Langit semakin gelap. Kuedarkan pandanganku ke sekitar, sepi. Hanya ada aku dan beberapa anak yang masih tertinggal di lingkungan sekolah. Ya, hanya anggota OSIS.
Aku tersenyum tipis kala satu per satu temanku membunyikan klakson motor mereka saat melewatiku sebagai salam perpisahan. "Sampai kapan aku harus menunggu di sini? Hari sudah semakin gelap." Aku kembali menatap ke atas. "Ya Tuhan, tolong bantu Delyn. Delyn harus segera pulang." Aku merapalkan doa tak kala keadaan semakin sepi dan hari yang semakin gelap. Biasanya aku akan pulang bersama dengan Alia karena arah rumah kami yang searah. Namun, karena tadi ada rapat OSIS, jadi Alia memutuskan untuk pulang lebih dulu. Ibu dan Bang Raymoon juga tengah berada di rumah tanteku -adik dari ibu- dan mungkin akan tiba di rumah larut malam. Dengan penerangan yang tak begitu cukup, aku melihat sebuah motor dengan pengendara berpakaian serba hitam berhenti tepat di depanku. Jantungku seketika berdetak tak karuan. Bahkan kini kakiku terasa lemas -lebih lemas daripada dipaksa harus berdiri menunggu angkutan umum lebih lama lagi- Aku mengeluarkan penggaris besi dari tasku secepat yang kubisa, jaga-jaga jika pengendara tersebut berniat jahat padaku. 'Tuhan, tolong Delyn, tolong Delyn.' Ucapku dalam hati. Tentunya masih dengan debaran hebat pada jantungku. Pengendara itu masih terus melihat ke arahku tanpa membuka helm yang menutupi wajahnya. Aku tak paham apa yang sebenarnya ingin dilakukan pengendara itu. Kupasang tatapan garang dan wajah yang datar kala melihat pengendara itu sama sekali tak mengalihkan pandangannya. "Apa kau akan terus berdiri di situ sepanjang malam ini?" suara lembut itu berhasil menenangkan hatiku yang kalut sejak tadi. Aku membelalakkan mataku. Aku belum mampu mengenali sang empunya suara. Jelas itu bukan suara Bang Raymoon. Lalu siapa laki-laki itu, lamunku sejenak. "Apa kau mendadak bisu?" Suara dan sentilan kecil di keningku sukses membuatku tersadar dari lamunanku. "Hah?! Kau?!" hanya kata itu yang mampu kuutarakan kala melihat laki-laki yang kini berdiri tepat di hadapanku. Siapa lagi jika bukan laki-laki aneh yang bernama Nobel Danerson. Nobel mengangkat sebelah alisnya, mengisyaratkan jika ia tak paham akan ucapanku. "Bagaimana kau bisa tiba-tiba berdiri di hadapanku?" aku memperjelas ucapanku sebelumnya. Nobel terlihat mengerutkan keningnya sebelum ia kembali menyintil keningku. Aku terkejut dengan perlakuan tiba-tiba darinya. "Selain mendadak bisu, ternyata kau juga bisa mendadak buta, ya?" Astaga, laki-laki macam apa yang ada di hadapanku ini? Ucapannya terdengar sangat dirindukan nyala api neraka. Aku mendengus kesal mendengar ucapannya dan langsung membuang pandanganku ke sembarang arah. "Delyna Alicia, mari kuantar pulang." Ucapan Nobel terdengar lebih lembut dan tentu saja lebih sopan dari sebelumnya. Kulemparkan tatapan menyelidik ke arahnya, yang sialnya malah disambut dengan tatapan tak kalah menohok dari dirinya hingga membuatku menarik sebelah bibirku -ingin menunjukkan bahwa aku merasa kesal dengan sikapnya- Nobel berdehem setelah beberapa detik tak mendengar jawaban dariku. "Ya sudahlah, mungkin kau memang ingin menginap di tempat ini. Maaf karena telah mengganggumu. Silahkan lanjutkan kesenanganmu." Aku melihat Nobel yang hendak berbalik. Dengan gerakan secepat kilat, kupukulkan penggaris besi yang sedari tadi kugenggam tepat di lengan Nobel. Pukulanku sukses membuat Nobel kembali berbalik ke arahku... dan tentunya dengan rintihan kecil dari mulutnya. "Astaga! Apa kau gila? Benda apa tadi itu?" Nobel mengelus lengannya sembari berusaha melihat sesuatu yang sudah kusembunyikan di belakang tasku."Enak saja ingin meninggalkanku sendirian! Jika sudah berniat menolong, kau harus menuntaskan niatmu itu!"
Ya, anggap saja aku memang tidak tahu diri karena dengan lantang mengatakan hal tersebut.***
"Hei, aku turun di sini saja!" ucapku sambil menepuk pundak Nobel. Kutunggu beberapa saat, namun lelaki di depanku ini tak kunjung menghentikan laju motornya. "Hei, apa kau kini mendadak tuli?" tanyaku seraya menarik sedikit ujung bajunya. "Aku punya nama! Panggil namaku dengan benar!" Aku menarik ujung bibirku; menatap punggung pria di depanku ini dengan sinis. "Saudara Nobel, kau boleh turunkan aku di sini saja!" ucapku dengan sangat terpaksa. Akhirnya Nobel menghentikan laju motornya, menatapku dengan tatapan serius. Aku dibuat bingung dengan tatapan yang dilayangkan oleh Nobel terhadapku. Kulihat diriku hingga ke ujung kaki. "Apa ada yang salah dariku?" tanyaku bingung. Nobel tak menjawab. Kulihat pandangannya menyapu keadaan di sekitar kami. "Oh, jadi selama ini kau tinggal di kandang ayam bersama ayam-ayam itu?" tanya Nobel seraya mengarahkan dagunya ke arah kandang yang tak jauh dari posisi kami berdiri saat ini. Pertanyaan Nobel sontak saja membuatku membelalakkan mataku sebelum akhirnya pukulanku mendarat di lengannya. "Ya ga di kandang juga," aku menjelaskan dengan singkat."Terus kenapa minta turun di sini?"
Bang Raymoon terlihat menghela napas kasar sebelum mengeluarkan suara. "Kenapa lagi sih, Bro?" sekarang giliran Nobel yang ditanyai; tepat setelah pria itu menghentikan langkahnya di sebelahku. "Tahu nih adek lo. Masa cuma karena gue ke dapur dia langsung ngomel-ngomel? Padahal kan yang nyuruh gue ngambil minum itu lo.""Engga, ga gitu, Bang." Ucapku, lalu beralih menatap Nobel. "Eh, Jamet, kalau cerita tuh jangan setengah-setengah gitu dong! Pengen banget ya dapat pembelaan dari Bang Ray?" ucapku kesal. "Delyna, kok manggil jamet-jamet gitu, sih? Walaupun kamu sama Nobel itu 1 angkatan, tapi dia itu lebih tua dari kamu, Dek. Minta maaf sekarang." Ucap Bang Raymoon menegur.Oh, lebih tua, ya?Aku menghela napas dalam-dalam. "Delyna minta maaf, ya, OM?" ucapku dengan penekanan pada panggilanku padanya. "Lah? Kok malah om, sih?" Nobel tampak mengerutkan keningnya. "Kan LEBIH TUA." Ucapku langsung dengan penekanan pada 2 kata terakhir. "Ya ga gitu juga dek manggilnya." Lagi-lagi Ban
Suara teriakan itu bersamaan dengan lonjakan kaget sesaat setelah orang itu mendapati diriku membuka pintu. Aku segera memukul lengannya. "Berisik, jamet! Ini manusia. Delyna ini, Delyna!" ucapku kesal. Mama dan Bang Raymoon menyusulku ke luar dengan langkah yang tergesa -yang kutahu pasti karena suara berisik dari salah satu penghuni bumi yang baru kutemui ini-. Keduanya bingung melihat ekspresi wajahku dan Nobel. "Dia, Ma. Dia yang teriak, bukan Delyna." Ucapku sambil menunjuk Nobel. Yang kutunjuk justru berjalan menghampiri mama dan dengan tidak terduganya dia malah mengulurkan tangan dan menyalam mama. Ya bukannya apa-apa ya, aku hanya kaget saja. Di situasi seperti ini, kenapa dia masih kepikiran dengan sopan santun yang seperti itu? Ah benar-benar tidak bisa kuselami. "Nobel minta maaf ya tante udah ganggu waktu tante dan bikin tante panik gini. Habisnya tadi Nobel kaget banget tiba-tiba dibukain pintu sama Delyna dengan kondisi mukanya yang begitu, Tante." Ucap Nobel den
Ia menyunggingkan bibirnya. "Sekarang aku belum tahu akan aku gunakan untuk apa kesempatan yang kau beri, tapi nanti akan aku pikirkan." Setelah mengatakan itu, kulihat Alia mengutak-atik layar ponselnya. Untuk apa, aku pun tidak tahu. "Ini." Ucapnya tiba-tiba. Semakin bingung saja aku dibuat anak ini. "Apa ini?" tanyaku saat melihat aplikasi recorder yang ia suguhkan padaku melalui ponselnya. "Sekarang, kau rekam saja suaramu." "Untuk apa? Kau tahu kan aku bukan penyanyi?" "Siapa pula yang memintamu untuk bernyanyi? Ini sebagai jaminan bahwa kau benar-benar akan melakukan apa yang aku mau setelah kau mendapat info tentang sahabatku." Kunaikkan sebelah alisnya. "Apa kau berencana untuk mengurasku?" "Kalau aku jahat, aku mungkin akan melakukannya." "Lalu mengapa harus dengan cara begini? Apa kau tidak percaya padaku?" Alia tampak membuang napas kasar. "Nobel, aku bukannya tidak percaya padamu-" Belum sempat Alia menyelesaikan ucapannya, kuulurkan tanganku menjentik tepat di
Di toko ice cream, terlihat di dalamnya dominan dipenuhi oleh gadis-gadis seusia Alia. Adapun laki-laki, kebanyakan bernasib sama denganku; hanya memenuhi keinginan gadis yang tengah bersama mereka."Alia, kenapa lama sekali? Ini hanya perkara ice cream, Alia." Ucapku dengan suara yang setengah berbisik. Kulihat Alia tak menanggapi ucapanku. Gadis itu justru asik memilih ice cream seraya berbincang tipis-tipis dengan gadis lain di sebelahnya. "Alia, ayo, cepatlah! Ini sudah jam berapa." Ucapku menuntut."Nobel, tolong sabar sebentar. Aku harus memastikan bahwa ice cream yang kupilih benar-benar tak membuatku kecewa nantinya. Aku harus memikirkannya dengan baik. Jadi kuharap, kau bersabarlah!""Ck! Dia berucap seperti itu seakan ia tengah memilih pasangan hidup, padahal ia hanya tengah berkutat dengan varian ice cream. Dasar wanita!"Aku mengomel pelan seraya berjalan kembali ke kursi tunggu. Dan kini, pria yang menunggu di tempat itu semakin bertambah saja. Apa perkara varian ice c
Ah! Mengapa dia selalu menyebalkan seperti ini?!Ucapannya membuat kerjaanku bertambah. Setelah ini, Alia pasti akan mencecarku dengan rentetan pertanyaan. "Dasar laki-laki aneh!" kesalku dengan geram. ***[Delyna, abang sudah di depan. Apa belnya masih lama?]Kubaca pesan dari kontak bernama 'Bang Ray yang diikuti emoticon bulan' melalui notifikasi ponselku.Kulihat jam tanganku sekejap. Masih ada kurang lebih 15 menit lagi menuju bel pulang sekolah. 'Apa Bang Raymoon tidak ke kampus hari ini?' pikirku sebelum membalas pesannya. Baru saja aku menyimpan kembali ponselku, Alia tiba-tiba menyikut lenganku. "Ntar mau ke toko ice cream dulu ga, Del? Dengar-dengar toko ice cream di simpang lampu merah depan baru aja ngeluarin varian baru dan lagi ngadain promo juga." Alia terlihat excited mengajakku. Aku berpikir sejenak. Tidak mungkin aku mengiyakan ajakan Alia, sedangkan Bang Raymoon sudah menungguku di depan. "Aduh... gimana ya, Lia, masalahnya Bang Ray sudah di depan. Udah nunggu
WOI!!! ARRRGHHH! APA-APAAN?!Senyuman lebar yang ditampilkan Nobel seolah memang sengaja untuk membuatku kesal. Dan senyuman itu ia tunjukkan bersamaan dengan lototan tajam yang kuberi dan pekikan terkejut dari Alia. Alia yang sedari tadi bertahan hanya sebagai penonton pada akhirnya angkat bicara. "What? Hei, sebentar sebentar, apa aku tidak salah dengar, nih? Kalian berdua sejak kapan resmi begini?"Aku menggelengkan kepalaku sembari memajukan kedua tanganku membentuk silang. "Ya ampun, Delyna Alicia, kenapa bisa berita bahagia seperti ini tak kau beritahu padaku? Apa aku tidak sepenting itu bagimu?"Mulai lagi drama manusia satu ini, pikirku.Belum selesai, Alia kembali berucap. "Padahal kalau aku tahu tentang ini, aku pasti tak akan mendukung Kak Niel untuk mendekatimu seperti tadi."Panjang lebar Alia berucap membuatku benar-benar ingin menenggelamkan anak itu ke kolam ikan sekolah.APA TIDAK BISA SEHARI SAJA MULUTNYA ITU DI-REM? SANGAT MEREPOTKANKU!Kulihat wajah jahil Nobel de