Terjadi tragedi Mangga, Alden yang terlalu makan banyak buah mangga itu mengalami diare.
"Sudah aku ingatkan, tapi tuan tidak percaya."
"Sudahlah kau jangan banyak meracau. Mengapa kau tak diare Josh, bukan kah kau pun makan begitu banyak?"
"Oh perut aku nggak latah, tuan, sudah terbiasa dalam keadaan apapun."
'Hai! Kau pikir perutku latah juga karena kena diare!"
Bentakan dari Alden membuat Josh langsung menghentikan candaannya.
"Maaf, Tuan."
"Ah, kau ini. Bantu aku. Hari ini ada rapat, gunakan slide saja. Aku tinggal duduk dan prestasi. Usahakan rapat hanya 25 menit saja, paham!"
"Paham, Tuan. Apa sisa mangga perlu kita kembalikan lagi, Tuan?"
Alden langsung mendelik pada Josh.
***
Karena diare, Alden tak berangkat ke kantor hari ini, ini pertama kalinya dirinya hanya berdiam diri di rumah. Semua tugas kantor di serahkan pada Joshua.
Dari jam sembilan tadi, sudah hampir 20 lebih, Alden mondar-mandir ke toilet.
"Tuan, apa tak sebaiknya, kau ke rumah sakit?" tanya Rosa.
"Nggak, ah. Aku istirahat saja, sudah cukup. Aku malas datang ke rumah sakit."
"Apa, Dokter Gibran, suruh ke sini saja?"
"Tidak! Sudahlah, Rosa. Jangan paksa aku minum banyak obat. Aku tak mau bila setelah periksa, banyak obat yang harus aku minum. Lagian perutku ini sudah aku oles dengan minyak angin." sengit Aldan berpendapat.
Rosa tak banyak cakap lagi, setelah meletakan air teh hangat, dirinya segera meninggalkan kamar besar milik tuanya tersebut.
"Bagaimana keadaan anakku, Rossa?" tanya Nyonya Imelda.
"Tuan Alden tak mau periksa ke dokter, dia sudah minum obat untuk diarenya. Saat ini dia tak mau diganggu. Mau tidur saja katanya." jelas Rossa. Ada rasa khawatir di wajah seorang ibu. Namun Alden selalu menolak berbincang dengannya, sejak beberapa hari yang lalu, dirinya menuntut Alden untuk segera mencari calon istri.
"Ya, sudahlah. Mungkin Alden masih marah padaku, musabab aku menurutnya untuk segera menikah."
"Maafkan aku, Nyonya. Lebih baik saat ini, biarkan Tuan Alden mencari calonnya sendiri."
"Ah, betul sekali pendapatmu, Rossa, tapi ..."
Belum sempat, perbincangan berlanjut, ada sebuah suara mengangetkan mereka.
"Nyonya, Tuan Bimo datang, dia bersama ..."
"Selamat pagi, Mah," sapa sebuah suara dari seorang bernama Bimo. Lelaki muda berkumis tipis ini adalah anak dari adik suaminya. Karena sudah terbiasa hidup bersama, dia memanggil Nyonya Imelda dengan sebutan Mama.
Ada seorang gadis cantik di sampingnya.
Mau apa lagi, anak ini? Pikir Imelda. Rossa segera menyingkir dari samping majikannya.
"Mah, aku mau perkenalkan calon istriku, namanya Shetty. Kami hendak bertunangan." Bimo pun menggandeng wanita berwajah glowing itu ke hadapan Imelda.
"Kau ini, apa sudah kau pikirkan lagi? Kuliahmu sudah selesai, Nak?"
"Bulan depan aku wisuda, Mah."
"Syukurlah."
"Bersama Shetty pula, kami wisuda bareng."
"Wah, kabar gembira, selamat ya buat kalian berdua." Imelda pun memeluk mereka secara bergantian.
Imelda pun mengajak mereka duduk untuk minum kopi dan makan berbagai cemilan. Ternyata Shetty jago masak pula, dirinya keturunan dari Batak, jadi untuk urusan masakan Padang dia jagonya.
"Mah, aku minta doa restu."
Imelda tersenyum, teringat adiknya yang juga Mama dari Bimo, sudah meninggalkan dunia ini. Satu-satunya harapan keluarga untuk mengangkat derajat keluarga adiknya.
Dari lantai atas, terlihat Alden mengeryitkan dahinya. Melihat Bimo adik sepupunya, wanita mana lagi yang dikibulin hari ini.
Alden segera turun dari pintu samping menghindari bertemu dengan Bimo. Langkahnya panjang-panjang menuju gudang belakang. Ups. Ada yang menarik dari sekilas pandangannya.
Siapa dia? Ada wanita sedang mengupas kelapa! Hai ... Bukankah itu!
Alden langsung mendekati seseorang tersebut, namun dia melihat dari tempat yang tersembunyi.
Menikmati dengan puas, parasnya. Memandang setiap inci detail wajahnya. Terkadang Alden pun tersenyum sendiri. Teringat dirinya diare gara-gara terlalu makan banyak buah mangga yang dijualnya.
"Tuan Alden, ngapain ada di sini?!"
Sebuah suara mengagetkan Alden dan juga gadis tersebut. Keduanya saling pandang dalam jarak yang cukup jauh.
Kepala kebun tersebut, telah menyapanya hingga Tuannya tak mampu lagi mau bicara apa.
"Eh, anu .. saya mau ...ke sana." Sambil menunjuk arah dapur, Alden segera pergi dari tempat tersebut. Hatinya terasa sekali saat tatapan gadis itu menghujamnya tepat di jantungnya.
***
Pagi ini, keadaan Alden sudah cukup mendingan. Namun tiba-tiba, teriakan Nyonya Imelda membuat seisi rumah menjadi heboh.
"Ayah mertua, anfal. Bawa dulu ke rumah sakit."
"Baik, Nyonya," Joshua segera menyiapkan mobil untuk membawa Tuan besar.
Lagi-lagi, Alden ijin tak berangkat kerja. Wajah cemasnya tersirat, saat kakeknya terlihat kesulitan dalam bernapas.
Lima jam kemudian, keadaan kembali normal. Alden duduk di dekat pembaringan rumah sakit ini. Ditatapnya kakeknya.
"Kek ... Bangunlah. Ini Alden.'
Sunyi hanya ada suara mesin jantung saja.
Semua gusar. Terlebih Nyonya Imelda.
Alden harus secepatnya menikah!
***
"Ibu! Aku ..."
"Menurut saja, Nak. Kau tinggal pilih saja. Menikah hanya untuk menyenangkan kakekmu saja, Nak. Tak lebih. Aku tak mau dia kecewa. Yang ditunggu selama ini adalah melihatmu menikah."
"Ibu, aku tak punya calon. Lalu aku harus menikahi siapa!"
"Kita adakah calon istri untukmu, kau hanya memilihnya saja. Ibu punya banyak teman yang punya anak gadis. Mereka pilihan, tak mungkin ibu menyandingkan istri untukmu, wanita yang biasa-biasa saja."
"Ibu, aku ..."
"Malu? Nggak, Nak, kau cukup di balik layar saja. Ibu yang akan menyelesinya, bagaimana?"
Alden terdiam, baginya ide ibunya sangatlah keterlaluan, seperti lelaki yang kurang laku saja.
"Terserah ibu saja, asal kakek bisa pulih kembali, dan pulang ke rumah." ujar Alden dan segera meninggalkan ibunya sendirian. Ada senyum misterius di balik senyum Imelda.
Sore ini, terlihat mendung, wajah gelap sudah menghiasi langit.
"Nyonya, apa sebaiknya makan malam kita majukan saja. Lihat ..."
Dilihatnya, Alden sudah duduk menunggu makan malam di meja makan.
"Kau lapar, Nak?"
"Amat sangat, aku lapar sekali , Bu."
Tak biasanya, Alden berbuat seperti itu.
"Bu, Apakah syarat bisa menikah harus bisa masak?"
"Oh, tentu saja. Itu yang terpenting."
"Aku menikah dengan Rosa saja, kalau begitu."
Rosa kaget mendengar hal tersebut, laku tertawa.
"Apa kau mau menikahi perawan tua seperti aku, tuan?" katanya tergelak. Joshua yang sedang duduk membaca koran tertawa ngakak.
"Tuan, kenapa tak daftar biro jodoh saja."
"Diamlah, Josh. Kau tak perlu urun rembuk. Aku sudah ada dua kandidat, besok mereka akan berkunjung, kuharap kau jaga sikapmu, Alden."
Mendengar hal tersebut, Josh langsung terdiam, nyengir dan langsung menyingkir ke dapur.
"Siapa mereka, Bu?"
"Putri dari kolega Papamu dulu. Mereka pun tahu keluarga besar kita. Rasanya tak perlu menjelaskan terlalu panjang."
Dari dapur Joshua tetap mengawasi Tuan muda dan ibunya.
Laras terbaring diam, wajahnya pucat. Sakit lamanya kambuh lagi. Laras mengalami kekurangan sel darah merah. Tubuhnya teramat lelah dan lemas. Untuk membuka mata pun rasanya susah sekali. Tapi telinganya mendengar suara-suara di sekitarnya. Saat Dokter berkata banyak tentangnya. Ayah yang datang, lalu menangis, ada juga Joshua dan seseorang yang entah siapa terus menjaganya sepanjang malam."Bangunlah, Laras. Kau sudah aman sekarang." Sebuah suara membuat Laras ingin membuka matanya. Satu-satunya keinginannya adalah membuka ponsel Alden. Penasaran dengan nomor terakhir yang sempat Laras simpan dengan inisial 'N'.Pelan Laras membuka kelopak matanya, Lalu memejamkan mata kembali. Sinar lampu dalam ruangannya membuat matanya terasa sakit."Pelan-pelan saja, buka matamu."Suara seorang wanita hadir lagi, ah ... Ah suara siapa itu?Laras ikuti perintah itu, dan mencoba membuka matanya pelan. Sepi.Laras menatap atap berwarna putih, tembok putih dan ada alat infus pada tangannya.Mulut La
Di rumah besar, sedang duduk Imelda dan Annabel. Wajah gadis cantik itu tampak tidak senang dengan wanita di depannya."Mengapa Tante menyuruhku, kembali pulang? Padahal kemarin, aku dapat tugas, membuat anak babu itu nggak betah di rumah!""Kau mampu tidak? Aku bilang tanya pada ibumu, dia lihai dalam hal seperti ini.""Tante! Aku nggak mau pulang!""Kalau kamu gak mau pulang, nurut apa kataku. Tadi di rumah sakit kau saja tak bisa melawan anak babu itu!"Annabel mulai mendelik pada Imelda."Lalu apa yang harus aku lakukan?!" Sewotnya sengit."Kau harus mampu bersaing bukan hanya dalam merebutkan Alden, buat dia tak mampu dan tak bisa berkutik di depan suaminya paham.""Cari dan kulik dia, kesalahannya apa, bila tak ada buat kesahan ada padanya."Annabel, terdiam melihat sinis pada wanita di depannya. Imelda hanya tenang saja, "Mengapa? Kau marah padaku?" Sudah aku bilang, telepon ibumu, dan minta bantuan dia, agar bisa mengusir anak babu itu." Imelda pun berdiri, dan meninggalkan An
Laras menatap Alden yang tiba-tiba jatuh pingsan saat sudah sampai di rumah sakit.Lelaki yang baru saja semalam menjadi suaminya ini, terbaring dalam luka yang cukup serius, sedangkan dirinya hanya luka ringan pada sikunya. Ponsel Alden sudah aman dalam tas Laras. "Bangun, Alden .... Jangan buat aku jadi janda. Baru saja nikah tadi malam." kata Laras pelan dan mengembuskan napasnya kesal.Namun, Alden masih juga terdiam, dalam pikiran Alden ada seseorang yang memanggilnya dengan pelan. Alam bawah sadarnya terbawa ke masa kecilnya, di mana ayahnya, memeluk erat dirinya saat mobil yang ditumpanginya bermanuver. Hingga tubuh mereka terbentur dalam badan mobil.Tangan ayahnya melindungi kepala Alden dengan kuat. "Ayah, bangun yah!" teriak Alden kecil. Melihat ayahnya terbujur kaku.Beberapa benturan pun akhirnya mengenai kepala bagian kiri Alden. Malang tak dapat di tolak, Alden mengalami gegar otak ringan. Laras melihat suaminya tanpa berkedip. Membelai pipinya, dan tiba-tiba, mengecu
Joshua memandang tajam pada Laras begitu juga Alden."Lepaskan, sakit tahu!""Katakan darimana kau tahu?""Bukankah kau sendiri yang mengatakan padaku?""Kapan?""Saat ... Saat di pantai dulu."Keruyuk .. terdengar dari perut Laras. Alden menelan salivanya."Jalan Josh, kita cari rumah makan."Alden melepas tangan Laras. Dirinya pernah menceritakan tentang hal tersebut? Alden masih meraba-raba lagi ingatannya.Laras mengelus bekas cengkraman tangan Alden, ada bekas merah yang membuatnya meringis sakit."Maaf ..." bisik Alden pelan pada Laras.Laras mengangguk pelan.Joshua pun memasuki area rumah makan yang terlihat sedikit sepi. Mereka pun masuk, mengisi perut yang terasa lapar. Sementara itu, dalam rumah besar itu, duduk Imelda, sedang berusaha menghubungi seseorang berkali-kali."Tante, apa yang harus aku lakukan ..." Annabel cemberut."Buat, wanita hina itu tak betah di rumah ini, ibumu jagonya, tanyakan pada dia," jawab, Imelda masih terus sibuk dengan ponselnya."Mengapa harus t
Laras terdiam duduk di sudut pembaringan yang empuk. Namun hatinya tak tenang. Karena Alden yang terus menatapnya dari tadi dari sudut ruangan dimana Alden duduk di sebuah sofa besar. Bak seorang tawanan. Laras tak tahu lagi mau bicara apa. Dan akhirnya,"Aku mau berganti pakaian." lirih Laras berucap.Alden masih juga menatapnya dalam pandangan yang berbeda.Lebih baik aku katakan terus terang saja, batin Laras."Kau masih ingat perjanjian sebelum nikah kan?" "Perjanjian? Perjanjian yang mana? Sekarang aku saja bingung. Mengapa aku menikahimu. Tapi aku harus menikahimu, membingungkan bukan? Terus sekarang apa yang harus aku lakukan?" "Hah! Masih belum ingat toh," ucap Laras, seakan ada kesempatan untuk bisa menghindari sesuatu yang tak inginkan."Baik, sekarang aku mau berganti pakaian, jadi lebih baik kau keluar saja dulu.""Tapi, kau istriku aku ...""Saat ini jangan fikirkan hal tersebut. Aku mohon." Suara Laras merendah, agar sifat Alden yang sedikit arogan tidak kambuh lagi.T
Laras memperhatikan terus, lelaki yang marah-marah pada Vespanya. Laras hanya tertarik pada kamera jadul yang melingkar pada leher lelaki itu. Sepertinya dia pernah lihat seseoarang membawa dan memegang kamera mahal tersebut. Tapi di mana? Laras kecil sejak ibu pengasuhnya meninggal langsung ikut dengan bibinya di desa. Adik ayahnya inilah yang merawat hingga Laras dewasa, setelah dirinya mampu mandiri. Laras kini bersama ayahnya, menemani sekaligus harus dekat dengan ayah ini. Karena bibinya sudah meninggal. Mata Alden menatap Laras tak berkedip. Cewek ini terlihat biasa saja, tapi mengapa Alden merasa Pasti bahwa Laras adalah orang yang istimewa."Kau kenal dengan diam" tanya Alden"Tidak," Laras tersadar dan menjawab sambil menggelengkan kepalanya.Alden masih menikmati kopi dan rotinya. Kni giliran Laras yang memandang lelaki gagah di depannya. Sepertinya sebuah cerita rahasia yang Alden ungkapkan tempo hari pada Laras sebelum kecelakaan itu, masih terngiang di ingatan Laras. Apa