Gadis bernama kintan itu, tersenyum manis pada Alden. Gadis blasteran India dan indonesia itu mendekat pada Alden, dan mengulurkan tangannya. Alden tergugu melihat teman semasa SMP-nya kini berada di depannya. Penampilannya sungguh sangat berbeda, dulu tubuhnya yang tambun kini berubah menjadi langsing dan kulitnya putih bersih, perubahan pada fisiknya pun terlihat nyata, dengan buah dadanya yang membusung besar.
Akhirnya, Alden menyalami Kontan, dengan ragu-ragu. Ada firasat yang tidak enak atas kehadirannya.
"Sekali lagi, aku tanya, ada keperluan apa, kau kemari? Ada acara reuni?" Alden bertanya dengan egoisnya, tanpa basa-basi pada seorang wanita cantik macam Kintan.
Gadis berpakaian sopan itu, tersenyum, "Kau tak berubah, Alden. Masih saja angkuh seperti dulu. Aku pun baru tahu kalau kau belum punya pasangan. Ibumu yang memasang iklan, untuk jodohmu. Jadi ... Aku beranikan diri menemuimu. Maaf ..." serunya manja. Ada lirikan menggoda pada sudut matanya.
"Ish, kau ini, aku sudah punya calon isteri, tahu. Ibuku saja yang belum tahu." kata Alden, "Kau mau tahu, aku tunjukkan." Alden segera melangkahkan kakinya ke ruangan lainnya.
Joshua menjadi bingung, lalu memandang tamu di depannya, tanpa di komando keduanya pun mengikuti langkah Alden. Di tengah ruangan, Imelda melihat mereka berjalan cepat mengikuti Alden. Dirinya pun penasaran. Tak lama bergegas dirinya mengikuti pula langkah mereka.
Alden melihat, Laras sedang duduk agak jauh dari tempat duduk Ayahnya, tubuhnya berkeringat, karena baru saja membantu ayahnya mengupas kelapa. Langkah kaki panjang Alden mendekati Laras dengan pasti. Melihat ada lelaki yang mendekati, Laras berdiri, dengan secepat kilat, tangan Alden menyambar leher Laras pelan dan menariknya hingga mendekat dengan wajahnya, pandangan mereka saling beradu, sesaat kemudian, Alden mencium bibir Laras!
Semua yang ada di sana kaget dan terpukau apa lagi Imelda.
***
Apa lagi Josh!" teriak Alden pada Joshua yang sudah menahan tangannya.
"Apa bisa kau pikirkan lagi, Tuan?"
"Ini sudah aku pikirkan berbulan-,bulan, sampai aku rela sakit karena harus makan mangga jualannya."
Laras mendongak kaget, jadi ... Jadi ... Lelaki yang membeli tempo hari? Bahkan Laraspun tak mengenali sosok keluarga majikan Ayahnya.
"Sudah-sudah! Cukup drama hari ini, Alden! Kau selalu mencari alasan saja." Imelda sudah pusing melihat tingkah Anaknya. Apalagi pelukan Alden pada tubuh Laras sama sekali belum dilepaskan.
"Tapi, kali ini aku serius, Ibu, mengapa tak percaya padaku. Dia kurang apa? Dia cantik, dia elegan ... Dan tentunya ber- pendidikan, saya percaya wanita pilihanku sudah 'klop."
Imelda menghempaskan napasnya kasar, dan segera meninggalkan tempat tersebut.
Kintan, pelan mundur, dan segera pamit meninggalkan tempat tersebut.
Siang ini, semua berita pun gempar oleh ulah Alden tersebut. Beberapa awak dapur, sudah menanyakan pada Laras sebenarnya ada hubungan istimewa apa dengan Tuan mudanya.
"Laras, ceritakan pada Ayah, Nak. Ada apa sebenarnya?"
"Aku pun tak tahu, Ayah. Aku mengenalnya pun tidak, tahu namanya saja tidak."
Laras hanya diam. Mulutnya terkunci. Tak tahu harus bicara apa lagi.
"Namanya, Alden. Dia Direktur utama, perusahaan Pelita Harapan. Mempunyai beberapa anak perusahaan. Sorang pewaris tahta tujuh warisan. Dari moyangnya yang berada di Swiss."
Laras, terdiam, sungguh tinggi sekali derajatnya.
"Mengapa Ayah, mengangguk saat laki-laki itu melamar aku?"
"Aku percaya pada tatapa
"Kuharap kau setuju dengan pendapatku. Aku tak mau sesuatu yang buruk akan terjadi padamu, Nak. Kau belum tahu, bagaimana di luar sana. Ayah semakin renta, Nak."
'Ayah!" Laras memeluk Ayahnya.
***
"Kuharap, kau cabut keputusanmu itu, Alden!" teriak Imelda dalam kemarahan
"Tidak! Aku jatuh cinta padanya, Ibu."
"Apa! Apa yang menarik dari dia. Kau bahkan tidak tahu namanya, bukan?"
Alden terhenyak, yap, betul. Aku tak tahu nama gadis , pikir Alden terdiam, sambil garuk-garuk kepala.
"Aku tak mau tahu! Aku tetap akan menikahi dia. Dia yang bisa membuat aku tersenyum." Alden segera pergi ke kamarnya.
Di dalam sudah ada Joshua yang sudah menunggunya dari tadi.
"Namanya Laras, umur 17 tahun, saat ini dirinya sudah terdaftar di sebuah perguruan tinggi negeri, karena beasiswanya. Selalu peringat pertama di sekolahnya. Gadis yang tangguh, juara propinsi karateka sewaktu SMP. Ibunya sudah meninggal. Putri satu-satunya Pak Pardi tukang kebun kita."
"Bagus,"
"Pak Pardi, adalah orang kepercayaan Ayah Tuan muda besar, dulu. Sebelum Ayah Tuan Alden menikah dengan Ibu anda."
Alden sedikit terkejut, "Benarkah?"
Joshua mengangguk.
"Sangat menarik, jangan halangi aku untuk menikah dengannya."
Jushua hanya melengos saja, "Coba saja dekati dia."
"Betul juga Josh, aku harus dekati dia dulu," Alden memandang Asistennya dengan penuh arti. Ada tatapan rahasia antara mereka.
***
Sinar bulan malam ini, membuat siluet wajah Laras di keremangan malam. Hati segelap malam ini. Mengapa pula ada kejadian mendadak seperti tadi.
Laras mengigit bibirnya, ada rasa geli, saat bibir merah kenyal itu mengecupnya lembut, hingga dirinya terbuai dalam aroma blueberry di bibirnya. Ini pertama kalinya, ada lelaki yang menciumnya. Rasanya tak bisa digambarkan. Apalagi saat tubuhnya teramat dekat dengan dadanya yang hangat. Tinggi tubuhnya tepat diantara leher lelaki itu, Alden, Ya namanya Alden, batin Laras.
Dirinya merasa terpasung dalam perasaannya. Lagi-lagi, jiwa mudanya berontak. "Ayo saja, kalau kau berani mendekatiku, dan memelukku seperti itu lagi."
Laras sudah siap, baju setelan putih dan hitam, dikenakannya. Wajahnya dipoles sedikit dengan mikup. Ada harapan yang indah untuk masa depannya. Pasalnya. Wawancara ini, hanya ada satu orang yaitu dirinya saja.
Pekerjaan yang orang nggak bakal melamarnya. Hanya sebagai Office girl saja. Tapi, mengapa harus ada wawancaranya ya? Ah, mungkin saja tes untuk membuat kopi yang enak, atau harus punya atitdute yang baik. Laras tersenyum, aku pasti bisa mengatasi semuanya, katanya bermonolog.
"Ayah! Aku berangkat dulu! Ayah!?" Laras melihatnya ke dapur. Tak di dapati sosok Ayahnya. Hanya ada catatan kecil di atas sebuah kulkas. AYAH BERANGKAT KERJA LEBIH PAGI, NAK. ADA TAMU JAUH DATANG DI RUMAH MAJIKAN. Begitu pesan yang tertulis di selembar kertas .
Ah, Ayah ... Laras hanya mengembuskan napasnya. Ya, sudahlah. Inilah yang membuat Laras, terbiasa mandiri.
"Baiklah, Laras! Ayo, semangat kerja!" serunya di depan cermin.
Sesampainya di perusahaan itu. Laras tak tahu kalau perusahaan itu adalah kantor tempat di mana Alden bekerja.
Laras terus berdoa. Agar hari ini lancar dan aman-aman saja.
Laras masuk lewat tangga khusus karyawan. Dirinya bertemu dengan ibu Ira, yang akan mewawancarainya.
Seorang wanita berumur setengah abad. Wajah keibuan memberikan beberapa peraturan di perusaahan tersebut. Juga tentang tata krama, dan nama-nama karyawan di lantai 2. Laras harus hapal. Juga apa-apa saja yang harus di sajikan pada saat ada pertemuan atau meeting dadakan.
"Berarti aku langsung diterima kerja Bu? tanya Laras.
"Belum tentu, aku tes selama satu Minggu, bila kau bekerja dengan baik. Kau di terima di tempat ini."
Laras mengagguk, "aku lakukan yang terbaik. Maaf aku juga butuh bimbingan ibu," tutur Laras sopan.
Ibu Ira, mendekati Laras, dan membetulkan kerah bajunya, "Usahakan, pakai baju yang terbaik, harum dan tidak kusut. Bila sudah di terima, kau akan mendapatkan seragam kantor."
"Baik, Bu."
"Ikat rambutmu dengan rapi, bila perlu, gunakan garnet, agar tak ada sehelai rambutmu, jatuh mengenai makanan ataupun minuma yang akan di sajikan."
"Baik, Bu."
"Kini, aku akan mengajarkan beberapa makanan yang cepat saja. Juga minuman yang mereka suka." Bu Ira berjalan pelan menuju dapur yang bersih dan rapi.
"Tempat ini, harus bersih ya, jangan beraroma busuk."
"Baik, Bu."
Hari ini, Laras banyak belajar pada Ibu Ira. Hari yang melelahkan.
***
Di kamar yang luas, duduk dua orang pemuda tampan. Mereka dua adik tiri Alden. Kunjungan dua hari, dimanfaatkan mereka untuk pulang. Jamuan besar sudah disiapkan. Kebiasaan yang membuat Alden membencinya. Terlalu dimanja. Semua keperluannya serba terpenuhi. Alden menjadi tidak suka dengan sikap mereka.
"Tuan, apa anda tidak turun?" tanya Markus, pelayan yang akan melayani mereka setiap datang.
"Aku ingin makan di kamar saja, boleh?"
"Tapi, ibu dan kakak, tuan sudah siap di meja makan."
"Ah, aku jadi malas, pasti kita akan diceramahi oleh Alden." cakap Brendon.
"Betul, nasehatnya bikin aku muak!" timpal Tomi kesal.
"Tuan, sebaiknya turuti peraturan rumah. Ibu anda dan Tuan Alden, menunggu kalian." Nada tegas dari Markus untuk mereka.
"Hai! Markus kau hanya perkerja, mengapa pula memaksa kami. Cepat ambil sarapanku saja ke kamar! Aku malas turun." Brandon sudah membentak Markus.
Brak! Pintu kamar terbuka tiba-tiba, "jangan lakukan itu, Markus. Kalian mau turun atau tidak itu terserah. Tapi ingat, besok! jangan pulang ke rumah ini lagi. Hormati ibumu!"
Laras terbaring diam, wajahnya pucat. Sakit lamanya kambuh lagi. Laras mengalami kekurangan sel darah merah. Tubuhnya teramat lelah dan lemas. Untuk membuka mata pun rasanya susah sekali. Tapi telinganya mendengar suara-suara di sekitarnya. Saat Dokter berkata banyak tentangnya. Ayah yang datang, lalu menangis, ada juga Joshua dan seseorang yang entah siapa terus menjaganya sepanjang malam."Bangunlah, Laras. Kau sudah aman sekarang." Sebuah suara membuat Laras ingin membuka matanya. Satu-satunya keinginannya adalah membuka ponsel Alden. Penasaran dengan nomor terakhir yang sempat Laras simpan dengan inisial 'N'.Pelan Laras membuka kelopak matanya, Lalu memejamkan mata kembali. Sinar lampu dalam ruangannya membuat matanya terasa sakit."Pelan-pelan saja, buka matamu."Suara seorang wanita hadir lagi, ah ... Ah suara siapa itu?Laras ikuti perintah itu, dan mencoba membuka matanya pelan. Sepi.Laras menatap atap berwarna putih, tembok putih dan ada alat infus pada tangannya.Mulut La
Di rumah besar, sedang duduk Imelda dan Annabel. Wajah gadis cantik itu tampak tidak senang dengan wanita di depannya."Mengapa Tante menyuruhku, kembali pulang? Padahal kemarin, aku dapat tugas, membuat anak babu itu nggak betah di rumah!""Kau mampu tidak? Aku bilang tanya pada ibumu, dia lihai dalam hal seperti ini.""Tante! Aku nggak mau pulang!""Kalau kamu gak mau pulang, nurut apa kataku. Tadi di rumah sakit kau saja tak bisa melawan anak babu itu!"Annabel mulai mendelik pada Imelda."Lalu apa yang harus aku lakukan?!" Sewotnya sengit."Kau harus mampu bersaing bukan hanya dalam merebutkan Alden, buat dia tak mampu dan tak bisa berkutik di depan suaminya paham.""Cari dan kulik dia, kesalahannya apa, bila tak ada buat kesahan ada padanya."Annabel, terdiam melihat sinis pada wanita di depannya. Imelda hanya tenang saja, "Mengapa? Kau marah padaku?" Sudah aku bilang, telepon ibumu, dan minta bantuan dia, agar bisa mengusir anak babu itu." Imelda pun berdiri, dan meninggalkan An
Laras menatap Alden yang tiba-tiba jatuh pingsan saat sudah sampai di rumah sakit.Lelaki yang baru saja semalam menjadi suaminya ini, terbaring dalam luka yang cukup serius, sedangkan dirinya hanya luka ringan pada sikunya. Ponsel Alden sudah aman dalam tas Laras. "Bangun, Alden .... Jangan buat aku jadi janda. Baru saja nikah tadi malam." kata Laras pelan dan mengembuskan napasnya kesal.Namun, Alden masih juga terdiam, dalam pikiran Alden ada seseorang yang memanggilnya dengan pelan. Alam bawah sadarnya terbawa ke masa kecilnya, di mana ayahnya, memeluk erat dirinya saat mobil yang ditumpanginya bermanuver. Hingga tubuh mereka terbentur dalam badan mobil.Tangan ayahnya melindungi kepala Alden dengan kuat. "Ayah, bangun yah!" teriak Alden kecil. Melihat ayahnya terbujur kaku.Beberapa benturan pun akhirnya mengenai kepala bagian kiri Alden. Malang tak dapat di tolak, Alden mengalami gegar otak ringan. Laras melihat suaminya tanpa berkedip. Membelai pipinya, dan tiba-tiba, mengecu
Joshua memandang tajam pada Laras begitu juga Alden."Lepaskan, sakit tahu!""Katakan darimana kau tahu?""Bukankah kau sendiri yang mengatakan padaku?""Kapan?""Saat ... Saat di pantai dulu."Keruyuk .. terdengar dari perut Laras. Alden menelan salivanya."Jalan Josh, kita cari rumah makan."Alden melepas tangan Laras. Dirinya pernah menceritakan tentang hal tersebut? Alden masih meraba-raba lagi ingatannya.Laras mengelus bekas cengkraman tangan Alden, ada bekas merah yang membuatnya meringis sakit."Maaf ..." bisik Alden pelan pada Laras.Laras mengangguk pelan.Joshua pun memasuki area rumah makan yang terlihat sedikit sepi. Mereka pun masuk, mengisi perut yang terasa lapar. Sementara itu, dalam rumah besar itu, duduk Imelda, sedang berusaha menghubungi seseorang berkali-kali."Tante, apa yang harus aku lakukan ..." Annabel cemberut."Buat, wanita hina itu tak betah di rumah ini, ibumu jagonya, tanyakan pada dia," jawab, Imelda masih terus sibuk dengan ponselnya."Mengapa harus t
Laras terdiam duduk di sudut pembaringan yang empuk. Namun hatinya tak tenang. Karena Alden yang terus menatapnya dari tadi dari sudut ruangan dimana Alden duduk di sebuah sofa besar. Bak seorang tawanan. Laras tak tahu lagi mau bicara apa. Dan akhirnya,"Aku mau berganti pakaian." lirih Laras berucap.Alden masih juga menatapnya dalam pandangan yang berbeda.Lebih baik aku katakan terus terang saja, batin Laras."Kau masih ingat perjanjian sebelum nikah kan?" "Perjanjian? Perjanjian yang mana? Sekarang aku saja bingung. Mengapa aku menikahimu. Tapi aku harus menikahimu, membingungkan bukan? Terus sekarang apa yang harus aku lakukan?" "Hah! Masih belum ingat toh," ucap Laras, seakan ada kesempatan untuk bisa menghindari sesuatu yang tak inginkan."Baik, sekarang aku mau berganti pakaian, jadi lebih baik kau keluar saja dulu.""Tapi, kau istriku aku ...""Saat ini jangan fikirkan hal tersebut. Aku mohon." Suara Laras merendah, agar sifat Alden yang sedikit arogan tidak kambuh lagi.T
Laras memperhatikan terus, lelaki yang marah-marah pada Vespanya. Laras hanya tertarik pada kamera jadul yang melingkar pada leher lelaki itu. Sepertinya dia pernah lihat seseoarang membawa dan memegang kamera mahal tersebut. Tapi di mana? Laras kecil sejak ibu pengasuhnya meninggal langsung ikut dengan bibinya di desa. Adik ayahnya inilah yang merawat hingga Laras dewasa, setelah dirinya mampu mandiri. Laras kini bersama ayahnya, menemani sekaligus harus dekat dengan ayah ini. Karena bibinya sudah meninggal. Mata Alden menatap Laras tak berkedip. Cewek ini terlihat biasa saja, tapi mengapa Alden merasa Pasti bahwa Laras adalah orang yang istimewa."Kau kenal dengan diam" tanya Alden"Tidak," Laras tersadar dan menjawab sambil menggelengkan kepalanya.Alden masih menikmati kopi dan rotinya. Kni giliran Laras yang memandang lelaki gagah di depannya. Sepertinya sebuah cerita rahasia yang Alden ungkapkan tempo hari pada Laras sebelum kecelakaan itu, masih terngiang di ingatan Laras. Apa