Pertanyaan William membuat semua orang langsung terkesiap.
“Astaga, Kayla! Sudah dilamar itu!” “Cepat terima!“ Mendengar komentar beberapa temannya itu, Ghafa juga langsung tertawa rendah seraya menatap saudarinya itu dengan tatapan terhibur. “Kalau kamu diam seperti ini, Kakak akan artikan kamu menerima lamaran William loh, ya? Dengan begitu, kita bisa—” PLAK! Suara pukulan mengejutkan semua orang, menyadari bahwa Kayla baru saja menepis tangan Ghafa dengan begitu kencang dari pundaknya. Dengan wajah dingin, gadis itu berkata, “Aku yakin kakak-kakak punya banyak hal untuk dibicarakan selain diriku, jadi aku izin dulu untuk menjamu tamu lain. Permisi.” Usai mengatakan hal tersebut, tanpa menoleh sedikit pun ke arah William maupun Ghafa, Kayla langsung berbalik dan berlari kecil untuk pergi meninggalkan tempat itu. Seorang teman wanita Ghafa yang merasa sedikit tidak enak melihat Kayla pergi seperti itu gegas bertanya, “Dia tidak marah ‘kan, Ghaf? Apa candaan kita tadi keterlaluan?” Berdiri di tempatnya, Ghafa sebenarnya juga bingung dengan sikap Kayla yang terlewat sensitif dibandingkan biasanya. Akan tetapi, guna menenangkan hati para tamunya, pria itu langsung tersenyum. “Tidak, tidak. Kalian santai saja. Kayla tidak mungkin marah.” Kakak Kayla itu pun langsung menyeret teman-temannya ke arah panggung. “Sudah, lebih baik kalian ikut aku dan nikmati pesta! Mari kita bernyanyi sampai pagi!” Baru berjalan beberapa langkah, Ghafa sadar ada yang hilang. Dia menoleh ke belakang, mendapati William terdiam di tempatnya selagi menatap ke arah kepergian Kayla. “Will! Ayo ikut. Apa yang kau lakukan, Bro?” Dipanggil, William pun akhirnya berbalik menatap Ghafa. Mata pria itu tampak tenang dan air mukanya datar tidak terbaca. Sekilas, Ghafa merasa dia melihat ada sedikit ketidakpuasan di wajah William, tapi … kemudian fokusnya teralihkan saat sang sahabat menjawab santai, “Oke.” *** “Haah ….” Helaan napas panjang terlontar dari bibir Kayla yang baru merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Lelah akibat pertemuan singkat dengan teman-teman SMA sang kakak, Kayla pun memutuskan untuk beristirahat sesaat di kamar. “Kamu tidak mau lagi menjadi calon istriku? atau … aku yang tidak masuk lagi dalam list kategori calon suamimu?” Teringat kalimat yang William ucapkan tadi, Kayla langsung menautkan alis dan menutup matanya dengan lengan. “Apa dia lupa sudah menolakku dengan begitu kejam dulu? Dasar tidak tahu malu,” gerutu Kayla, merasa William seperti mempermainkan perasaannya. Kemudian, dia menghela napas lebih panjang sebelum berkata, “Sepertinya … dia juga lupa dengan kejadian di malam itu ….” Senyuman pahit terlukis di bibir Kayla, menertawakan dirinya yang sedikit konyol. Kalau dipikir-pikir kembali, tentu saja William mabuk berat hingga bisa tidur dengannya. Kalau tidak, pria yang menganggap Kayla hanya seorang anak kecil itu pasti tidak akan sudi menyentuh satu helai pun rambutnya! “Bukankah ini bagus?” ucap Kayla kepada dirinya sendiri. “Dengan begini, tidak ada orang yang tahu mengenai apa yang terjadi dan aku bisa menyembunyikan hal ini hingga akhir hayatku ….” Walau mulutnya berucap demikian, tapi kenapa rasanya hati Kayla merasa sedikit tidak terima? Kepala Kayla menggeleng cepat, tidak ingin memikirkan hal yang tidak berguna semacam itu lagi. Dia menggulingkan tubuhnya ke samping dan meringkuk selagi menutup mata perlahan. “Yang penting, masalahnya sudah selesai ….” Terlalu lelah secara fisik dan batin, Kayla tanpa sadar berujung tertidur dengan lelap usai mengatakan hal tersebut. Hanya ketika jam menunjukkan pukul sepuluh malam dan pesta sudah selesai, barulah gadis itu terbangun dengan kaget. “A-aku ketiduran!” Kayla langsung mendudukkan diri dan merapikan penampilannya. “Astaga, Kak Ghafa pasti akan membunuhku!” pekiknya seraya keluar dari kamar, berharap masih ada hal yang bisa dia lakukan agar Ghafa tidak begitu marah padanya. Namun, baru saja membuka pintu kamar dan menginjakkan kaki di area ruang tamu, Kayla malah mendengar suara sang ayah, Andre Malik, berkata dengan tegas, “Kalau memang begitu, tidak ada pilihan lain, William dan Kayla harus menikah sesegera mungkin.” Mendengar hal tersebut, mata Kayla langsung membola. “Apa?!”Ghafa duduk di bangku kayu di taman kota, tempat yang mereka sepakati sebelumnya. Pakaian santainya tampak sedikit kusut, menandakan bahwa ia sudah berada di sana cukup lama. Ia menatap lurus ke depan, namun kakinya bergerak-gerak tanpa sadar—sebuah kebiasaan yang muncul saat dirinya mulai gelisah.Sesekali, ia melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah lebih dari lima menit berlalu sejak waktu yang mereka sepakati. Ia menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk lututnya, pikirannya mulai dipenuhi keraguan. Apakah Sandra benar-benar akan datang?Lagi-lagi ia melirik jam tangannya. Lima menit berubah menjadi sepuluh, lalu dua puluh. Hatinya mulai terasa aneh. Bukan marah, bukan kesal—lebih kepada sebuah perasaan yang sulit dijelaskan.Ia menggigit bibirnya, lalu menyandarkan tubuhnya ke belakang. Satu tarikan napas panjang lagi. Saat ia mulai mengangkat ponselnya, ragu apakah harus menghubungi Sandra lebih dulu. Namun, dia matikan ponselnya dan memasu
Belum sempat berlama-lama sibuk dengan pikirannya sendiri, wanita itu menyapa Sandra."Hei, bukannya kamu wanita yang ada di pameran tadi?" Dia mendekati Sandra dengan tersenyum ringan.Rambut pirangnya dan wajah bulenya itu membuat Sandra mengernyitkan keningnya."Kamu kenal dengannya, Stella?" Ghafa berkata ramah. Stella, ternyata wanita itu bernama Stella, dan cara Ghafa bicara dengannya sangat berbeda ketika dia bicara dengan Sandra, kesannya terasa sangat hangat dan cukup akrab."Tentu saja! Dia adalah penyelamat Kayla saat di acara itu saat si wanita jahat itu ingin menjatuhkan Kayla!" Stella berkata dengan antusias pada Ghafa. "Kau harus berterima kasih padanya, Kak Ghafa!" Stella lalu menepuk lengan Ghafa dengan lembut, menunjukkan keakraban mereka."Memangnya Kayla kenapa?" tanya Ghafa melihat ke arah Sandra dengan tatapan tajam menuntut jawab.Sandra tersenyum penuh misteri, sengaja dia lakukan dengan sedkit menggoda. "Itu ... ceritanya panjang. Aku akan cerita kalau kamu ma
Setelah acara selesai, Ghafa mengajak Sandra untuk pergi menemaninya ke acara pesta pernikahan temannya. Kebetulan sekali acara Sandra bersamaan dengan acara pernikahan temannya ini, hingga dia yang gengsi untuk hanya sekadar mendatangi pameran Sandra pun, ada alasan lainnya yang dia ucapkan pada wanita itu.Ghafa paham sekali dari bahasa tubuh Sandra bahwa wanita itu sepertinya menyukainya, hanya saja dirinya yang masih belum mau memikirkan masalah percintaan ini karena terlanjut banyak kecewa dengan para mantannya membuatnya membentengi dirinya dengan sangat tinggi."Ke acara pernikahan temanmu?" tanya Sandra dengan wajah sumringah saat itu.Ghafa mengangguk pasti. "Ya Kebetulan sekali acaramu ini bertepatan dengan acara pernikahan temanku, kebetulan aku sudah membeli tiket dari jauh hari, dan acaranya tidak bersamaan, jadi aku bisa datang ke semua acara."Mendengar kalimat yang baru saja terlontar dari mulut Ghafa sekilas Sandra tampak murung. Mungkin dia sudah merasa sangat spesia
Sandra menatap layar ponselnya dengan perasaan yang semakin tak menentu. Pesan yang ia kirimkan ke Ghafa sudah berstatus "terbaca", tetapi seolah hanya berbisik ke dalam kehampaan tanpa balasan yang diperolehnya. Apa pria itu benar-benar berpikir kalau hubungan mereka hanya putus sampai malam itu saja?Wanita itu terlihat mendesah panjang, jari-jarinya menggenggam erat ponsel, menahan desakan perasaan yang semakin kuat mencengkeram dadanya. Ia menggigit bibir, mencoba menghalau gelombang kekecewaan yang mulai menghantamnya. Hatinya berdegup tak menentu, seperti menanti sesuatu yang mungkin takkan pernah datang. "Kenapa aku masih berharap?" bisiknya, nyaris tanpa suara."Apa aku terlalu berharap?" gumamnya pelan, menatap langit-langit kamar hotelnya di Los Angeles. Ia menarik napas panjang, mencoba mengusir semua keraguan yang berkecamuk di dalam pikirannya. Besok adalah hari penting itu, tapi sampai detik ini, Ghafa tidak ada memberi kabar sedikit pun.Sejak bertemu dengan Ghafa saat
Sandra menatap Ghafa dengan mata yang masih sembab, mengerucutkan bibirnya.Hal ini tentu saja membuat Ghafa melihat ada ekspresi manja yang mirip dengan Kayla.Sementara Sandra yang melihat Ghafa tidak memiliki respons padanya, membuatnya menarik napas panjang sebelum akhirnya berbicara dengan suara yang sedikit bergetar."Aku baru saja ribut besar dengan orang tuaku," ucapnya pelan. "Ayahku ingin aku mengurus bisnis keluarga, tapi aku nggak bisa ... aku nggak mau."Ghafa menatapnya dengan sedikit rasa ingin tahu, tetapi tetap diam."Bahkan waktu itu, dia mencoba mengenalkanku dengan seseorang yang katanya cocok jadi pasangan hidupku." Kembali Sandra berkata dengan nada berat.Sandra menarik napas panjang, lalu melanjutkan, "Aku sebenarnya kagum dengan pria itu, tapi aku harus tau diri juga."Mata Ghafa sedikit menyipit, tetapi ia tetap mendengarkan."Aku nggak tahu apa-apa waktu itu," lanjut Sandra dengan suara lebih pelan. "Saat aku bertengkar dengan Kayla di kantor William, aku ba
Ghafa menarik Sandra keluar dari kafe dengan langkah cepat, meninggalkan pegawai dan pelanggan yang sibuk berbisik-bisik, mencoba menebak apa yang sebenarnya terjadi. Begitu mereka sampai di luar, Sandra mencoba melepaskan tangannya, tetapi Ghafa menggenggamnya lebih erat."Heh, sakit! Lepasin tanganku!" protes Sandra sambil mencoba menarik tangannya.Ghafa berhenti dan menatapnya dengan tatapan tajam. "Kamu sadar nggak apa yang baru saja kamu lakukan di dalam? Kamu bikin aku terlihat seperti—""Seorang ayah yang kabur dari tanggung jawab?" potong Sandra dengan nada datar. Wajah Ghafa langsung berubah tegang."Hei Nona," katanya dengan suara rendah, nyaris seperti sebuah ancaman, "kalau kamu sedang bosan dan ingin bermain-main, ayo, jangan tanggung. Aku tahu bagaimana caranya bisa membuat anak dengan--""Maaf-maaf, aku tidak ada bermaksud seperti itu aku hanya ...." Sandra memperlihatkan wajah frustrasinya. "Tuan, bisa bawa aku ke tempat yang lebih tenang?" pintanya dengan suara rendah