Share

Bab 5 Semakin Benci

Fina langsung tergelak saat mendengar penuturan dari sang sahabat. Ternyata usaha Rena untuk kabur dari masalah benar-benar bukan pilihan yang tepat.

“Kamu yang sabar ya, Ren. Mau resign juga nggak bisa. Aku harus bantu apa?” Fina mengeratkan genggamannya pada tangan Rena.

Hanya helaan napas dan senyuman tipis sebagai jawaban dari pertanyaan tadi.

Gadis itu sebenarnya tak ingin meminta bantuan apapun. Dia hanya ingin sahabat lamanya mendengar isi hati yang takkan pernah ia sampaikan pada orang lain. Bahkan memang hanya Fina yang tahu kondisi dirinya hingga saat ini.

Rena menyeka air matanya, “Oh ya gimana persiapan pernikahan kamu? Ada yang kurang nggak? Kali aja aku bisa bantu. Maaf ya aku harus ke sini nyamperin kamu. Untung kamunya enggak sibuk.”

“Ih, kamu ini ya. Semua udah kuserahin ke WO. Kamu tinggal datang aja. By the way, Mas Arlan bilang kalo dia kenalan lama kak Bara loh. Mereka pernah terlibat kerja sama gitu.”

“Terus hubungannya sama aku apa?” tanya Rena acuh tak acuh.

Dia menyeruput kopi yang disuguhkan oleh karyawan Fina beberapa saat lalu.

“Pusing ‘kan sama masalah aku? Makanya enggak usah dipikirin. Aku cuma pengen cerita aja. Enggak lebih,” kata Rena saat melihat kerutan di dahi teman bicaranya.

Fina bergumam sesaat, “Kamu kapan ada niatan ke dokter lagi? Sampek sekarang kamu enggak pernah bahas MRI atau semacam terapi lain.”

“No, for what? Kayak ini lebih aman. Enggak akan ada yang bisa nyentuh aku walau naked sekalian. Bebas mau pake baju seminim apa, toh pas senjata mereka masuk bakalan kehalang sama segel permanen tubuh aku. Enggak bakalan dikerjain akunya,” kata Rena sambil tersenyum lirih.

“Ren, kamu —”

“It’s okay, Fin. Aku cuma cari kesenangan sendiri aja.” Rena beranjak ingin pamit undur diri.

“Jangan bilang kamu mau clubbing lagi,” ujar Fina seolah bisa menebak bagaimana situasi hati sang sahabat.

Rena hanya menjiwil hidung Fina dan berlalu begitu saja.

Jarak antara butik milik Fina dan Laura Club yang terlampau jauh tak membuat Rena mengurungkan niatnya. Kini gadis dengan rambut yang dibiarkan terurai itu sudah tiba di depan meja bar. Menyulutkan sebatang rokok lalu menghisapnya sedalam mungkin.

“Udah hampir sebulan enggak nongol, lagi ada masalah?” tanya seorang bartender yang sepertinya kenal betul watak sang pelanggan.

Gadis itu tak langsung menjawab, dia memilih untuk menikmati aroma nikotin dengan mata yang terpejam.

“Beer or cocktail may be?” tawar sang bartender saat melihat Rena memainkan kepulan asap dari rokoknya.

“No, besok pagi aku harus ngebabu. Long Island Iced Tea Mocktail,” katanya sambil tersenyum manis.

“Sweet banget,” decak sang bartender.

Rena hanya bergumam lalu mengerucutkan bibirnya. Selang beberapa saat kemudian sekawanan gadis menyapanya. Hah, baru saja dia duduk dan ingin menenangkan pikiran. Ada saja yang mengusik ketenangannya.

“Udah lama nggak ngedance bareng kita, Kak. Mumpung ada party si Deni nih,” cetuk salah satu di antara mereka.

Awalnya Rena menolak. Dia hanya meneguk minuman yang sudah disuguhkan oleh si bartender. Menyebalkan sekali para gadis remaja tanggung itu. Mereka terus saja merengek bagaikan bayi jika tak diangguki oleh Rena.

“Well,kasih kode gih ke DJ-nya,” titah Rena sambil meneguk habis sisa minumannya.

“Bill-nya kasih ke bokap Deni ya,” ujarnya lagi yang langsung diangguki oleh sang bartender.

Baru saja dia melangkah, tubuhnya langsung berbalik lagi. Beberapa lembar uang kertas kini sudah mendarat ke meja sebagai bayaran atas minumannya, “Just kidding, nih.”

Di sisi lain tampak Bara yang sedang duduk bersandar di balkon kamar. Pria itu tak menyangka jika sang mantan akan memiliki keberanian seperti sore tadi. Ada rasa senang karena berhasil menunjukkan kekuasaannya, namun di lain hal ada perasaan tak rela jika Rena menerbitkan senyum tak pantas pada pria yang sekarang berstatus investor tadi.

Sesaat kemudian ponselnya berdenting. Video dengan durasi singkat muncul dari tampilan pop-up layarnya.

[Saya nggak sengaja lihat Nona Rena di club ini, Pak.]

Bara mengerutkan dahinya usai menerima pesan dari David. Ternyata sang asisten yang tengah bersama dengan teman kencan wanitanya melihat keberadaan Rena dan segera melaporkan hal itu pada sang atasan. Entah mengapa dia ingin mengetahui reaksi Bara atas laporan barusan.

Rena terlihat santai tanpa beban saat meliuk-liukan tubuhnya bersama kawanan pelanggan yang ada di club itu. Sesekali dia mengibaskan rambut panjangnya hingga terlihat begitu menggoda.

“Dasar jalang. Aku semakin membencimu,” decak Bara dengan geramnya.

Keyakinannya untuk membalas kekecewaan pada Rena semakin kuat. Bahkan setelah isu negatif tentang Rena pun sudah didengar. Bara semakin kesal saat membayangkan bagaimana tubuh seksi Rena berada di bawah kungkungan manajer dan direktur yang katanya pernah menghabiskan malam bersama dengan mantannya. Semakin besar rasa benci yang tertanam di hati seorang Bara.

***

“Bacakan jadwal saya hari ini,” titah Bara tanpa melihat wajah Rena.

“Hari ini ada jadwal kunjungan ke Rossy Hotel. Membahas kerja sama untuk menjadi penyandang dana di acara santunan pekan depan. Selebihnya bertemu klien di kantor, Pak. Ada juga berkas yang harus ditandatangani. Sebentar, saya akan segera hadirkan ke hadapan Bapak,” terang Rena sembari terus menatap buku catatan kerjanya.

Sang GM mengangguk, “Tunda semuanya. Atur pertemuannya setelah makan siang. Saya ingin ke Rossy Hotel sekarang juga.”

Tak lupa Bara menerbitkan senyuman tipisnya karena berhasil mengubah air muka sang sekretaris.

“Kenapa?”

“Tapi, Pak. Kenapa Bapak tidak bilang kalau —”

Ucapan Rena terjeda saat sang GM otoriter itu tak menghiraukan kata-katanya. Menjadi bawahan tentu saja tidaklah menyenangkan kalau bekerja di bawah pimpinan orang seperti Bara. Apalagi ada maksud untuk membalaskan dendam. Sayangnya memang itulah yang dirasakan oleh Rena saat ini.

“Setengah jam lagi kalian akan ke Rossy Hotel, siapin berkas,” ketus Jenny usai menerima telepon di meja kerjanya.

Rena mendengus kesal, “Ih, ngeselin ya. Aku ‘kan masih atur jadwal meeting lagi. Semua jadinya berantakan.”

“Emang aku peduli. Nikmati aja kepusingan yang pernah aku rasain,” timpal Jenny sambil melanjutkan laporan kerjanya.

Benar kata Rena. Tugasnya memang terasa semakin berat. Bahkan berkali lipat menjenuhkan dari sepak terjangnya yang memulai karir dari seorang waitress.

Bara sudah bergumam di depan pintu ruangannya. Sang sekretaris belum lagi sempat menyeka peluhnya, namun sang GM sudah berjalan menuju pintu lift.

“Rasain,” cibir Jenny saat Rena menyambar tasnya.

Dengan napas yang terengah-engah gadis itu berhasil membuat pintu lift tak jadi tertutup. Dia berusaha menyungging senyuman untuk membuat sang GM kalah dengan akal bulusnya. Sengaja memang Bara memporak-porandakan jadwal hari ini. Apalagi kalau bukan untuk membuat Rena kewalahan.

Tak ada satu katapun yang keluar dari sang atasan maupun sekretarisnya. Hingga mobil hitam mewah itu berhenti di depan lobi hotel. Bara segera turun tanpa menunggu Rena yang sibuk menjinjing keperluan meeting mereka. Bahkan sekalipun pria pemilik tanda dimples di pipinya itu tak menoleh ke arah sekretaris.

“Rena, kamu ternyata.”

“Eh, ketemu Kakak lagi,” cengir gadis itu sambil mengulum senyumnya.

‘Kakak?’ tanya Bara dalam hatinya.

Pria yang disapa Rena tersenyum dengan manis. Membuat Bara mengerutkan dahinya dalam sekejap. Ada hubungan apa mereka? Apa pernah tidur bersama juga?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status