Setelah puas jingkrak-jingkrak sendirian di kamar mandi tamu, Raka akhirnya terdiam. Tatapan matanya jatuh pada bayangan dirinya di cermin. Wajahnya merah, senyum lebar belum juga surut.
“Kenapa reaksinya begini, sih…” gumamnya lirih, menepuk pelipis pelan.
“Kok kayak abege labil baru dicium gebetan.”
Ia menggeleng cepat, berusaha menepis perasaan itu. jantungnya masih berdetak kencang, membuktikan kalau dirinya tidak bisa berbohong pada hati sendiri.
“Apa karena dia gadis belia? Jadi aku kebawa auranya? Atau… karena memang aku benar-benar suka?”
Raka menarik napas panjang. Rasanya seperti keluar dari mode seriusnya selama ini.
Raka yang dingin, yang anti-komitmen, yang selalu menjaga jarak… mendadak luluh hanya karena satu ciuman di pipi.
Dia tertawa getir.
“Gila, Saset. Kamu bikin aku jadi orang lain. Tapi… aku suka.”
Begitu keluar dari kamar m
“Ya sudah, ntar mas anterin besok ya.” Suara Raka terdengar lembut. "Tapi...Mas nganterinnta nggak bisa pagi atau siang, mas banyak janji temu sama klien besok. Sore aja ya, sekalian pulangnya kita makan malam di luar.”Anaya yang tadinya menatap langit-langit kamar langsung menoleh. Mata bulatnya berbinar seperti anak kecil diberi permen.“Okeey… mas yang janji ya. Aku tungguin. Awas kalau mas lupa, aku ngambeg.”Raka mengangguk kecil.“Iya, janji. Sekalian kita makan enak besok. Kamu maunya ke mana?”“Terserah aja, yang penting seafood. yang bakarnya nggak pake gosong, nggak suka pait, cukup kulit aku aja yang gosong.”Raka tertawa pelan.“Dasar. Seafood aja sampe dikaitin ke kulit. dendem amat”“Ya kan trauma mas…”Anaya mengerucutkan bibirnya sambil memainkan ujung selimut.Suasana kembali hening. Hanya terdengar suara kipas angin berputar.Raka mulai hendak memejamkan m
Anaya masih saja duduk di tepi ranjang dengan wajah manyun. Sementara itu, Raka sudah rebahan, pura-pura memejamkan mata dengan napas yang dibuat-buat teratur. Anaya menatapnya curiga, bibirnya mengerucut kesal. “Mas…,” panggil Anaya pelan sambil menepuk pundaknya. Raka tetap diam. “Mas… jangan pura-pura tidur, ya. Aku tahu banget itu napas kamu napas pura-pura.” Raka masih menahan diri, nyaris tertawa. Anaya makin gemas, kini ia menepuk lebih keras. “Mas Raka! Jangan pura-pura bego deh. Nih, aku ngomong serius. Jangan pura-pura tidur, aku tahu kamu lagi acting!” Akhirnya Raka tak bisa menahan tawa kecilnya. “Hmmm, ada apa sih, Saset?” sahutnya dengan suara malas, seolah baru dibangunkan dari tidur nyenyak. Anaya langsung manyun, “Mas… nanti temenin aku ke dokter kulit, ya. Aku mau beli skincare buat ngilangin flek.” “Hmmm,” jawab Raka lagi. Anaya makin kesal. “Mas! Itu jawaban ‘hmmm’ artinya iya apa enggak, sih?” Raka membuka matanya, menoleh sebentar. “Bukannya ke do
Begitu mobil berhenti di halaman rumah Opa Hartono, Anaya langsung turun sambil mengibas-ngibaskan rambutnya yang masih ada sisa pasir.“Aduh, bau laut banget,” gumamnya.Raka terkekeh sambil menenteng tas kecil.“Ya iyalah, kita seharian di pantai. Kamu pikir bakal wangi bunga mawar?”Anaya manyun. “Pokoknya aku mau mandi dulu. Badanku lengket semua.”“Silakan, Saset. Nanti aku nyusul ”“Nyusul apaan! Jangan coba-coba masuk ke kamar mandi, Mas!”Anaya sudah mengacungkan jari telunjuknya dengan ekspresi mengancam.Raka hanya nyengir.“Ya kali aku mau ngajak mandi bareng.”“MAS!!!” Anaya melotot sebelum buru-buru lari masuk ke kamar.Raka hanya bisa tertawa keras melihat tingkahnya. “Astaga, bocah satu itu. Baru juga nyebut mandi, reaksinya udah kayak mau perang dunia ketiga.”Di dalam kamar mandi, Anaya be
Pantai sore itu seolah jadi saksi kegilaan pasangan kontrak paling aneh sejagat raya.Ombak datang silih berganti, angin laut meniup rambut Anaya yang makin berantakan, justru itulah yang membuatnya terlihat natural. Raka menatapnya lama, lalu tersenyum lebar.“Kenapa liat-liat begitu?” Anaya memicingkan mata.“Lagi ngecek, jangan-jangan Sasetku nyamar jadi duyung.” Raka menyeringai, nadanya penuh usil.Anaya mendengus.“Duyung dari mana? Jangan halu.”“Serius. Dari tadi kamu kelihatan beda. Lebih… cantik. Jangan-jangan kalau aku tengok ke belakang, ada ekor ikan nongol.” Raka menunjuk pasir di belakang Anaya.Anaya langsung menoleh refleks.“Mana?!”Begitu ia sadar dibohongi, ia menoleh cepat dengan wajah merah.“Massss Rakaaa!”Raka langsung ngakak sampai menepuk-nepuk paha.“Astaga, beneran kamu nengok. Ya A
Setelah puas jingkrak-jingkrak sendirian di kamar mandi tamu, Raka akhirnya terdiam. Tatapan matanya jatuh pada bayangan dirinya di cermin. Wajahnya merah, senyum lebar belum juga surut.“Kenapa reaksinya begini, sih…” gumamnya lirih, menepuk pelipis pelan.“Kok kayak abege labil baru dicium gebetan.”Ia menggeleng cepat, berusaha menepis perasaan itu. jantungnya masih berdetak kencang, membuktikan kalau dirinya tidak bisa berbohong pada hati sendiri.“Apa karena dia gadis belia? Jadi aku kebawa auranya? Atau… karena memang aku benar-benar suka?”Raka menarik napas panjang. Rasanya seperti keluar dari mode seriusnya selama ini.Raka yang dingin, yang anti-komitmen, yang selalu menjaga jarak… mendadak luluh hanya karena satu ciuman di pipi.Dia tertawa getir.“Gila, Saset. Kamu bikin aku jadi orang lain. Tapi… aku suka.”Begitu keluar dari kamar m
Untung hari itu weekend. Jadi nggak ada alasan lembur atau rapat mendadak. Raka sumringah banget sejak pagi, bahkan wajahnya keliatan jauh lebih cerah daripada biasanya. Bukan karena saham perusahaan naik, bukan juga karena kontrak kerja besar yang baru saja ditandatangani kemarin. Tapi karena istri sasetnya akhirnya luluh dan mau pulang ke rumah lagi. Begitu mobil hitamnya berhenti di halaman rumah Opa Hartono, Raka hampir saja nyanyi-nyanyi kayak anak kecil. Bahkan supir pribadinya sampai bingung melihat tuannya senyum-senyum sendiri sambil nyeret koper Anaya masuk ke rumah. Di teras, Opa Hartono sudah menunggu. Tangannya bertolak pinggang, matanya menyipit penuh selidik. Begitu melihat Anaya muncul di belakang Raka, Opa langsung terkekeh. “Hei, berhasil juga kamu ngerayu cucu menantu Opa, Raka! Hebat, hebat… ternyata lidah CEO nggak cuma jago rapat direksi, tapi juga jago ngerayu.” “Opa…” Anaya menyalami tangan Opa sekaligus mencubit lengan Opa sambil malu-malu.