa nunggu tua, dong!”Raka yang duduk tegak, tersenyum lebar sambil menatap Anaya. Ia menepuk-nepuk perut istrinya pelan, kemudian menjawab dengan gaya santai tapi penuh percaya diri.“D
Sejak dokter memberikan saran khusus, Raka benar-benar menekuni “latihan persiapan lahiran” ala dirinya sendiri.Setiap malam, rutinitas kecil itu selalu membuat Anaya tersipu malu, tertawa, sekaligus merasa hangat karena perhatian Raka.Malam itu, Raka duduk di sofa dengan ekspresi serius yang dibuat-buat. Ia menatap Anaya yang sedang bersantai di ranjang sambil membaca novel favoritnya.“Yang… aku mau ketemu debay dulu ya. Perintah dokter, nih,” katanya penuh wibawa, seolah-olah ini adalah misi nasional.Anaya menatap Raka, menahan tawa. Ia sudah terbiasa dengan drama konyol ini.“Mas… ini kan malem-malem. Debay juga lagi tidur di perut aku. Mas mau apa lagi?”Raka tetap serius. Ia mencondongkan wajah ke arah perut Anaya, bersuara lirih tapi terdengar meyakinkan.“Ini penting. Kita harus jaga komunikasi… biar bayi kita lancar lahirnya. Aku cuma mau… ngobrol sama debay dulu. Kamu ngerti kan?”Anaya menggeleng, tapi hatinya mel
Setelah menjalani pemeriksaan rutin. Suasana hati keduanya campur aduk: bahagia karena bayi sehat, tapi Anaya sedikit penasaran dengan komentar dokter tadi.Raka tampak lebih bersemangat dari biasanya, matanya berbinar-binar seolah mendapatkan “durian runtuh” yang tak terduga.“Sayang… dengar nggak tadi apa kata dokter?” tanya Raka sambil menggenggam tangan Anaya erat.Anaya mengerutkan kening, tapi tersenyum miring.“Aku dengar… tapi aku agak bingung, Mas. Maksud Mas apa?”Raka mengedipkan mata nakal.“Maksudku… dokter kan nyaranin supaya kamu sering-sering… eh… berinteraksi dengan aku. Ya, gitu… biar persalinan lancar dan normal.”Anaya menatap Raka setengah serius, setengah geli.“Mas… ini… serius nih dokter nyuruh gitu, atau Mas lagi modus?”Raka tertawa ngakak, lalu mendekat, menatap mata Anaya dengan
Pagi itu, Anaya dan Raka berjalan menuju rumah sakit dengan suasana hati campur aduk, senang, tegang, sekaligus sedikit konyol.Anaya memakai gaun longgar berwarna pastel, rambutnya diikat rapi, sedangkan Raka tampil rapi tapi tetap terlihat santai.Sejak kehamilan pertama ini, Raka seolah-olah menjadi suami yang ekstra perhatian. Ia memegang tangan Anaya dengan erat, sambil sesekali menatap perut istrinya penuh rasa kagum.“Sayang… deg-degan nggak nih?” tanya Raka sambil menyenggol pinggang Anaya.“Sedikit… tapi nggak terlalu, kok,” jawab Anaya sambil tersenyum, menatap Raka yang wajahnya penuh rasa ingin tahu.“Mas, kamu kok kelihatan excited banget sih?”Raka mengangkat bahu.“Ya iyalah… ini momen pertama kita liat si kecil. Aku pengen pastiin dia sehat, aktif, dan… bikin aku bangga dari sekarang.”Anaya menepuk dada Raka pelan, sambil tertawa.“Mas… dasar… lebay banget. Tapi aku suka.”Sesampainya di ruang tun
Hari-hari Anaya berjalan lancar. Ia tetap sibuk menata rumah, memasak hal-hal ringan, dan sesekali bercanda dengan Raka.Kehamilan trimester pertama berjalan tanpa keluhan berarti, berbeda dengan yang sering ia dengar dari teman-temannya.Tidak ada mual-mual hebat, tidak ada rasa pusing yang mengganggu, bahkan selera makan Anaya tetap stabil kadang malah lebih semangat dari biasanya.Raka sendiri merasa heran sekaligus bersyukur.“Sayang… kamu makin aduhai aja deh. Bumil tercantik sedunia,” puji Raka suatu sore sambil menatap Anaya yang sedang menyapu ruang tamu.Anaya yang baru saja membungkuk untuk mengambil sapu, mendengar itu langsung tersipu. Ia menoleh dengan pipi merah merona.“Mas… lihatnya tuh kok… lain, ya?” godanya sambil menyeka keringat di dahi.Raka tersenyum nakal, menyandarkan dagunya di bahu Anaya sambil memeluknya dari belakang.“Lain? Lihatnya beda gimana, Sa
Malam itu, kamar terasa hangat, hanya dihiasi lampu temaram dan aroma minyak wangi lembut yang sengaja ditaburkan Raka untuk membuat suasana lebih nyaman.Anaya masih duduk di tepi ranjang, sedikit tegang tapi juga penasaran. Raka duduk di sampingnya dengan senyum nakal yang sudah ia kenakan sejak awal malam.Micellar water dan kapas masih di tangan Raka, tapi tatapannya mulai melayang ke arah dada Anaya.Anaya langsung menyadari gerak-gerik Raka dan segera menegurnya, wajahnya memerah.“Mas! Mas mau ngapain?! Kan suruh dibersihin, bukan diapa-apain!”Raka terkekeh pelan, tanpa ragu mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat.“Lagi dibersihin… tapi caranya ala Raka,” jawabnya santai, matanya berbinar nakal.Anaya mendengus, menepuk lengan Raka.“Mas modus ya! Dasar suami mesum!”Raka ngakak terbahak, tapi tetap memeluk Anaya erat sambil berkata manis,“Mesum cuma sa







