Share

Seandainya

Author: lnpgirl
last update Last Updated: 2024-05-13 18:15:49

Tadinya aku ingin naik angkutan umum dan segera pulang ke rumah sebelum jadwal masuk kerjaku tiba. Tapi entah mengapa aku tiba-tiba merindukan papa dan Cito. Bukan berarti di hari sebelumnya aku tak merindukan mereka, tapi hari ini rasa rinduku semakin menjadi-jadi. Kuurungkan niatku untuk segera pulang.

Aku menaiki angkutan umum yang berbeda dari biasanya. Ya, tujuanku adalah mengunjungi makam kedua pria yang sangat kusayangi, papa dan Cito.

Langkahku melemah ketika tiba di pemakaman. Kuedarkan pandanganku ke sekitar. Aku benci mengapa aku harus ada di tempat ini. Tempat yang tak pernah kusangka akan menjadi tempat di kala aku merindukan papa dan Cito.

Biasanya ketika aku merindukan papa yang sedang berada di luar kota atau merindukan Cito yang tengah sibuk dengan kegiatan OSIS, aku hanya akan menunggu sampai mereka menghampiriku, tapi sekarang...

"Semoga aku kuat," ucapku dalam hati.

Rumah baru papa tak begitu jauh dengan Cito, jadi itu memudahkanku untuk mengunjungi keduanya di waktu yang bersamaan.

"Hai, Cito. Kamu sudah tenang ya di sana? Aku begitu merindukanmu. Apa kamu masih bisa merindukanku juga dari sana?" aku mengusap batu nisan berbentuk salib yang bertuliskan nama Alcito Danendra.

"Aku bingung mau cerita sama siapa, To. Papa udah nyusulin kamu. Sedangkan mama dan bang Raymoon..." aku menghentikan ucapanku sejenak.

"Aku tahu mereka sama sepertiku. Mereka ga baik-baik aja dengan kepergian papa. Aku rindu kamu, Cito. Seandainya papa dan kamu ga pergi, mungkin aku masih bisa sebahagia dulu. Kita masih punya mimpi, To. Kita punya mimpi bersama, To. Kamu janji bakal berjuang buat aku, buat kita. Tapi kenapa kamu malah pergi ninggalin aku, To? Aku ga tahu apa aku bisa buka hati buat orang lain atau engga setelah kepergian kamu," aku menangis rapuh. Sendirian.

Author's POV:

Tak jauh dari tempat Delyna menangis, terlihat pria berpakaian serba hitam menatap punggung Delyna.

"Siapa wanita itu?" ucap Nobel Danerson, yang tak lain adalah pria yang berdiri menatap Delyna.

"Kenapa dia terlihat begitu sedih? Apa hubungan wanita itu dengan Cito?" lagi-lagi Nobel bertanya di dalam hatinya.

Samar-samar Nobel mendengar isak tangis Delyna. Tangis itu terdengar sangat perih dan... rapuh.

Nobel menyimpan semua tanda tanya di kepalanya. Ia tak berencana menghampiri Delyna; lebih tepatnya tak ingin mengganggu wanita itu. Meski demikian, ia masih setia memperhatikan setiap pergerakan yang dilakukan oleh Delyna. Bahkan ia setia memperhatikan Delyna yang sudah beberapa kali menyeka air matanya agar terlihat kuat.

Tak lama kemudian, Nobel mengerutkan keningnya ketika melihat Delyna beranjak. Nobel sedikit memundurkan langkahnya dengan perlahan; tak ingin kehadirannya diketahui oleh wanita yang tengah ia pantau itu.

"Apa wanita itu sudah ingin pulang?" pertanyaan baru muncul di kepala Nobel.

Nobel yang awalnya ingin berjalan menuju kuburan Cito akhirnya mengurungkan niatnya setelah melihat arah langkah Delyna bukan ke luar dari tempat pemakaman, melainkan kembali jongkok di depan salah satu makam yang tentu saja tidak ia ketahui siapa pemiliknya.

"Makam siapa lagi yang wanita itu kunjungi?" Nobel mengerutkan keningnya.

Sebenarnya itu bukan sesuatu yang harus Nobel pedulikan, namun setelah melihat air mata Delyna kembali mengalir, hati Nobel tersentuh, ia merasa iba dengan gadis yang baru saja ia temui beberapa saat lalu.

Pundak Delyna terlihat menurun. Itu menandakan bahwa ia sungguh sedang tak baik-baik saja.

Author's POV end.

"Pa, Delyn rindu banget sama papa. Delyn rindu dipeluk, Delyn rindu cerita sama papa, Delyn rindu diantar jemput ke sekolah sama papa, " ucapku dengan tatapan yang tertunduk.

"Delyn juga rindu ngisengin papa, Delyn rindu semua hal yang kita lewati, Pa," kuteruskan ucapanku meski dengan air mata yang lagi-lagi tak bisa kusembunyikan.

Mungkin selanjutnya tempat ini akan menjadi tempat ternyaman untukku meluapkan sesak di dadaku, tempat di mana aku bisa menangis dengan leluasa tanpa takut dilihat oleh manusia lain.

Ya, di sini adalah tempat untuk orang-orang yang merasakan patah, hancur, kehilangan. Jadi, menangislah jika kau ingin menangis. Namun setelah ke luar dari tempat ini, kau harus kembali berpura-pura menjadi manusia yang baik-baik saja. Begitulah cara kerja dunia.

Tangismu hanya berharga untukmu. Pedihmu hanya untukmu. Kecewamu cukup kau simpan. Lukamu harus kau obati sendiri.

"Pa, kenapa ya Tuhan yakin banget kalau mama, Delyn, dan bang Raymoon bakal kuat menghadapi takdir ini? Takdir yang isinya harus tanpa papa, " aku tertawa miris menyadari ucapan bodoh yang kulontarkan.

***

Seandainya papanya tak meninggalkan Delyn, mungkin luka yang dirasakan Delyn tak akan sesakit itu. Seandainya Cito tak meninggalkan Delyn, mungkin Delyn masih dan akan selalu tersenyum. Ya, 'seandainya' memang tak pernah ada ujungnya.

***

Aku menatap jam di tangan kiriku sembari menunggu angkutan umum yang akan mengantarkanku ke tempat kerja tiba. Tadinya bang Raymoon berniat untuk mengantarku sekalian dia hendak ke kampus karena ada jadwal bermain basket. Tapi aku ingat bahwa aku ingin bekerja, jadi aku menolak ajakan bang Raymoon.

"Untung aja tadi bang Ray percaya waktu aku bilang mau ke rumah Alia," ucapku sedikit tersenyum.

Sebenarnya aku merasa bersalah karena telah membohongi mama dan bang Raymoon, tapi sungguh aku tak ingin mereka jadi kepikiran dengan keputusanku ini.

"Tolong maafkan perbuatan anakmu ini, Ma," ucapku seolah aku tengah berdialog dengan wanita yang telah melahirkanku itu.

Jam tanganku kembali kutatap. Detik berganti detik, menit berganti menit, namun kendaraan yang kutunggu tak kunjung tiba.

Haus yang menyerangku membuatku teringat ada supermarket di sebelah halte tempatku berdiri saat ini.

"Mending aku beli minuman dulu, deh," ucapku sembari berjalan ke arah supermarket.

Aku yang awalnya hanya berniat membeli minuman dingin, justru malah nyasar di rak makanan ringan.

"Dasar wanita," aku berucap seorang diri menyadari kelakuanku.

Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling rak, berusaha menemukan makanan yang sekiranya cocok untuk kubeli dan mungkin setelah pulang kerja aku sungguh-sungguh akan mampir ke rumah Alia, sebatas memberikan beberapa makanan ini sebagai bentuk terima kasih dan maaf karena telah menjual namanya di depan Bang Raymoon.

Aku terkikik pelan kala membayangkan bagaimana wajah Alia dan caranya mengomel mengingat aku benar-benar membohongi Bang Raymoon.

Terlalu sibuk dengan pikiran dan belanjaanku, aku baru menyadari bahwa sedari tadi ada pria yang tengah memandangiku beberapa langkah dari tempatku berdiri.

"Apa yang salah denganku? Apa tawa kecilku membuat pria itu terganggu?" pikirku dalam hati.

Aku berdecak kesal kala kudapati pandangan pria itu belum beralih dariku.

Dengan cepat aku menghampiri pria itu dengan wajah garang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jodoh Titipan untuk Delyna   Jemput?

    Bang Raymoon terlihat menghela napas kasar sebelum mengeluarkan suara. "Kenapa lagi sih, Bro?" sekarang giliran Nobel yang ditanyai; tepat setelah pria itu menghentikan langkahnya di sebelahku. "Tahu nih adek lo. Masa cuma karena gue ke dapur dia langsung ngomel-ngomel? Padahal kan yang nyuruh gue ngambil minum itu lo.""Engga, ga gitu, Bang." Ucapku, lalu beralih menatap Nobel. "Eh, Jamet, kalau cerita tuh jangan setengah-setengah gitu dong! Pengen banget ya dapat pembelaan dari Bang Ray?" ucapku kesal. "Delyna, kok manggil jamet-jamet gitu, sih? Walaupun kamu sama Nobel itu 1 angkatan, tapi dia itu lebih tua dari kamu, Dek. Minta maaf sekarang." Ucap Bang Raymoon menegur.Oh, lebih tua, ya?Aku menghela napas dalam-dalam. "Delyna minta maaf, ya, OM?" ucapku dengan penekanan pada panggilanku padanya. "Lah? Kok malah om, sih?" Nobel tampak mengerutkan keningnya. "Kan LEBIH TUA." Ucapku langsung dengan penekanan pada 2 kata terakhir. "Ya ga gitu juga dek manggilnya." Lagi-lagi Ban

  • Jodoh Titipan untuk Delyna   Naik darah

    Suara teriakan itu bersamaan dengan lonjakan kaget sesaat setelah orang itu mendapati diriku membuka pintu. Aku segera memukul lengannya. "Berisik, jamet! Ini manusia. Delyna ini, Delyna!" ucapku kesal. Mama dan Bang Raymoon menyusulku ke luar dengan langkah yang tergesa -yang kutahu pasti karena suara berisik dari salah satu penghuni bumi yang baru kutemui ini-. Keduanya bingung melihat ekspresi wajahku dan Nobel. "Dia, Ma. Dia yang teriak, bukan Delyna." Ucapku sambil menunjuk Nobel. Yang kutunjuk justru berjalan menghampiri mama dan dengan tidak terduganya dia malah mengulurkan tangan dan menyalam mama. Ya bukannya apa-apa ya, aku hanya kaget saja. Di situasi seperti ini, kenapa dia masih kepikiran dengan sopan santun yang seperti itu? Ah benar-benar tidak bisa kuselami. "Nobel minta maaf ya tante udah ganggu waktu tante dan bikin tante panik gini. Habisnya tadi Nobel kaget banget tiba-tiba dibukain pintu sama Delyna dengan kondisi mukanya yang begitu, Tante." Ucap Nobel den

  • Jodoh Titipan untuk Delyna   Tamu

    Ia menyunggingkan bibirnya. "Sekarang aku belum tahu akan aku gunakan untuk apa kesempatan yang kau beri, tapi nanti akan aku pikirkan." Setelah mengatakan itu, kulihat Alia mengutak-atik layar ponselnya. Untuk apa, aku pun tidak tahu. "Ini." Ucapnya tiba-tiba. Semakin bingung saja aku dibuat anak ini. "Apa ini?" tanyaku saat melihat aplikasi recorder yang ia suguhkan padaku melalui ponselnya. "Sekarang, kau rekam saja suaramu." "Untuk apa? Kau tahu kan aku bukan penyanyi?" "Siapa pula yang memintamu untuk bernyanyi? Ini sebagai jaminan bahwa kau benar-benar akan melakukan apa yang aku mau setelah kau mendapat info tentang sahabatku." Kunaikkan sebelah alisnya. "Apa kau berencana untuk mengurasku?" "Kalau aku jahat, aku mungkin akan melakukannya." "Lalu mengapa harus dengan cara begini? Apa kau tidak percaya padaku?" Alia tampak membuang napas kasar. "Nobel, aku bukannya tidak percaya padamu-" Belum sempat Alia menyelesaikan ucapannya, kuulurkan tanganku menjentik tepat di

  • Jodoh Titipan untuk Delyna   Informasi

    Di toko ice cream, terlihat di dalamnya dominan dipenuhi oleh gadis-gadis seusia Alia. Adapun laki-laki, kebanyakan bernasib sama denganku; hanya memenuhi keinginan gadis yang tengah bersama mereka."Alia, kenapa lama sekali? Ini hanya perkara ice cream, Alia." Ucapku dengan suara yang setengah berbisik. Kulihat Alia tak menanggapi ucapanku. Gadis itu justru asik memilih ice cream seraya berbincang tipis-tipis dengan gadis lain di sebelahnya. "Alia, ayo, cepatlah! Ini sudah jam berapa." Ucapku menuntut."Nobel, tolong sabar sebentar. Aku harus memastikan bahwa ice cream yang kupilih benar-benar tak membuatku kecewa nantinya. Aku harus memikirkannya dengan baik. Jadi kuharap, kau bersabarlah!""Ck! Dia berucap seperti itu seakan ia tengah memilih pasangan hidup, padahal ia hanya tengah berkutat dengan varian ice cream. Dasar wanita!"Aku mengomel pelan seraya berjalan kembali ke kursi tunggu. Dan kini, pria yang menunggu di tempat itu semakin bertambah saja. Apa perkara varian ice c

  • Jodoh Titipan untuk Delyna   Toko ice cream

    Ah! Mengapa dia selalu menyebalkan seperti ini?!Ucapannya membuat kerjaanku bertambah. Setelah ini, Alia pasti akan mencecarku dengan rentetan pertanyaan. "Dasar laki-laki aneh!" kesalku dengan geram. ***[Delyna, abang sudah di depan. Apa belnya masih lama?]Kubaca pesan dari kontak bernama 'Bang Ray yang diikuti emoticon bulan' melalui notifikasi ponselku.Kulihat jam tanganku sekejap. Masih ada kurang lebih 15 menit lagi menuju bel pulang sekolah. 'Apa Bang Raymoon tidak ke kampus hari ini?' pikirku sebelum membalas pesannya. Baru saja aku menyimpan kembali ponselku, Alia tiba-tiba menyikut lenganku. "Ntar mau ke toko ice cream dulu ga, Del? Dengar-dengar toko ice cream di simpang lampu merah depan baru aja ngeluarin varian baru dan lagi ngadain promo juga." Alia terlihat excited mengajakku. Aku berpikir sejenak. Tidak mungkin aku mengiyakan ajakan Alia, sedangkan Bang Raymoon sudah menungguku di depan. "Aduh... gimana ya, Lia, masalahnya Bang Ray sudah di depan. Udah nunggu

  • Jodoh Titipan untuk Delyna   Hijau

    WOI!!! ARRRGHHH! APA-APAAN?!Senyuman lebar yang ditampilkan Nobel seolah memang sengaja untuk membuatku kesal. Dan senyuman itu ia tunjukkan bersamaan dengan lototan tajam yang kuberi dan pekikan terkejut dari Alia. Alia yang sedari tadi bertahan hanya sebagai penonton pada akhirnya angkat bicara. "What? Hei, sebentar sebentar, apa aku tidak salah dengar, nih? Kalian berdua sejak kapan resmi begini?"Aku menggelengkan kepalaku sembari memajukan kedua tanganku membentuk silang. "Ya ampun, Delyna Alicia, kenapa bisa berita bahagia seperti ini tak kau beritahu padaku? Apa aku tidak sepenting itu bagimu?"Mulai lagi drama manusia satu ini, pikirku.Belum selesai, Alia kembali berucap. "Padahal kalau aku tahu tentang ini, aku pasti tak akan mendukung Kak Niel untuk mendekatimu seperti tadi."Panjang lebar Alia berucap membuatku benar-benar ingin menenggelamkan anak itu ke kolam ikan sekolah.APA TIDAK BISA SEHARI SAJA MULUTNYA ITU DI-REM? SANGAT MEREPOTKANKU!Kulihat wajah jahil Nobel de

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status