LOGIN"Gue gak mau tidur bareng sama Om, jadi om tidur aja di sofa, atau Om tidur aja di lantai sana! Atau mau dimana pun juga terserah, yang pasti gue gak mau tidur bareng!"
Davin sangat terkejut, baru saja keluar dari kamar mandi dalam keadaan segar dan merasa lebih baik. Namun tiba-tiba saja dikagetkan dengan bantal serta selimut yang berserakan di bawah lantai sana. Davin hanya bisa melongo kala melihatnya. Apalagi saat dia mendengar suara istrinya yang berseru sembari menatapnya tajam diatas tempat tidur empuk itu. "Apa maksud kamu?" Tanya Davin yang sama sekali tidak mengerti dengan tingkah laku istrinya itu. "Kurang jelaskah? Gue bilang tadi kalau gue gak mau tidur bareng sama lo! Inget ya Om, gue gak cinta sama lo, gue gak punya perasaan sama sekali! Dan jangan harap kalau kita akan tidur bareng. Malam ini gue tidur diatas ranjang, sedangkan om tidur aja di bawah atau di sofa. Terserah mau dimana pun yang penting gak tidur di ranjang yang sama!" Ujarnya dengan penuh penekanan. Davin menghela nafasnya dengan panjang. Dia tidak akan pernah menduga kalau hal ini akan terjadi, dia pikir meski pun di jodohkan, semuanya akan berjalan layaknya suami istri pada umumnya. Namun sepertinya Davin lupa kalau wujud perempuan yang dia nikahi ini memiliki sifat seperti anak kecil yang belum dewasa sama sekali. "Kenapa liatin gue kek gitu? Lo gak suka kah?" Sungut Rara yang terlihat kesal ditatap seperti itu oleh suami omnya itu. Perlahan Davin menyimpan handuk kecil yang tadi dia gunakan untuk mengeringkan rambut basahnya, dia berjalan menghampiri Rara yang masih anteng duduk diatas ranjang sana. Perlahan juga dia mulai menaiki ranjang tersebut dengan tatapannya yang tidak lepas sama sekali dari istri kecilnya itu. "Eh eh jangan macam-macam ya! Turun gak!" Rara terlihat takut, kedua tanganya langsung meremas kuat sprei kasurnya itu dengan tatapan matanya yang terlihat panik kala Davin terlihat semakin dekat padanya. "Om, jangan macam-macam!" Kedua mata Rara sontak terpejam kala wajah Davin tiba-tiba begitu dekat dengannya. Pria dewasa itu tiba-tiba mendekatkan dirinya, bahkan sangat dekat sampai tetesan air dari rambut miliknya menyentuh paha Rara yang terlihat karena celana pendek yang dia kenakan naik ke atas. Davin terlihat mengurung tubuh kecil Rara dengan kedua tangannya, dia terus memperhatikan bagaimana wajah takut Rara saat dia sedekat ini. Istrinya tampak sangat menggemaskan, dia benar benar menggemaskan seperti anak kecil. Tidak ada pergerakan apa pun, Rara merasa kalau sepertinya aman. Perlahan dia pun membuka kedua matanya, namun ternyata dia masih di kejutkan dengan kondisi suaminya yang masih pada posisinya. "Kenapa? Takut?" Tanya Davin sembari tersenyum meremehkan. "Takut ya sama saya?" Rara merasa sangat di remehkan, dia mencoba untuk mendorong tubuh Davin supaya menjauh darinya, tapi sayangnya Davin tidak melakukan itu, dia justru tetap tenang pada posisinya yang begitu dekat dengannya. Bahkan dia bisa mencium aroma sampo pada rambut milik istrinya itu. Aromanya berupa bau stoberi. Ah, cukup menenangkan saat dia menciumnya. "Kalau om macam-macam sama saya, saya gak akan segan-segan buat teriak!" Ancamnya. Sontak Davin terkekeh renyah kala mendengar perkataan istrinya yang terdengar cukup aneh, "Siapa yang akan datang kalau seandainya mereka mendengar teriakan kamu? Tidak akan ada yang datang Rara, karena kita sudah suami istri, mereka justru akan bahagia kalau mendengar suara teriakan kamu." Benar juga, apa yang dikatakan pria dewasa itu ada benarnya. Kalau Rara berteriak tidak akan ada yang datang. Justru semua keluarganya akan merasa bahagia karena mereka akan menduga kalau Rara dan suaminya tengah melakukan sebuah kewajiban yang dilakukan oleh suami istri. Ah sayang sekali, Rara tidak punya tenaga untuk mengancam Davin. "Ra," panggil Davin, perlahan dia semakin mendekatkan dirinya pada istri kecilnya itu. Rara terlihat semakin takut, dia mencoba untuk mundur dan menghindar Davin. Semakin dekat Rara semakin ketar ketir, dia semakin panik, dan remasan pada spreinya semakin menguat! Dia belum siap, dia tidak ingin melakukan itu tanpa cinta. Dia ingin melakukan itu dengan cinta dan sayang, bukan paksaan seperti ini. Karena itu akan menyakitinya. "O-om.... Jangan macam-macam aku bilang--" Bruk "Aduh." Spontan Rara hampir terjungkal ke belakang kala bantal yang setengah dia duduki dibawah itu di tarik paksa oleh tangan besar milik suaminya. "Saya mau mengambil bantal yang ini, karena bantal ini lebih empuk dibanding bantal yang kamu berikan pada saya!" Ujar Davin. Setelah berhasil mengambil bantal yang dia inginkan, dia langsung turun dari ranjang empuk tersebut sembari mengambil selimut tipis yang di lempar oleh istri kecilnya yang nakal itu. "Hah?" Rara masih terdiam, dia benar benar syok. Semakin syok lagi kala dia tak menyangka kalau ternyata Davin tidak berniat untuk memaksanya, tapi dia hanya ingin mengambil bantal yang di ada di bawah pinggulnya. Oh ya ampun, Rara hampir saja berpikir yang tidak-tidak. Tapi syukurlah, meski pun Cara suaminya itu cukup menyebalkan, tapi dia merasa lega kalau suaminya tidak akan menyentuhnya sebelum izin darinya. Perlahan Rara memperhatikan bagaimana Davin pergi ke arah sofa yang tidak terlalu panjang. Bisa Rara pastikan kalau kaki Davin pasti akan sakit atau mungkin badan-badannya juga pasti akan sakit. Ah, kenapa Rara memikirkan hal itu? Tidak, Rara tidak perlu peduli pada suaminya itu. Tidak peduli mau badannya sakit-sakit atau kakinya pegal. Itu bukan urusan Rara. Dengan cepat Rara mengambil bantal yang sempat diberikan pada Davin, lalu setelah itu dia berbaring membelakangi suaminya dengan selimut tebalnya yang dia tarik hingga ke pundak. Sebelum Davin berbaring, dia mengganti lampu nya menjadi lampu tidur. Lalu setelah itu, dia langsung membaringkan tubuhnya diatas sofa yang terasa kecil untuk tubuhnya yang besar, dan sangat pendek untuk kakinya yang panjang. Namun meski begitu Davin tidak mengeluh sama sekali, dia menerimanya. Karena mau bagaimana lagi? Davin mana mungkin tidur di lantai yang dingin itu. Perlahan dia melirik ke arah istrinya yang tidur membelakanginya, dia tersenyum geli melihat tubuh kecil yang tertutup oleh selimut tebal itu. Istrinya itu cantik tapi terkadang dia juga menyebalkan, apalagi jika dia memanggilnya Om. Dia tersinggung tapi sekali gus merasa lucu dengan panggilan itu! Hanya karena mereka berbeda 6 tahun, istrinya menganggap kalau dirinya setua itu! Sekali lagi Davin katakan kalau dia tidak tua, dia masih sangat muda, umurnya bahkan belum sampai menginjak kepala 3. Namun ada-ada saja istrinya itu. "Selamat malam, Rara."1 minggu telah berlalu...Hari ini adalah hari libur, rencananya hari ini Rara akan membeli kebutuhan selama sebulan di rumahnya bersama suaminya yang tidak bekerja di hari libur ini. Tadinya mereka berniat untuk bermain keluar, tapi Rara menolak dengan mengatakan kalau hari libur ini dia ingin menghabiskan waktunya di rumah saja.Sebelum itu, Rara harus membeli kebutuhan keduanya selama sebulan nanti. Dan dengan senang hati suaminya akan mengantarnya. Semakin hari Davin semakin posesif padanya, Rara tidak dibiarkan untuk pergi sendiri, Davin harus selalu ikut kemana pun istrinya itu pergi.Sebelumnya Rara akan merasa risih karena terus menerus di ikuti oleh Davin. Tapi sekarang semuanya telah berubah, justru Rara pun merasa tak bisa jauh jauh dari suami tampannya. Dia merasa nyaman dan damai jika ada suaminya disampingnya.Sebisa mungkin Rara hanya ingin bersama Davin. Setiap Davin pergi bekerja, Rara akan merasa sedih, dia akan merasa kalau dia kesepian jika tidak ada Davin disampin
"Raisa, buka pintunya, kenapa kamu diam terus di kamarmu. Buka pintunya, nak. Kamu belum makan dari sejak kita pulang dari rumah sakit. Ini sudah malam, jangan sampai kamu telat makan, mamah takut kamu kenapa kenapa lagi, nak. Mamah mohon."Entah sudah keberapa kalinya Gina datang ke kamar putrinya sembari membawa nampan berisi makanan untuknya. Pasalnya sedari mereka pulang dari rumah sakit, Raisa tiba tiba mengurung dirinya di kamarnya dan tak keluar sama sekali, dia juga menguncinya sehingga membuat Gina sulit untuk masuk ke dalam kamarnya.Gina sangat cemas, baru saja dokter mengatakan kalau Raisa semakin pulih, tapi tiba tiba saja Raisa mogok makan. Bagaimana kalau seandainya kondisi Raisa kembali memburuk?"Nak, mamah mohon," pinta Gina sangat memohon.Namun tak ada jawaban sama sekali. Karena di dalam sana Raisa tampak tengah merenung di bawah lantai dingin dengan bersandar pada ranjangnya. Tatapan matanya yang kosong melirik ke luar jendela sana yang menampilkan rembulan malam
"Aku sudah menikah."Apa katanya? Sudah menikah? Sungguh, Raisa amat sangat terkejut mendengarnya. Tubuhnya sempat membeku dan debaran jantungnya terasa seperti berhenti kala merasa sangat terkejut dengan perkataan yang baru saja terlontar oleh mulut mantan kekasihnya yang dia rindukan itu."S-sudah menikah?" Raisa mencoba memastikan semuanya.Davin menganggukan kepalanya. Meski rasanya dia ragu mengungkapkan pernikahannya, tapi secara spontan dia mengungkapkan semuanya, dan kini dia pun tak sadar telah menunjukan cincin pernikahan yang terpasang di jari manisnya.Raisa menatap tak percaya pada cincin yang terpasang di jari manis milik Davin, ini benar benar mengejutkan. Rasanya ini seperti mimpi yang tidak pernah dia duga. Dia hanya tak menyangka kalau ternyata Davin menikah, dia pikir Davin tidak akan sampai menikahi perempuan lain.Apa yang Raisa harapkan? Apa dia berpikir kalau Davin akan menunggunya? Dan dia pikir apa Davin akan menikahinya? Raisa lupa, kalau hidup ini harus teru
Siang ini Raisa dan ibunya akan pergi ke rumah sakit untuk kontrol, meski Raisa sudah berhasil selamat dari penyakit yang hampir saja merenggut nyawanya itu, tetap saja Raisa harus melakukan kontrol rutin untuk menjaga kesehatannya tetap baik.Dan siang ini, Raisa dan ibunya baru saja sampai di rumah sakit tempat dimana dia akan kontrol. Keduanya telah memiliki janji, setelah mengantri hampir 30 menit, akhirnya namanya dipanggil dan detik itu juga dia dituntun untuk masuk ke ruangan yang dimana Dokter telah menunggu kehadirannya.Selama kontrol berlangsung Raisa tampak terlihat tenang, dia sama sekali tidak menunjukkan tanda tanda cemas atau pun takut. Namun dibalik itu sang ibu tampak sangat cemas, dia tak berhenti menggenggam erat tangannya sampai berkeringat. Raisa paham perasaan ibunya, karena penyakit yang dia derita membuat ibunya sudah tidak pernah menemukan ketenangannya lagi.Banyak sekali yang dibahas selama disana dan banyak sekali hal hal yang di periksa kembali, hingga ak
Dengan langkah yang tergesa-gesa Syera melangkah memasuki rumah sakit dengan heelsnya. Raut wajahnya terlihat sangat tak baik-baik saja, tampaknya ada sesuatu yang membuatnya merasa ada yang berbeda hari ini.Namunnya, bukannya pergi menuju ruangannya. Justru Syera malah melangkahkan kakinya menuju salah satu ruangan yang ada di lorong sana. Dengan mengetuk pintu beberapa kali, dia meminta izin pada pemilik ruangan itu untuk masuk, hingga akhirnya terdengar suara pemilik ruangan itu yang mengizinkannya untuk masuk."Davin," panggilnya.Davin yang baru saja memakai jas kedokterannya itu pun langsung berbalik dan menoleh ke belakang. Keningnya mengerut bingung kala melihat kedatangan Syera yang menurutnya terlalu pagi untuk menghampirinya."Kenapa?" Tanya Davin dengan kebingungan.Entah harus mulai dari mana dulu Syera bertanya, dia tampaknya masih sangat syok dan saat ini tengah mencoba untuk menenangkan dirinya."Kenapa Syer?" Tanya Davin sekali lagi."Aku masih syok Davin. Tapi apa k
"Raisa, tengah apa kamu malam malam di balkon sendirian? Masuk sayang." Gina menatap putrinya dengan raut wajahnya yang terlihat cemas kala melihat anak perempuannya duduk sendirian di ayunan balkon kamarnya dengan udara malam yang sangat dingin.Raisa menoleh sekilas pada ibunya sebelum akhirnya dia tersenyum, "Tidak Ma, aku tengah mencari udara segar. Sudah lama rasanya aku tidak menikmati udara segar seperti ini," balasnya.Gina menghela nafasnya panjang, "Kamu sangat merindukan suasana malam ternyata."Raisa menganggukan kepalanya, "Benar, aku sangat merindukan suasana malam dan suasana di luar sana. Semuanya terasa sangat berbeda, ada banyak hal yang berubah. Tapi aku merasa sangat senang, setidaknya aku masih diberi kesempatan untuk tetap melihat dunia luar. Setelah sekian lama aku berpikir kalau aku mungkin tidak akan melihat dunia luar lagi."Mendengar itu Gina merasa sangat sedih, dengan lembut dia mengusap tangan putrinya yang terasa dingin karena udara, "Mama juga sangat se







