"Mas, saya perhatiin dari tadi mas ini ngelihatin saya terus, emangnya ada yang salah ya dari saya?" tanyaku dengan suara yang kubuat sejudes mungkin.
Sebenarnya aku tak bermaksud berkata selantang itu, apalagi mengingat tempat kami berada saat ini. Tapi aku ingin dia tahu bahwa apa yang ia lakukan tak sopan, dan membuatku tak nyaman. Pria itu justru tampak mengerutkan keningnya setelah melangkah mundur 2 langkah secara perlahan. "Ngomong sama saya, Mbak?" tanya pria itu dengan wajah datar yang berhasil membuatku tak menyesali perbuatanku barusan. "Lah, jelas-jelas saya berdiri di depan Mas, masa iya saya ngomong sama tembok!" ucapku kesal dengan pertanyaan pria itu. Iya, pria yang berhadapan dengan Delyna saat ini adalah Nobel Danerson. Pria yang juga tadi siang melihatnya di pemakaman. Nobel tertawa seolah meremehkan omelan gadis di depannya ini. "Anda memang terlahir begitu percaya diri, ya?" sontak saja ucapan pria itu membuatku semakin jengkel. "Enak saja dia mengatakan seperti itu! Aku kan mengatakan apa yang kulihat tadi! Dasar pria aneh!" rengutku di dalam hati. "Astaga mas, kalau salah tuh ya minta maaf, bukan malah ngatain kayak begitu! Minta maaf doang ga bakal bikin mas jadi kelihatan rendah, kok," ucapku sembari menyilangkan tanganku di depan dadaku. Pria itu menggelengkan kepalanya serasa berdecak. "Tuh! Saya lagi ngomong sama teman saya," ucap pria di hadapanku ini sembari mengulurkan jari telunjuknya. Kuikuti arah telunjuknya hingga membelakangi pria itu. Kulihat seorang wanita tengah melambai sembari tersenyum lebar ke arah kami; atau lebih tepatnya ke arah pria yang tadi kuomeli. "Lain kali jangan terlalu percaya diri begitu, Mbak," lagi-lagi ucapan pria itu berhasil membuatku kesal. Sangat sederhana, namun aku terpancing. Mulutku komat-kamit tak tentu setelah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Tapi meskipun begitu, tetap saja aku tak mau kelihatan salah. Kucondongkan tubuhku ke arah pria itu dengan tatapan kesal. "Makanya mas, istrinya diajak masuklah, masa dibiarin kayak patung toko gitu di sana! Dasar laki-laki!" aku masih sempat-sempatnya mengecam pria itu sebelum bergerak menjauhinya. Sebenarnya aku ingin meminta maaf karena telah menuduhnya, tapi entah mengapa setelah melihat tampangnya yang songong itu, aku jadi berubah pikiran. Rasanya aku justru semakin ingin melantunkan omelan-omelan lainnya tepat di telinganya. "Dasar lelaki menyebalkan!" tukasku pelan agar pendengaran pria itu tak mampu menjangkaunya. *** Nobel's POV "Ha? Istri? Apa aku kelihatan segitu tuanya di mata wanita itu? Perasaan tampangku masih sangat cocok menjadi anak SMA. Wanita itu memang aneh. Barangkali matanya sudah tertutup dengan air matanya saat di pemakaman tadi," gumam Nobel seiring punggung Delyna yang semakin menjauh darinya. "Entahlah, mungkin wanita itu terlalu banyak menangis," lanjut Nobel di dalam hatinya. Jujur saja, sedari tadi dirinya memang tengah memperhatikan Delyna. Meski saat di pemakaman wajah Delyna tak begitu jelas ia lihat, namun sekilas ia masih dapat mengenali gadis itu. Ditambah lagi mata sembab Delyna yang belum hilang sepenuhnya meski sudah beberapa jam sejak dari ia melihat gadis itu menangis. Dan karena terlalu serius memperhatikan Delyna, Nobel sampai tak menyadari jika Delyna melihat kelakuannya itu. Untung saja ada Farah, tetangganya yang kebetulan berada di supermarket tersebut. Jika tidak, Nobel tak tahu harus mengatakan apa pada gadis itu. "Wanita yang sama, tapi sifatnya kenapa bisa beda banget ya sama yang di pemakaman tadi?" ucap Nobel pelan seraya tersenyum kecil. "Beda apanya, Bel?" tanya Farah yang tengah duduk di sebelah Nobel. Setelah insiden tadi, Nobel memang sengaja mengajak Farah untuk pulang bersamanya. Selain untuk membuat Delyna yakin, hal itu juga menjadi salah satu bentuk terima kasih Nobel kepada Farah yang telah membantunya tanpa sengaja. "Ha? Oh, engga. Ini, setirnya kayak ada yang beda gitu. Tapi kayaknya perasaan aku aja," ucap Nobel sembari menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal. "Jangan bilang kamu mau ninggalin aku di tengah jalan kayak gini setelah nyomot aku dari supermarket tadi," ucap Farah sambil mengangkat sebelah alisnya. Nobel terkekeh pelan. "Ya ampun Far, ya ga mungkinlah aku ninggalin kamu di tengah jalan gini. Ya walaupun mungkin bisa, tapi aku ga setega itu, kok. Lagi pula ini cuma masalah kecil doang, kok," Farah hanya ber-oh ria mendengar penjelasan dari Nobel. "Kenapa perempuan itu ada di sana, ya? Apa rumah dia ada di dekat sini juga?" pikir Nobel dalam benaknya. Sibuk dengan pikirannya tentang Delyna, tiba-tiba Farah berteriak hingga membuat Nobel tersadar dan langsung menginjak rem mobilnya secara mendadak. Napas Nobel dan Farah terdengar berkejaran. Farah membuka matanya secara perlahan. "Aku masih hidup, kan? Aku masih hidup, kan?" ucap Farah yang terdengar panik sembari menyentuh sekujur tubuhnya secara bergantian; seolah ingin memastikan bahwa ia masih berada di dunia. Nobel menoleh ke arah Farah yang justru malah mendapat pukulan keras dari Farah tepat di lengannya. "Bel, kamu gila, ya?" ucap Farah kesal. "Kamu ga kenapa-napa kan, Far?" Nobel mengabaikan perkataan Farah sebelumnya dan langsung memeriksa tangan serta kepala Farah; takut jika ada benturan di daerah tersebut. Nobel tahu bahwa ia pantas mendapat ucapan seperti itu dari Farah. Ia merasa bersalah karena bisa-bisanya ia mengabaikan keselamatan dirinya dan Farah hanya karena memikirkan seorang gadis yang tak jelas identitasnya itu. "Bentar Bel, kayaknya tadi kita nabrak sesuatu, deh. Bel, itu kita nabrak apaan, Bel?" tanya Farah dengan wajah panik. Nobel menggelengkan kepalanya. "Ya udah, mending kita turun aja dulu buat mastiin," ucap Nobel yang langsung diangguki oleh Farah. Ekspresi kaget bercampur panik jelas terlihat di wajah Nobel ketika ia melihat seorang perempuan paruh baya tengah meringis tepat di depan mobilnya. "Bel, ayo kita antar ke rumah sakit, buruan!" pekik Farah yang langsung sigap membukakan pintu mobil Nobel. "Bu, kita antar ke rumah sakit, ya?" ucap Nobel menawarkan. Yang ditanyai hanya mengangguk pelan. *** "Semoga aja ibu itu ga kenapa-napa ya, Bel? Aku takut banget kalau sampai ada luka dalam. Terus, gimana kalau keluarganya ga terima dan minta ganti rugi ke kita? Atau gimana kalau mereka nuntut kita? Kita bisa masuk penjara, Bel. Aku ga mau masuk penjara, Bel," ucap Farah yang kelewat panik. Bahkan mungkin beberapa menit ke depan gadis ini bisa menangis karena paniknya. "Husst... husst... udah Far, udah ya. Kamu mikirnya ga usah kejauhan gitu. Kita doain aja semoga si ibu ga kenapa-napa. Semoga aja bisa langsung pulang. Lagi pula tadi kan si ibu masih sadar dan dia juga bilang kalau dia itu cuma kaget, makanya dia bisa sampai jatuh," ucap Nobel yang berusaha menenangkan Farah. Kalau boleh jujur, telinga Nobel sebenarnya sangat panas mendengar celotehan Farah sedari tadi. Sejak tiba di rumah sakit, Farah tak bisa berhenti mengoceh. Ia terus saja mengutarakan skenario-skenario yang ada di kepalanya. "Ya tapi gimana kalau si ibu malah..." belum selesai bicara, Nobel sudah meletakkan jari telunjuknya tepat di depan bibir Farah agar gadis itu berhenti mengoceh. Ia juga tak lupa merangkul Farah; seolah tengah menyalurkan sebagian ketenangan yang ia miliki. "Kamu ini perempuan banget sih, Far, dikit-dikit panik, dikit-dikit panik, heran aku," ucap Nobel seraya menggelengkan kepalanya. "Dengerin aku, ya. Kita tuh sebagai manusia harus bisa mengendalikan pikiran kita. Kalau kamu panik dan mikir yang aneh-aneh, bisa-bisa hasilnya juga ga baik, Farah Nadia," ucap Nobel dengan penekanan di akhir kalimatnya, dan tak lupa sembari mengacak-acak rambut Farah. Farah menarik napasnya dalam-dalam. Ia berusaha mengambil alih ketakutan dan pikiran negatif yang sedari tadi menyerangnya. "Kamu benar, semua bakal baik-baik aja, iya kan, Bel?" ucapan itu mendapat anggukan mantap dari sang lawan bicara. Untung saja di dunia ini ada laki-laki, yang tenang. Ga kebayang gimana jadinya kalau dunia ini isinya wanita semua. Bisa kacau dunia ini karena isinya panik semua.Bang Raymoon terlihat menghela napas kasar sebelum mengeluarkan suara. "Kenapa lagi sih, Bro?" sekarang giliran Nobel yang ditanyai; tepat setelah pria itu menghentikan langkahnya di sebelahku. "Tahu nih adek lo. Masa cuma karena gue ke dapur dia langsung ngomel-ngomel? Padahal kan yang nyuruh gue ngambil minum itu lo.""Engga, ga gitu, Bang." Ucapku, lalu beralih menatap Nobel. "Eh, Jamet, kalau cerita tuh jangan setengah-setengah gitu dong! Pengen banget ya dapat pembelaan dari Bang Ray?" ucapku kesal. "Delyna, kok manggil jamet-jamet gitu, sih? Walaupun kamu sama Nobel itu 1 angkatan, tapi dia itu lebih tua dari kamu, Dek. Minta maaf sekarang." Ucap Bang Raymoon menegur.Oh, lebih tua, ya?Aku menghela napas dalam-dalam. "Delyna minta maaf, ya, OM?" ucapku dengan penekanan pada panggilanku padanya. "Lah? Kok malah om, sih?" Nobel tampak mengerutkan keningnya. "Kan LEBIH TUA." Ucapku langsung dengan penekanan pada 2 kata terakhir. "Ya ga gitu juga dek manggilnya." Lagi-lagi Ban
Suara teriakan itu bersamaan dengan lonjakan kaget sesaat setelah orang itu mendapati diriku membuka pintu. Aku segera memukul lengannya. "Berisik, jamet! Ini manusia. Delyna ini, Delyna!" ucapku kesal. Mama dan Bang Raymoon menyusulku ke luar dengan langkah yang tergesa -yang kutahu pasti karena suara berisik dari salah satu penghuni bumi yang baru kutemui ini-. Keduanya bingung melihat ekspresi wajahku dan Nobel. "Dia, Ma. Dia yang teriak, bukan Delyna." Ucapku sambil menunjuk Nobel. Yang kutunjuk justru berjalan menghampiri mama dan dengan tidak terduganya dia malah mengulurkan tangan dan menyalam mama. Ya bukannya apa-apa ya, aku hanya kaget saja. Di situasi seperti ini, kenapa dia masih kepikiran dengan sopan santun yang seperti itu? Ah benar-benar tidak bisa kuselami. "Nobel minta maaf ya tante udah ganggu waktu tante dan bikin tante panik gini. Habisnya tadi Nobel kaget banget tiba-tiba dibukain pintu sama Delyna dengan kondisi mukanya yang begitu, Tante." Ucap Nobel den
Ia menyunggingkan bibirnya. "Sekarang aku belum tahu akan aku gunakan untuk apa kesempatan yang kau beri, tapi nanti akan aku pikirkan." Setelah mengatakan itu, kulihat Alia mengutak-atik layar ponselnya. Untuk apa, aku pun tidak tahu. "Ini." Ucapnya tiba-tiba. Semakin bingung saja aku dibuat anak ini. "Apa ini?" tanyaku saat melihat aplikasi recorder yang ia suguhkan padaku melalui ponselnya. "Sekarang, kau rekam saja suaramu." "Untuk apa? Kau tahu kan aku bukan penyanyi?" "Siapa pula yang memintamu untuk bernyanyi? Ini sebagai jaminan bahwa kau benar-benar akan melakukan apa yang aku mau setelah kau mendapat info tentang sahabatku." Kunaikkan sebelah alisnya. "Apa kau berencana untuk mengurasku?" "Kalau aku jahat, aku mungkin akan melakukannya." "Lalu mengapa harus dengan cara begini? Apa kau tidak percaya padaku?" Alia tampak membuang napas kasar. "Nobel, aku bukannya tidak percaya padamu-" Belum sempat Alia menyelesaikan ucapannya, kuulurkan tanganku menjentik tepat di
Di toko ice cream, terlihat di dalamnya dominan dipenuhi oleh gadis-gadis seusia Alia. Adapun laki-laki, kebanyakan bernasib sama denganku; hanya memenuhi keinginan gadis yang tengah bersama mereka."Alia, kenapa lama sekali? Ini hanya perkara ice cream, Alia." Ucapku dengan suara yang setengah berbisik. Kulihat Alia tak menanggapi ucapanku. Gadis itu justru asik memilih ice cream seraya berbincang tipis-tipis dengan gadis lain di sebelahnya. "Alia, ayo, cepatlah! Ini sudah jam berapa." Ucapku menuntut."Nobel, tolong sabar sebentar. Aku harus memastikan bahwa ice cream yang kupilih benar-benar tak membuatku kecewa nantinya. Aku harus memikirkannya dengan baik. Jadi kuharap, kau bersabarlah!""Ck! Dia berucap seperti itu seakan ia tengah memilih pasangan hidup, padahal ia hanya tengah berkutat dengan varian ice cream. Dasar wanita!"Aku mengomel pelan seraya berjalan kembali ke kursi tunggu. Dan kini, pria yang menunggu di tempat itu semakin bertambah saja. Apa perkara varian ice c
Ah! Mengapa dia selalu menyebalkan seperti ini?!Ucapannya membuat kerjaanku bertambah. Setelah ini, Alia pasti akan mencecarku dengan rentetan pertanyaan. "Dasar laki-laki aneh!" kesalku dengan geram. ***[Delyna, abang sudah di depan. Apa belnya masih lama?]Kubaca pesan dari kontak bernama 'Bang Ray yang diikuti emoticon bulan' melalui notifikasi ponselku.Kulihat jam tanganku sekejap. Masih ada kurang lebih 15 menit lagi menuju bel pulang sekolah. 'Apa Bang Raymoon tidak ke kampus hari ini?' pikirku sebelum membalas pesannya. Baru saja aku menyimpan kembali ponselku, Alia tiba-tiba menyikut lenganku. "Ntar mau ke toko ice cream dulu ga, Del? Dengar-dengar toko ice cream di simpang lampu merah depan baru aja ngeluarin varian baru dan lagi ngadain promo juga." Alia terlihat excited mengajakku. Aku berpikir sejenak. Tidak mungkin aku mengiyakan ajakan Alia, sedangkan Bang Raymoon sudah menungguku di depan. "Aduh... gimana ya, Lia, masalahnya Bang Ray sudah di depan. Udah nunggu
WOI!!! ARRRGHHH! APA-APAAN?!Senyuman lebar yang ditampilkan Nobel seolah memang sengaja untuk membuatku kesal. Dan senyuman itu ia tunjukkan bersamaan dengan lototan tajam yang kuberi dan pekikan terkejut dari Alia. Alia yang sedari tadi bertahan hanya sebagai penonton pada akhirnya angkat bicara. "What? Hei, sebentar sebentar, apa aku tidak salah dengar, nih? Kalian berdua sejak kapan resmi begini?"Aku menggelengkan kepalaku sembari memajukan kedua tanganku membentuk silang. "Ya ampun, Delyna Alicia, kenapa bisa berita bahagia seperti ini tak kau beritahu padaku? Apa aku tidak sepenting itu bagimu?"Mulai lagi drama manusia satu ini, pikirku.Belum selesai, Alia kembali berucap. "Padahal kalau aku tahu tentang ini, aku pasti tak akan mendukung Kak Niel untuk mendekatimu seperti tadi."Panjang lebar Alia berucap membuatku benar-benar ingin menenggelamkan anak itu ke kolam ikan sekolah.APA TIDAK BISA SEHARI SAJA MULUTNYA ITU DI-REM? SANGAT MEREPOTKANKU!Kulihat wajah jahil Nobel de