"Laras ..." panggil balik.
Mereka pun tertawa bersama, "Tidak usahlah, datang ke tempat ayah,"
"Aku ingin, ayah. Lihat aku buat makanan ini untuk Ayah."
Laras membuka bekalnya, dan terlihat makanan yang mengunggah selera.
"Laras apa aku, juga boleh makan?"
"Oh tentu saja , ayo ..."
Kebahagian yang membuat iri semua orang, Laras, besar bersama Ayahnya. Ibunya sudah meninggal, Laras dititipkan pada adiknya, kini sudah tumbuh besar dan menjadi gadis cantik yang periang dan tomboy. Akhir-akhir ini, dirinya membantu bibinya menjualkan buah-buahan.
"Ayah, aku pergi dulu, pasti bibi, sudah menungguku."
"Pergilah, hati-hati,' pesan Ayahnya.
"Baik, Ayah."
***
"Silakan Tuan, buah ini rasanya manis sekali. Berbeda dengan buah tetangga. Ini buah matang di pohonnya nggak pake karbit, Tuan. Silakan incipi yang sudah saya kupas ini." Tawar gadis itu dengan lihatnya. Lalu menyodorkan piring kecil berisi potongan buah mangga yang sudah terpotong kecil-kecil.
"Apa ini, bersih?" tanya lelaki yang dipanggilnya 'Tuan' tersebut.
"Jangan khawatir, bersih. Pakai tusuk gigi ini, Tuan. Dan ini bersih, bukan bekasan."
Dengan ragu lelaki itu menusukkan salah satu potongan mangga yang warnanya kuning pekat dan sangat mengiurkan itu, memasukkan pelan ke dalam mulutnya, mengunyahnya, lalu, tak lama menganggukkan kepalanya. "Manis ... Manis," gumamnya sambil tersenyum.
"Bungkusan aku lima kilo saja."
"Lima kilo, Tuan? Apa tidak kurang? Aku punya mangga itu hampir sepuluh kilo lebih, sayang kalau tidak dibeli semuanya. Apa lagi hampir semuanya matang di pohon loh."
"Baiklah, bungkuslah sepuluh kilo, dan bawa ke mobil Rolex warna hitam di sana yah, aku bayar di sana sekalian."
"Baiklah tuan." Dengan cekatan gadis itu memilih buah terbaiknya untuk Tuan pembeli pertama yang membelinya tanpa menawar harganya, bahkan di tak menanyakan harga buah mangga miliknya.
Sepeninggal lelaki itu, gadis bernama Ratih itu, menengok kiri dan kanan, mencari mobil Rolex hitam yang terparkir. Setelah tahu di mana mobil itu, segera gadis berparas imut, menaruh dua dus besar di atas trolinya. Mendorong pelan troli tersebut menuju mobil yang disebutkan tadi.
"Maaf, ini pesanannya, sepuluh kilo buah mangga, mohon dibayar, totalnya empat ratus ribu, Tuan." Ratih mengangkat dua dua tersebut dari trolinya.
Tuan yang memesan itu, langsung memberikan sejumlah uang yang disebutkan Ratih.
"Terima kasih, semoga hari ini, berkah untuk tuan, keselamatan selalu menyertai Anda." ucap Ratih dan menerima uang tersebut, segera pamit dan kembali ke tempat lapak jualannya lagi.
Dua dus besar itu sudah masuk dalam mobil hitam, dan melaju meninggalkan tempat tersebut. Dari dalam mobil, terlihat seorang Alden sedang tersenyum sendiri. Matanya tak pernah lepas melihat wanita penjual mangga tadi.
"Tuan, perintah sudah saya laksanakan."
"Kita, pulang. Kau boleh mengambil beberapa mangga itu, tapi tiga saja ya, semuanya milikku, bukankah aku juga yang membayarnya?"
"Iya, tuan." Terlihat bibir asisten tersebut mengerucut.
"Kalau mangga itu tidak manis, aku suruh kau kembalikan pada penjualnya, dan minta uangnya kembali!"
"Apa! Mana bisa begitu, Tuan. Kalau sudah beli ya, ada resikonya, bisa ada yang manis juga bisa ada yang masam, itu sudah alamnya, tak bisa dibantah."
"Kalau kau yang membantahnya, aku pecat."
"Iya, Tuan, maaf. Laksanakan."
Alden tersenyum, wajah penjual mangga itu , masih tersisa dalam ingatannya. Gadis tomboy yang menarik. Mengapa juga aku tertarik padanya? Begitu terus pertanyaan dalam batinnya.
***
"Mangga ini manis sekali, kau beli di mana Rosa.?"
"Tuan Alden yang membelinya, Nyonya."
"Tuan Alden, tidak biasanya, coba kau panggil dia ke sini."
"Baik Nyonya." Rosa, perempuan bertubuh sedikit gempal itu pun, melenggang pergi meninggalkan ruangan makan.
Dalam kamar, Joshua, sang Asisten pribadi Tuan Alden, kewalahan mengupas mangga.
"Tuan, ini sudah yang ke dua puluh loh, perut anda amankah?"
"Aman, Josh. Kupaskan lagi untukku, lagian aku makan, kau pun ikut makan, bukan?"
Ah ... Joshua kembali mengupas mangga lagi.
Tak lama terdengar ketukan pintu.
Joshua segera membuka pintu kamar Alden, terlihat Markus berdiri dan membungkuk sopan pada Joshua.
"Masuklah Markus." Joshua segera menarik tangan Markus segera masuk.
"Bantu aku bawa mangga ini ke bawah, bagikan pada karyawan dapur." Lalu, Joshua memberikan satu kantong besar berisi mangga yang ukurannya besar-besar. Sesaat kemudian, Joshua pun secepatnya, menarik kembali, tangan Markus untuk segera pergi dari kamar Alden.
Markus dengan bungkusan besar ditangannya, hanya bengong saja atas perlakuan rekan seniornya tersebut. Segera dirinya meninggalkan tempat tersebut. Dirinya tersenyum melihat buah-buah yang super mengiurkan itu. Tak hanya sekali saja, Joshua sering melakukan hal yang sama. Tuan Alden yang menyuruhnya. Terkadang makanan mahal ataupun beras yang harus di bagikan bersama karyawan bagian belakang, yang tak kerap kali luput dari perhatian majikan.
"Joshua, mangga ini, sepertinya, enak untuk di jus." ujar Alden, mulutnya tak berhenti mengunyah buah manis tersebut.
"Iya, nanti aku buatkan untukmu , Tuan. Tapi, tidak untuk saat ini."
"Aku ingin duduk di teras, buatkan aku jus mangga, jushua. Nggak nanti, tapi sekarang." Alden segera bangkit dan berjalan ke arah balkon, duduk di sana, sambil angkat kakinya santai. Tak lepas dari kacamata hitamnya.
Joshua hanya menghela napasnya, "baiklah, Taun, tapi kalau anda diare, jangan salahkan aku," Joshua berseru, sambil membuatkan jus mangga. Kamar Alden yang super luas, mini barpun ada di dalam kamarnya.
"Aku tidak dengar , kau bicara apa, Josh."
"Ah, lupakan saja, Tuan. Ini jus anda, sudah siap." Joshua meletakan segelas jus buah mangga dengan serpihan es batu yang lembut.
Alden menyeruput minuman pesanannya."Hem seger sekali, manisnya pas.' puji Alden.
Joshua cuma mencerucut bibirnya, sambil menyedot jus mangga bagiannya.
"Josh!" panggil Alden.
"Saya, masih ada di sini Tuan, tak usah lah berteriak." jawab Joshua mendekati Alden dan duduk disebelahnya.
"Siapa suruh, kau duduk di dekatku! Josh!" cetus Alden ketus.
"Ih ..." Joshua segera berdiri lagi, dan membetulkan kursi yang barusan di dudukinya.
Joshua sudah terbiasa dengan sifat Alden, tapi dirinya betah walaupun arogannya minta ampun, tapi dari semua yang ada di rumah ini, Alden yang paling baik. Makanya Joshua sudah hampir tujuh tahun, menjadi asisten pribadi Joshua.
"Apa Ibu, menanyakan sesuatu?
"Tidak, Tuan."
"Ah, sudahlah, nggak akan bertanya bukan, paling begitulah .."
Joshua diam, memang begitulah sikap dan sifat Imelda. Joshua bersama Tuan Alden saat dirinya lulus Sekolah Dasar. Lalu Imelda menikah lagi, meninggalkan Alden dalam rumah tanpa Ayah, dan srorang kakek yang struk. Lalu, Rosa memgambil alih semuanya. Diambilnya pengasuh khusus untuk Tuan mudanya. Keunangan yang kocar-kacir karena harus melalui tanda tangan orang tertentu, Rosa memanfaatkan banyaknya pohon kelapa untuk dibuatnya, bisnis kecil-kecilan yang ternyata justru sangat menghasilkan, dari itulah Rosa mampu mengaji para karyawan di rumah besar milik majikannya. Namun, saat sedang menikmati hasilnya, Imelda datang kembali dengan membawa dua anak lelakinya, dengan alasan sudah tak punya apa-apa lagi. Dirinya berjanji akan merawat Alden dan ayah mertuanya dengan baik.
Semua berlalu dengan cepat, beberapa notaris mengungkapkan bahwa pemilik perusahan hanya milik Tuan Alden. Semua dalam bimbingan asisten terbaiknya yaitu Lucky.
Tapi, itupun baru bisa berkembang setelah mendepak adik kandung dari Ayah Alden, yaitu Om Ricard. Ayah dari Bimo. Ayah Bimo, meninggal karena over dosis obat-obatan terlarang. Bimo lalu tumbuh besar bersama Alden.
Semua rahasia perusahaan ada di tangan lucky, lelaki gaek, tapi mempunyai loyalitas tinggi pada majikannya.
Laras terbaring diam, wajahnya pucat. Sakit lamanya kambuh lagi. Laras mengalami kekurangan sel darah merah. Tubuhnya teramat lelah dan lemas. Untuk membuka mata pun rasanya susah sekali. Tapi telinganya mendengar suara-suara di sekitarnya. Saat Dokter berkata banyak tentangnya. Ayah yang datang, lalu menangis, ada juga Joshua dan seseorang yang entah siapa terus menjaganya sepanjang malam."Bangunlah, Laras. Kau sudah aman sekarang." Sebuah suara membuat Laras ingin membuka matanya. Satu-satunya keinginannya adalah membuka ponsel Alden. Penasaran dengan nomor terakhir yang sempat Laras simpan dengan inisial 'N'.Pelan Laras membuka kelopak matanya, Lalu memejamkan mata kembali. Sinar lampu dalam ruangannya membuat matanya terasa sakit."Pelan-pelan saja, buka matamu."Suara seorang wanita hadir lagi, ah ... Ah suara siapa itu?Laras ikuti perintah itu, dan mencoba membuka matanya pelan. Sepi.Laras menatap atap berwarna putih, tembok putih dan ada alat infus pada tangannya.Mulut La
Di rumah besar, sedang duduk Imelda dan Annabel. Wajah gadis cantik itu tampak tidak senang dengan wanita di depannya."Mengapa Tante menyuruhku, kembali pulang? Padahal kemarin, aku dapat tugas, membuat anak babu itu nggak betah di rumah!""Kau mampu tidak? Aku bilang tanya pada ibumu, dia lihai dalam hal seperti ini.""Tante! Aku nggak mau pulang!""Kalau kamu gak mau pulang, nurut apa kataku. Tadi di rumah sakit kau saja tak bisa melawan anak babu itu!"Annabel mulai mendelik pada Imelda."Lalu apa yang harus aku lakukan?!" Sewotnya sengit."Kau harus mampu bersaing bukan hanya dalam merebutkan Alden, buat dia tak mampu dan tak bisa berkutik di depan suaminya paham.""Cari dan kulik dia, kesalahannya apa, bila tak ada buat kesahan ada padanya."Annabel, terdiam melihat sinis pada wanita di depannya. Imelda hanya tenang saja, "Mengapa? Kau marah padaku?" Sudah aku bilang, telepon ibumu, dan minta bantuan dia, agar bisa mengusir anak babu itu." Imelda pun berdiri, dan meninggalkan An
Laras menatap Alden yang tiba-tiba jatuh pingsan saat sudah sampai di rumah sakit.Lelaki yang baru saja semalam menjadi suaminya ini, terbaring dalam luka yang cukup serius, sedangkan dirinya hanya luka ringan pada sikunya. Ponsel Alden sudah aman dalam tas Laras. "Bangun, Alden .... Jangan buat aku jadi janda. Baru saja nikah tadi malam." kata Laras pelan dan mengembuskan napasnya kesal.Namun, Alden masih juga terdiam, dalam pikiran Alden ada seseorang yang memanggilnya dengan pelan. Alam bawah sadarnya terbawa ke masa kecilnya, di mana ayahnya, memeluk erat dirinya saat mobil yang ditumpanginya bermanuver. Hingga tubuh mereka terbentur dalam badan mobil.Tangan ayahnya melindungi kepala Alden dengan kuat. "Ayah, bangun yah!" teriak Alden kecil. Melihat ayahnya terbujur kaku.Beberapa benturan pun akhirnya mengenai kepala bagian kiri Alden. Malang tak dapat di tolak, Alden mengalami gegar otak ringan. Laras melihat suaminya tanpa berkedip. Membelai pipinya, dan tiba-tiba, mengecu
Joshua memandang tajam pada Laras begitu juga Alden."Lepaskan, sakit tahu!""Katakan darimana kau tahu?""Bukankah kau sendiri yang mengatakan padaku?""Kapan?""Saat ... Saat di pantai dulu."Keruyuk .. terdengar dari perut Laras. Alden menelan salivanya."Jalan Josh, kita cari rumah makan."Alden melepas tangan Laras. Dirinya pernah menceritakan tentang hal tersebut? Alden masih meraba-raba lagi ingatannya.Laras mengelus bekas cengkraman tangan Alden, ada bekas merah yang membuatnya meringis sakit."Maaf ..." bisik Alden pelan pada Laras.Laras mengangguk pelan.Joshua pun memasuki area rumah makan yang terlihat sedikit sepi. Mereka pun masuk, mengisi perut yang terasa lapar. Sementara itu, dalam rumah besar itu, duduk Imelda, sedang berusaha menghubungi seseorang berkali-kali."Tante, apa yang harus aku lakukan ..." Annabel cemberut."Buat, wanita hina itu tak betah di rumah ini, ibumu jagonya, tanyakan pada dia," jawab, Imelda masih terus sibuk dengan ponselnya."Mengapa harus t
Laras terdiam duduk di sudut pembaringan yang empuk. Namun hatinya tak tenang. Karena Alden yang terus menatapnya dari tadi dari sudut ruangan dimana Alden duduk di sebuah sofa besar. Bak seorang tawanan. Laras tak tahu lagi mau bicara apa. Dan akhirnya,"Aku mau berganti pakaian." lirih Laras berucap.Alden masih juga menatapnya dalam pandangan yang berbeda.Lebih baik aku katakan terus terang saja, batin Laras."Kau masih ingat perjanjian sebelum nikah kan?" "Perjanjian? Perjanjian yang mana? Sekarang aku saja bingung. Mengapa aku menikahimu. Tapi aku harus menikahimu, membingungkan bukan? Terus sekarang apa yang harus aku lakukan?" "Hah! Masih belum ingat toh," ucap Laras, seakan ada kesempatan untuk bisa menghindari sesuatu yang tak inginkan."Baik, sekarang aku mau berganti pakaian, jadi lebih baik kau keluar saja dulu.""Tapi, kau istriku aku ...""Saat ini jangan fikirkan hal tersebut. Aku mohon." Suara Laras merendah, agar sifat Alden yang sedikit arogan tidak kambuh lagi.T
Laras memperhatikan terus, lelaki yang marah-marah pada Vespanya. Laras hanya tertarik pada kamera jadul yang melingkar pada leher lelaki itu. Sepertinya dia pernah lihat seseoarang membawa dan memegang kamera mahal tersebut. Tapi di mana? Laras kecil sejak ibu pengasuhnya meninggal langsung ikut dengan bibinya di desa. Adik ayahnya inilah yang merawat hingga Laras dewasa, setelah dirinya mampu mandiri. Laras kini bersama ayahnya, menemani sekaligus harus dekat dengan ayah ini. Karena bibinya sudah meninggal. Mata Alden menatap Laras tak berkedip. Cewek ini terlihat biasa saja, tapi mengapa Alden merasa Pasti bahwa Laras adalah orang yang istimewa."Kau kenal dengan diam" tanya Alden"Tidak," Laras tersadar dan menjawab sambil menggelengkan kepalanya.Alden masih menikmati kopi dan rotinya. Kni giliran Laras yang memandang lelaki gagah di depannya. Sepertinya sebuah cerita rahasia yang Alden ungkapkan tempo hari pada Laras sebelum kecelakaan itu, masih terngiang di ingatan Laras. Apa