Mata Alden mendelik pada ke dua adiknya, dirinya paling tidak suka pada sikap keduanya yang membuatnya berang. Tanpa penjelasan yang panjang. Alden meninggalkan mereka di kamarnya, begitu juga Markus.
Tomi dan Brendon cuma mendesah saja, lalu mereka pun, turun dengan gerutuan panjang. Kini mereka berkumpul, Nyonya besar, Alden, Tomi dan Brandon. Tomi memandang kakak tirinya yang duduk di ujung meja makan berukuran besar.
"Kau tak terima dengan sikapku?" tanya Alden.
"Tidak, kak."
"Bagus! Aku harap nilai kalian untuk semester ini bagus dan patut dibanggakan." Lanjut Alden, dan memulai memakan sarapannya.
"Baik, kak" jawab mereka hampir bebarengan.
"Bagus! Aku tak perlu banyak cakap untuk kalian berdua. Pesanku, jaga sikap dan perilaku kalian di rumah."
Nyonya Imelda hanya diam saja, atas kejadian yang baginya sudah terbiasa.Terkadang malah terjadi sebuah persilihan antara mereka.
"Apa kau tidak masuk kerja, Alden?" tanya ibunya.
"Tidak, Bu, hari ini, perutku masih agak mulas, siang nanti aku ke kantor." jawab Alden pelan "aku ingin istirahat sebentar, minum obat, jangan ganggu aku." Matanya tertuju pada kedua adiknya, yang sudah memulai sarapannya.
Alden meninggalkan meja makan besar tersebut.
"Ibu, ... " seru mereka mulai merengek pada ibunya. Tomy dan Brendon sangat manja pada Ibunya.
"Aku paling malas, bila harus dengar Alden berpetuah. Rasanya kepalaku pusing." Brandon melempar pelan sendoknya.
"Jaga sikapmu, Brendon. Hormati kakakmu! Itu untuk kebaikanmu. Apalagi beberapa surat peringatan kenakalanmu, di sekolah, mbuat kakakmu berang. Kau juga Tomi. Nilaimu hancur, kalau tak perbaiki lagi, kau akan tinggal kelas untuk kedua kalinya. Apa kau tak malu?"
"Ibu, mengertilah , aku mau pindah sekolah saja." keluhnya.
Nyonya Imelda hanya menggelengkan kepalanya, pasrah pada sikap mereka.
***
Laras mengerjakan semua pekerjaannya dengan benar. Bu Ira merasa puas, mendapatkan partner kerja yang tangkas dan gesit.
"Aku suka cara kerjamu. Besok krmbali lagi, nanti aku ajarkan banyak hal padamu. Nah, kau boleh pulang sekarang."
"Pulang, Bu. Bukankah ini baru jam dua siang? Apakah?"
Bu Ira tersenyum, "hari ini, pulang jam dua siang, besoknya pulang jam tiga siang menjelang sore, dan hari berikutnya, pulang jam lima sore. Sanggup?"
"Sanggup, Bu. Pasti." Laras berkata sambil tertawa kecil. Rasa bahagia, karena sudah pasti di terima kerja, walaupun hanya di bagian ofice girl saja.
Laras berjalan cepat-cepat, ingin bertemu dengan Ayahnya. Makanya, dia tidak langsung pulang, tapi berkunjung ke tempat ayahnya bekerja.
Lewat pintu belakang, dirinya menyapa Ayahnya yang sedang makan siang bersama seorang karyawan lainnya.
"Ayah!" panggil Laras.
Pak Pardi, Ayah Laras, langsung menenggok sumber suara tersebut.
"Laras, kemarilah, Nak." Tangannya melambai, Laras mendekat sambil tersenyum riang.
"Bagaimana hari ini?'
"Sukses, Ayah. Aku senang sekali. Pokoknya aku harus lebih baik lagi." jawab Laras semangat. Dia tak memberitahukan apa sebenarnya pekerjaannya. Asal halal, itu prinsipnya.
Laras meminta ijin pada Ayahnya, untuk meneruskan pekerjaan Ayahnya, yaitu mengupas kelapa.
"Apa kau sudah makan , Laras?"
"Sudah, Ayah tenang saja." Laras menggulung lengan bajunya, dan mulai menyumbat atau mengupas kelapa dengan alat serupa dengan linggis. Yang tertancap kuat pada tanah datar.
Tak jauh, Brendon menatap tajam semua kejadian tersebut. Tatapannya sangat berbeda. Ada senyum misteri dari sudut bibirnya.
Dari atas balkon belakang, Alden melihat Brendon tak senang. "jangan sampai kau membuatku marah, Brendon. Jangan sentuh gadisku." gumamnya pelan.
***
Pagi ini, di sebuah rumah yang sederhana, tinggallah seorang lelaki paruh baya, dengan brewok tipisnya, tangan lelaki itu, sedang membersihkan sebuah kamera kuno, yang hanrganya cukup mahal.
"Hem, lumayan .. " desisnya pelan.
Ruangan yang penuh dengan barang antik itu hampir bernilai jutaan. Lelaki bernama Hendro itu tersenyum sinis, " Kau masih saja cinta padaku ya ... bagus. teruslah dengan perasaanmu. "
Ternyata barang-barang tersebut di dapatnya dari Imelda. Barang -barang antik yang ada di rumah keluarga itu tergolong mahal, dan nampaknya saat mereka beli semuanya hampir buatan Luar negeri.
""Ah, ..." Diseruput ya kopi hitamnya. "Aku harus menyamar lagi bila tak begini, bagaimana wanita bodoh itu akan memberikan uangnya padaku, " katanya lagi sambil terkekeh penuh kemenangan.
Gang yang sempit, dan dalam area kumuh, membuat rumah itu tak gampang ditemukan. Hendro adalah mantan suami Imelda. AAyah kandung dari Timmy dan Brandon.
Lelaki yang umurnya sudah tak muda lagi itu, kerjaannya hanya mengereti uang Imelda. Dirinya harus berpura-pura menjadi lelaki bernama Agus. Brewoknya membuat Imelda tak mengenalinya. Juga tubuh tambunnya yang membuat paras wajahnya menjadi tak dikenali.
Siang menjelang sore, semburatnya menjadikan warna jingga di langit. Masih terduduk seorang yang merasa sedih wajahnya tampak mulai meratapi nasibnya yang malang.
"Aku tak tahu harus bagaimana lagi? Kau terlalu lama tertidur, aku tersadar anakku sudah dewasa. Sikapnya yang kekanakan membuatlu ingin terus memeluknya. "
Lelaki itu bicara sendiri di depan sebuah pusara penuh helaian bunga marah merah menyala.
"Sepertinya, akan ada sesuatu yang besar akan terjadi. "
Pak Pardi menghela napasnya panjang, tangannya membetulkan kembali letak-letak bunga mawar tersebut.
"Maaf aku tak bisa terlalu lama, aku pulang ya, " lututnya sudah sangat cape untuk terus menekuk. "Ah, aku sudah terlalu tua, apa aku masih bisa menggendong seorang cucu." katanya pada dirinya sendiri.
Warna langit kini semakin gelap.
***
"Aku merasak beda saat kintan datang ke rumah." Kata Imelda pada Rosa.
"Kintan? Ah , aku rasa gadis itu sudah benar-benar menjadi dewasa. Teman Tuan Alden dulu yang gemuk.dan menggemaskan."
"Aku ingin dia ..."
"Nyonya ... "
"Jangan ceramahi aku lagi, Rosa. Aku tak mau gadis itu tinggal menjadi menantu di rumah ini."
Lagi-lagi, Rosa hanya mengelus dadanya. Atas sikap Nyonya besarnya yang terlalu kelewatan.
"Kau belum tahu siapa sebenarnya gadis itu, Nyonya. Kau akan terkejut nantinya." gumam Rosa pelan pada dirinya sendiri.
Rosa kembali ke dapur utama, di sana ada Denok, yang sedang sibuk membuat kue dan makanan untuk hidangan malam ini.
"Denok, aku ke dapur belakang, "
"Baik, Bibi Rosa , silakan."
Rosa segera melangkah pelan, sepanjang koridor rumah itu, Rosa melirik kanan dan kiri, ada seseorang yang terus mengawasi semua geraknya. Dirinya paham itu siapa. Beberapa langkah lagi dia akan sampai pintu dapur belakag. Rasanya Rosa ingin segera sampai dan masuk. Karena disanalah dirinya merasa aman dari sesuatu.
"Ah, syukurlah. Sampai juga aku di sini, ucapnya," dan segera duduk di sebuah kursi tua. Ada beberapa pekerja melihatnya dengan terpana, "Kau kenapa Rosa? Wajahmu pucat."
"Entahlah, akhir-akhir ini gerakku terasa tak bebas, ada yang selalu mengawasi ku."
"CCTV itu? Bukankah sudah di cabut semua?"
"Aku rasa itu semua bohong. Itu buka di cabut tapi di ganti, kamera itu masih ada, bahkan semakin banyak saja. Kau tahu? Barang-barang yang sering hilang? "
"Aku pernah melihatnya ada di kamar Nyonya besar!" bisik Rosa.
"Apa! Yang benar saja. Tapi seandainya dia, tidak salah lagi. Dulu tak ada kasus seperti ini, ah, seandainya Tuan Alden cepat menikah. Pasti semuanya akan berubah. Mengapa juga tak ada yang berani mengubah semua ini." sahut Elsa rekan Rosa dengan kesal.
"Bersabarlah, Elsa."
"Aku masih sakit hati padanya, saat aku ... difitnah mencuri, pintar sekali dia cari muka pada Nyonya Laura waktu itu." dengkus Elsa kesal. Kejadian 20 tahun yang lalu.
Terjadi sebuah perdebatan sengit antara Alden dan Bimo . Keduanya dari perusahan yang berbeda, keduanya ingin menangkan tender besar. Alden menatap tajam pada Bimo. Sialan anak ini, benar-benar ingin menusukku dari belakang. Senyum seringai kesombongan ada pada bibir Bimo. Alden menutup meeting, tanpa ada hasil atau keputusan, meeting berikutnya, akan diadakan Minggu depan. Malam menjelang, Alden pulang. Tiba-tiba. "Rosa, aku ingin bicara dengan Ibu." "Baik, tuan." Tak lama, Imelda sudah duduk, menunggu anaknya ingin membicarakan sesuatu. "Tolong Bu, sekali ini jangan halangi aku, siapkan acara untuk aku melamar Laras." "Apa!" Imelda berdiri saling kagetnya. "Kau serius? Ibu sudah ..." "Jangan banyak bertanya Bu, aku ingin besok melamar Laras, bila perlu aku ingin menikah secepatnya, sebelum Bimo menikah." Ibunya kaget, namun masih terdiam. "Aku ingin bertemu, kakek." "Jangan! Dia baru saja istirahat, mohon, jangan diganggu." "Aku hanya ingin, ijin, padanya." "Nanti ibu
Markus memandang Denok, dan Rosa bergantian. Dirinya paham atas perilaku tersembunyi, bahkan ada hubungan terlarang. Siapa lagi kalau bukan dari Nyonya Imelda. "Pergilah, ke belakang, kau aman di sana Markus." "Aku akan tetap membongkar ketidak adilan ini, bibi Rosa. Bila ada sebagian dari mereka ada yang tersakiti. Terutama, Pak Pardi. Jangan sakiti orang baik itu." Rosa mengangguk, "aku tahu, Markus, stt, tolong pelankan nada bicaramu." Rosa pun menarik lengan baju Markus untuk keluar dari dapur utama. Markus menuruti saja perintah Rosa, saat tahu ada Nyonya Imelda ada di depan pintu dapur. "Markus! Apa yang kau lakukan di sini!?" "Maafkan dia, Nyonya. Dia hanya haus dan meminta segelas air. Makanya sekarang aku suruh dia pergi dari dapur utama." Markus segera permisi dan meminta maaf karena telah lancang masuk ke dapur utama, yang merupakan dapur khusus untuk orang rumah bukan dapur untuk pekerja rendahan macam Markus, yang hanya sebagai sopir cadangan saja. Markus berjalan
Terjadi sebuah perdebatan sengit antara Alden dan Bimo . Keduanya dari perusahan yang berbeda, keduanya ingin menangkan tender besar. Alden menatap tajam pada Bimo. Sialan anak ini, benar-benar ingin menusukku dari belakang. Senyum seringai kesombongan ada pada bibir Bimo. Alden menutup meeting, tanpa ada hasil atau keputusan, meeting berikutnya, akan diadakan Minggu depan. Malam menjelang, Alden pulang. Tiba-tiba. "Rosa, aku ingin bicara dengan Ibu." "Baik, tuan." Tak lama, Imelda sudah duduk, menunggu anaknya ingin membicarakan sesuatu. "Tolong Bu, sekali ini jangan halangi aku, siapkan acara untuk aku melamar Laras." "Apa!" Imelda berdiri saling kagetnya. "Kau serius? Ibu sudah ..." "Jangan banyak bertanya Bu, aku ingin besok melamar Laras, bila perlu aku ingin menikah secepatnya, sebelum Bimo menikah." Ibunya kaget, namun masih terdiam. "Aku ingin bertemu, kakek." "Jangan! Dia baru saja istirahat, mohon, jangan diganggu." "Aku hanya ingin, ijin, padanya." "Nanti ibu
"Gila! Menikah! A-ku ..." Laras terbata mendengar ajakan menikah dari Alden. "Kalau kau mau, kalau nggak diterima, kau tahu akibatnya bukan?" Alden menatap tajam pada Laras. Walau hatinya berharap wanita di depannya mau menerima permintaannya yang konyol. "Tuan ... Apa sebaiknya?" Joshua tak melanjutkan kata-katanya, tatkala tangan Alden menyuruhnya untuk diam. ""Aku hanya butuh kata trima atau tidak? Cukup itu saja, lalu kita menikah." Laras lagi-lagi hanya diam, perkataan ayahnya tempo hari masih terngiang, bila akibat menolak permintaan dari tuan muda ini. Namun, bukan Laras namanya, kalau tantangan seperti ini harus mundur. Kasih sayang pada Ayahnya lah yang menjadikan Laras harus menerima kesepakatan konyol ini. Laras mengangguk! "Bagus!" Alden langsung menjentikkan jarinya, "Joshua antar dia pulang, mobil aku bawa. Kau pesanlah greb untuk pulang." Tanpa banyak kata, Alden langsung membawa mobil itu pergi, meninggalkan Joshua , Asisten pribadinya dan Laras yang masih tak
Alden memandang Laras tak berkedip. Begitu juga Joshua. Dirinya pun kaget kalau Laras bekerja sebagai ofice girl khusus untuk lantai dua."Kau? Mengapa ada di sini?" tanya Josh."A-ku, aku kerja di sini, Tuan, sudah dua hari yang lalu. Maaf.""Josh, kau mengenalnya?" tanya Alden penuh selidik, sementara Lucky sibuk dengan berkasnya.Laras memandang Alden dengan bingung, apakah ini sebuah lelucon? Pikir Laras. Pandangan Laras seakan tak percaya, gampang sekali Tuan muda ini, mengajaknya menikah, lalu melupakan begitu saja, dan sekarang dihadapannya pura-pura tak mengenalku, batin Laras.Wajahnya ,menunduk tak paham akan semua ini. Jushua menunggu reaksi Tuan mudanya. Wajah kaku dan acuh tak acuh pada wanita di depannya, membuat Joshua ingin menjelaskan pada Tuannya tersebut, namun ... Tak lama, Laras pun pamit meninggalkan ruangan kerja milik Alden."Tuan Alden tak mengenal wanita tadi?""Tidak, tapi rasanya aku pernah mencium aroma ....""Aroma?" Lucky bertanya tak mengerti."Ah, bai
"Ayah!" Laras langsung memanggil ayahnya. Lihatlah."Ayah hanya bisa tergugu melihat begitu banyak belanjaan anaknya."Kau sudah gajian, Nak?""Ini, semua dari Alden, dan aku sekarang bekerja di kantornya.""Maksudnya? Kau ...""Iya, ternyata aku kerja di perusahaan Alden, lalu dia memindahkan tempat kerjaku yang tadinya aku ... a-ku." Laras tak melanjutkan kalimatnya. "Iya, magangnya sudah selesai jadi aku, sudah ditempatkan, dan aku bekerja pada Alden." jelas Laras berbohong."Lalu, ada hubungan apa, dia membelikan semua ini? Apakah ini, bertanda?"Laras langsung menyanggahnya, teringat sikap Alden yang berubah.'Tidak, Ayah. Tidak ada maksud apa-apa. Aku masuk dulu ke kamar." Laras segera membawa semua barang belanjaan itu.Dalam kamar, Laras bernapas lega. Pelan-pelan, Laras mencoba baju kerjanya, komplit dengan sepatu tinggi, dan tas bermerek mahal.Sementara itu, dalam kamar Joshua masih terus mendekati Alden."Tuan, apa tuan sudah teringat sesuatu? Sebelum kecelakaan yang meni
Joshua memesan sebuah greb dan membawa Laras pergi dari tempat tersebut. Joshua teringat kembali dengan sosok Annabel. Alden dan gadis itu tumbuh bersama. Annabel adalah anak sahabat Nyonya Imelda. Mereka sudah dijodohkan sejak kecil. Tapi, Alden tak pernah akrab ataupun akur dengan Annabel. Tapi wanita itu terus saja membayangi kehidupan Alden. Hingga saat dirinya harus melanjutkan sekolahnya di Belanda, tetap saja Annabel tak kurang akal. Tetap, mengikuti semua kehidupan Alden. Entah ini, kabar dari mana? Tiba-tiba, Annabel ada di sini. Apakah Nyonya Imelda yang menyuruhnya datang? Ataukah ada alasan yang lain?Joshua terus berpikir keras. Apa yang akan terjadi apakah, Alden akan terlihat atau lupa dengan Annabel?Laras, merasakan sakit hati. Sama sekali tak mengenal wanita itu, tapi dirinya merasa terhina. Apalagi menyebut dirinya, anak babu! Sepertinya, dia tahu banyak, tentang Laras dan Ayahnya."Siapa dia, Joshua?""Nanti aku jelaskan, Nona. Maaf tidak sekarang."Laras diam, tap
Alden terus menatap Laras yang duduk di hadapannya. Laras merasa jengah dan tak nyaman, saat mata tajam Alden terus menatapnya tanpa berkedip."Aku suka memandangmu, tapi apa yang aku suka? Aroma tubuhmu aku suka. Aku seakan terikat dengan pesonamu, siapa sebenarnya kamu?" tanya Alden sambil terus mengingat sesuatu.Laras terdiam, ingin rasanya Laras ungkapkan rahasia yang dulu pernah Alden ungkapkan antara mereka berdua saja. Akan tetapi bibir Laras terkunci rapat. Apakah betul amnesia itu akan hilang. Bila itu terjadi ? Apa Alden ingat rahasia besar yang diungkapkannya secara empat mata bersamanya."Tuan ..." Bisik Laras."Panggil aku Alden dulu kau panggil aku hanya nama bukan?""Tuan ...""Alden ... Al–den""Al den.." Laras berbisik lirih. Suaranya seperti tercekat, pasti kau sangat tersiksa Alden atas ingatan yang tak bisa kau jangkau.Cukup lama Laras memandang Alden, begitu juga Alden, yang sedang dalam taraf penyembuhan ingatannya itu. Secara perlahan, kepala mereka semakin