Share

Bab 7. Terasa

Mata Alden mendelik pada ke dua adiknya, dirinya paling tidak suka pada sikap keduanya yang membuatnya berang. Tanpa penjelasan yang panjang. Alden meninggalkan mereka di kamarnya, begitu juga Markus.

Tomi dan Brendon cuma mendesah saja, lalu mereka pun, turun dengan gerutuan panjang. Kini mereka berkumpul, Nyonya besar, Alden, Tomi dan Brandon. Tomi memandang kakak tirinya yang duduk di ujung meja makan berukuran besar. 

"Kau tak terima dengan sikapku?" tanya Alden.

"Tidak, kak."

"Bagus! Aku harap nilai kalian untuk semester ini bagus dan patut dibanggakan."  Lanjut Alden, dan memulai memakan sarapannya.

"Baik, kak" jawab mereka hampir bebarengan.

"Bagus! Aku tak perlu banyak cakap untuk kalian berdua. Pesanku, jaga sikap dan perilaku kalian di rumah." 

Nyonya Imelda hanya diam saja,  atas kejadian yang baginya sudah terbiasa.Terkadang malah terjadi sebuah persilihan antara mereka.

"Apa kau tidak masuk kerja, Alden?" tanya ibunya.

"Tidak, Bu, hari ini, perutku masih agak mulas, siang nanti aku ke kantor." jawab Alden pelan "aku ingin istirahat sebentar, minum obat, jangan ganggu aku." Matanya tertuju pada kedua adiknya, yang sudah memulai sarapannya.

Alden meninggalkan meja makan besar tersebut.

"Ibu, ... " seru mereka mulai merengek pada ibunya. Tomy dan Brendon sangat manja pada Ibunya.

"Aku paling malas, bila harus dengar Alden berpetuah. Rasanya kepalaku pusing." Brandon melempar pelan sendoknya.

"Jaga sikapmu, Brendon. Hormati kakakmu! Itu untuk kebaikanmu. Apalagi beberapa surat peringatan kenakalanmu, di sekolah, mbuat kakakmu berang. Kau juga Tomi. Nilaimu hancur, kalau tak perbaiki lagi, kau akan tinggal kelas untuk kedua kalinya. Apa kau tak malu?"

"Ibu, mengertilah , aku mau pindah sekolah saja." keluhnya.

Nyonya Imelda hanya menggelengkan kepalanya, pasrah pada sikap mereka.

***

Laras mengerjakan semua pekerjaannya dengan benar. Bu Ira merasa puas, mendapatkan partner kerja yang tangkas dan gesit.

"Aku suka cara kerjamu. Besok krmbali lagi, nanti aku ajarkan banyak hal padamu. Nah, kau boleh pulang sekarang."

"Pulang, Bu. Bukankah ini baru jam dua siang? Apakah?"

Bu Ira tersenyum, "hari ini, pulang jam dua siang, besoknya pulang jam tiga siang menjelang sore, dan hari berikutnya, pulang jam lima sore. Sanggup?"

"Sanggup, Bu. Pasti." Laras berkata sambil tertawa kecil. Rasa bahagia, karena sudah pasti di terima kerja, walaupun hanya di bagian ofice girl saja.

Laras berjalan cepat-cepat, ingin bertemu dengan Ayahnya. Makanya, dia tidak langsung pulang, tapi berkunjung ke tempat ayahnya bekerja.

Lewat pintu belakang, dirinya menyapa Ayahnya yang sedang makan siang bersama seorang karyawan lainnya.

"Ayah!" panggil Laras.

Pak Pardi, Ayah Laras, langsung menenggok sumber suara tersebut.

"Laras, kemarilah, Nak." Tangannya melambai, Laras mendekat sambil tersenyum riang.

"Bagaimana hari ini?'

"Sukses, Ayah. Aku senang sekali. Pokoknya aku harus lebih baik lagi." jawab Laras semangat. Dia tak memberitahukan apa sebenarnya pekerjaannya. Asal halal, itu prinsipnya.

Laras meminta ijin pada Ayahnya, untuk meneruskan pekerjaan Ayahnya, yaitu mengupas kelapa. 

"Apa kau sudah makan , Laras?"

"Sudah, Ayah tenang saja."  Laras menggulung lengan bajunya, dan mulai menyumbat atau mengupas kelapa dengan alat serupa dengan linggis. Yang tertancap kuat pada tanah datar.

Tak jauh, Brendon menatap tajam semua kejadian tersebut. Tatapannya sangat berbeda. Ada senyum misteri dari sudut bibirnya.

Dari atas balkon belakang, Alden melihat Brendon tak senang. "jangan sampai kau membuatku marah, Brendon. Jangan sentuh gadisku." gumamnya pelan.

***

Pagi ini, di sebuah rumah yang sederhana, tinggallah seorang lelaki paruh baya, dengan brewok tipisnya, tangan lelaki itu, sedang membersihkan sebuah kamera kuno, yang hanrganya cukup mahal.

"Hem, lumayan .. " desisnya pelan.

Ruangan yang penuh dengan barang antik itu hampir bernilai jutaan. Lelaki bernama Hendro itu tersenyum sinis, " Kau masih saja cinta padaku ya ... bagus. teruslah dengan perasaanmu. "

Ternyata barang-barang tersebut di dapatnya dari Imelda. Barang -barang antik yang ada di rumah keluarga itu tergolong mahal, dan nampaknya saat mereka beli semuanya hampir buatan Luar negeri.

""Ah, ..." Diseruput ya kopi hitamnya. "Aku harus menyamar lagi bila tak begini, bagaimana wanita bodoh itu akan memberikan uangnya padaku, " katanya lagi sambil terkekeh  penuh kemenangan.

Gang yang sempit, dan dalam area kumuh, membuat rumah itu tak gampang ditemukan. Hendro adalah mantan suami Imelda. AAyah kandung dari Timmy dan Brandon. 

Lelaki yang umurnya sudah tak muda lagi itu, kerjaannya hanya mengereti uang Imelda. Dirinya harus berpura-pura menjadi lelaki bernama Agus. Brewoknya  membuat Imelda tak mengenalinya. Juga tubuh tambunnya yang membuat  paras wajahnya menjadi tak dikenali.

Siang menjelang sore, semburatnya menjadikan warna jingga di langit. Masih terduduk seorang yang merasa sedih wajahnya tampak mulai meratapi nasibnya yang malang.

"Aku tak tahu harus bagaimana lagi? Kau terlalu lama tertidur, aku tersadar anakku sudah dewasa. Sikapnya yang kekanakan membuatlu ingin terus memeluknya. "

Lelaki itu bicara sendiri di depan sebuah pusara penuh helaian bunga marah merah menyala.

"Sepertinya, akan ada sesuatu yang besar akan terjadi. "

Pak Pardi menghela napasnya panjang, tangannya membetulkan kembali letak-letak bunga mawar tersebut.

"Maaf aku tak bisa terlalu lama, aku pulang ya, " lututnya sudah sangat cape untuk terus menekuk. "Ah, aku sudah terlalu tua, apa aku masih bisa menggendong seorang cucu." katanya pada dirinya sendiri.

Warna langit kini semakin gelap.

***

"Aku merasak beda saat kintan datang ke rumah." Kata Imelda pada Rosa.

"Kintan? Ah , aku rasa gadis itu sudah benar-benar menjadi dewasa. Teman Tuan Alden dulu yang gemuk.dan menggemaskan."

"Aku ingin dia ..."

"Nyonya ... "

"Jangan ceramahi aku lagi, Rosa. Aku tak mau gadis itu tinggal menjadi menantu di rumah ini."

Lagi-lagi, Rosa hanya mengelus dadanya. Atas sikap Nyonya besarnya yang terlalu kelewatan. 

"Kau belum tahu siapa sebenarnya gadis itu, Nyonya. Kau akan terkejut nantinya." gumam Rosa pelan pada dirinya sendiri.

Rosa kembali ke dapur utama, di sana ada Denok, yang sedang sibuk membuat kue dan makanan untuk hidangan malam ini.

"Denok, aku ke dapur belakang, "

"Baik, Bibi Rosa , silakan."

Rosa segera melangkah pelan, sepanjang koridor rumah itu, Rosa melirik kanan dan kiri, ada seseorang yang terus mengawasi semua geraknya. Dirinya paham itu siapa. Beberapa langkah lagi dia akan sampai pintu dapur belakag. Rasanya Rosa ingin segera sampai dan masuk. Karena disanalah dirinya merasa aman dari sesuatu.

"Ah, syukurlah. Sampai juga aku di sini, ucapnya," dan segera duduk di sebuah kursi tua. Ada beberapa pekerja melihatnya dengan terpana, "Kau kenapa Rosa? Wajahmu pucat."

"Entahlah, akhir-akhir ini gerakku terasa tak bebas, ada yang selalu mengawasi ku."

"CCTV itu? Bukankah sudah di cabut semua?"

"Aku rasa itu semua bohong. Itu buka di cabut tapi di ganti, kamera itu masih ada, bahkan semakin banyak saja. Kau tahu? Barang-barang yang sering hilang? "

"Aku pernah melihatnya ada di kamar Nyonya besar!" bisik Rosa.

"Apa! Yang benar saja. Tapi seandainya dia, tidak salah lagi. Dulu tak ada kasus seperti ini, ah, seandainya Tuan Alden cepat menikah. Pasti semuanya akan berubah. Mengapa juga tak ada yang berani mengubah semua ini." sahut Elsa rekan Rosa dengan kesal.

"Bersabarlah, Elsa."

"Aku masih sakit hati padanya, saat aku ... difitnah mencuri, pintar sekali dia cari muka pada Nyonya Laura waktu itu." dengkus Elsa kesal. Kejadian 20 tahun yang lalu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status