Share

Bab 4 Tak Pernah Berubah?

Rena hanya mengulum senyumnya sebagai respon atas titah tak wajar dari sang atasan. Tepat saat pintu lift terbuka semua mata tertuju padanya. Rumor miring pun sepertinya sudah mulai tersebar. Terbukti dari banyaknya tatapan tajam sebagai tanda tak suka saat melihat gadis itu berjalan bersisian dengan orang nomor satu di hotel itu.

“Nikmati masa kesenanganmu hingga sore tiba, Nona Rena,” ucap sang GM saat keduanya berpisah di pertigaan koridor.

Tak ada kata-kata lagi selain helaan berat napas dari Rena. Gadis itu kini berjalan dengan menegakkan wajahnya tanpa menolehkan pandangan pada orang di sekitarnya.

Masih ada waktu hingga beberapa jam sebelum tugasnya dialihkan. Rena kembali melanjutkan langkahnya menuju lantai 2. Departemen Food and Beverage yang selama ini menjadi tempatnya bekerja. Amel yang menyadari kedatangan sang sahabat segera melepas apronnya lalu menghampiri gadis itu.

“Serius, Ren? Kamu bakalan pindah ke departemen Admin and General?” tanya Amel seolah tak percaya dengan kata-kata yang barusan didengarnya.

Rena mengangguk pelan lalu membasahi bibirnya dengan sapuan lidah.

“Kok malah aneh ya. Kenapa bisa gitu sih?”

“Entahlah. Udah nasib aku kayaknya. Kamu baik-baik ya di sini. Lain kali kita bisa janjian bareng. Mungkin tugas aku bakalan jauh lebih sulit lagi,” kata Rena sembari mengemasi barang-barang yang tertinggal di meja kerjanya.

Bahkan hanya sebagian kecil saja yang peduli pada gadis itu. Ah, bukan masalah besar baginya karena memang sudah terbiasa dipandang lain oleh mereka yang tahu watak Rena sebenarnya.

Gadis itu hanya membungkukkan badan saat berpapasan dengan sang manajer dan direktur. Entah apa yang menjadikan kedua lelaki itu hanya bungkam dan tak menoleh pada Rena sama sekali. Tampaknya memang hanya Amel yang tetap berlaku ramah pada dirinya. Sudahlah. Tak ada gunanya memikirkan pendapat orang lain. Begitulah pikirnya untuk menghibur diri sendiri.

Kini dirinya sudah tiba di rumah mungil sederhana dengan ukuran 3x7 meter. Suara derit pintu berbunyi saat perempuan berambut hitam legam itu memutarkan anak kunci.

“Kenapa harus ketemu dia lagi? Kenapa dia kembali? Aku ah, hiks,” isak Rena yang sudah terkulai lemas di balik pintu rumahnya.

Dia menenggelamkan wajahnya di antara kedua lutut yang sudah tertekuk. Kedua tangannya tengah memukul-mukul lantai keramik. Tangisnya mulai pecah saat ini. Perkataan dokter yang membuat dirinya terpukul hebat kembali terngiang di telinga. Luka lamanya berhasil terkuak kembali.

Dadanya sudah sesak bahkan saat pertama kali bertemu dengan sang mantan. Entah apa rencana Tuhan hingga dia kembali harus berhadapan dengan masa lalu. Usahanya kabur dari kenyataan sepertinya cukup sampai di titik ini saja. Ternyata sebelas tahun juga sama sekali tak mengubur kenangannya di Medan hingga dirinya kembali di kota ini lagi setelah sekian lama. Mungkin kalau tahu akan seperti sekarang, Rena akan memilih untuk menetap di Surabaya usai menyelesaikan kuliahnya kala itu.

Sesuai dengan perkataan Bara, perempuan yang sedang memendam luka itu terpaksa menjadi sekretarisnya dalam beberapa bulan ke depan. Selanjutnya dia pun harus ke luar dari pekerjaannya.

TING!!

Pesan masuk segera muncul di layar ponsel Rena. Dia hanya terkekeh pelan sembari menyeka air mata yang sudah membasahi wajah.

[Philadelphia Hotel. Jalan SM Raja. See you soon.]

Tak ada nama pengirim, namun Rena segera menyadari siapa orang itu. Seulas senyuman tipis terbit di wajahnya. Pakaian seksi. Bukankah dia sudah terbiasa mengenakannya? Memang iya, namun itu murni karena keinginannya sendiri. Mendengar perintah sang GM membuat Rena merasa direndahkan. Baru kali pertama dia peduli dengan anggapan orang lain. Apa karena dia seorang Bara?

Sejak setengah jam lalu Rena sudah mematut diri di depan cermin. Tangannya dengan cekatan membuat kepangan rambut dengan style French Braid. Terlihat rapi dan juga elegan karena menampakkan lehernya yang jenjang. Gaun sewarna putih susu dengan panjang seatas lutut sudah membalut tubuh indahnya. Tak lupa pump heels setinggi 7 sentimeter berwarna pastel sudah menghiasi kaki seorang Rena. Tangan lentiknya menyemprotkan parfum beraroma orange blossom sebagai sentuhan terakhir untuk penampilan di sore ini.

Sementara di tempat yang berbeda, Bara baru saja memasuki mobil mewahnya yang sudah dibukakan pintu oleh sang sopir. Pandangan pria itu lurus ke depan sembari melihat layar ponsel. Ada rasa kesal terpatri di hati karena sang mantan tak kunjung membalas pesannya. Namun tak apa. Dia tahu betul watak Rena yang takkan sampai hati meninggalkan tanggung jawab pada pekerjaan. Terlebih lagi beberapa ancaman yang sudah ia layangkan sebelumnya pada gadis itu.

“Kenapa, hmmm?” Rena menyunggingkan senyuman tipisnya saat sudah bertemu dengan sang GM.

Aroma parfum peppermint yang maskulin kini beradu dengan wangi orange blossom milik gadis itu. Pun begitu dengan tatapan sang empu yang saling menusukkan pandangannya. Sejenak Bara menelan salivanya saat melihat busana berani yang dikenakan oleh sang mantan. Jujur saja semenjak 2 hari saat pertemuan kembali mereka, Bara benar-benar terobsesi pada Rena.

Entah obsesi ingin memiliki ataupun ingin menyiksa sang mantan. Hanya Bara yang bisa menjawabnya untuk saat ini.

“Apa aku perlu menggandeng lenganmu, Bos?” tanya Rena sambil memiringkan wajahnya.

Bara hanya diam dan berjalan lebih cepat menuju lift. Tak ada suara di antara keduanya. Hanya helaan napas sesekali karena harus menyeimbangkan langkah sang GM yang berjalan hampir dua kali lebih cepat darinya.

“Sore, Tuan. Panggil saya Rena. Sekretaris pak GM yang baru,” sapa Rena sambil menerbitkan senyuman terbaiknya.

Sang GM yang melihat tatapan berbeda dari sang investor berusaha untuk bersikap biasa. Bukankah ini yang dia inginkan? Membuat sang mantan menjadi pancingan agar kerja samanya dapat berjalan sesuai rencana?

[Berikan performa terbaikmu!]

Usai mengirimkan pesan singkat pada sang sekretaris, Bara membenarkan posisi duduknya.

Rena mengulas senyumnya saat sang GM pamit hendak meninggalkan ruangan sesaat. Dalam hati ada rasa tak terima, namun mau bagaimana lagi. Sepertinya Bara tak ingin ambil pusing hingga menjadikannya sebagai umpan.

Tanpa sepengetahuan Rena dan sang calon investor, Bara tengah mengamati mereka dari kejauhan. Melihat bagaimana tatapan buas sang pemangsa saat disuguhi peri cantik berkedok sekretaris. Bahkan keduanya sama-sama saling terbahak entah membahas apa. Salah Bara sendiri mengapa membuat sang mantan mengeluarkan pesona.

“Mau pulang dengan saya?” tawar sang pria berkumis tebal yang sekarang resmi menjadi investor perusahaan mereka.

Belum sempat Rena membuka suara, sang GM muncul entah dari mana.

“Nona Rena akan pulang bersama saya, Pak. Kami masih ada meeting di tempat lain. Terima kasih atas kerja samanya,” ucap Bara berusaha melengkungkan sudut bibirnya.

BRUK!!

Tubuh mungil Rena terhempas ke dalam mobil begitu saja.

“Jalan, Pak!” titah sang GM tanpa mempedulikan kondisi sang sekretaris.

“Kenapa lagi sih? Aku udah ngelakuin apa yang kamu mau,” protes Rena tak terima dengan perbuatan Bara.

Baru lima menit berada di perjalanan, sang GM sudah menyuruh sang sopir menghentikan laju kendaraan. Tanpa berbicara sepatah katapun dia menarik Rena keluar. Rena semakin mengerutkan dahinya dan menatap wajah Bara dengan penuh keheranan. Bukankah tugasnya berjalan dengan baik?

“Good Job, Nona Rena. Kamu semakin terlihat murahan dengan penampilanmu. Ternyata memang enggak pernah berubah sama sekali,” cibir Bara yang sudah tersulut emosi.

“Why? Enggak nyangka kalau aku bisa lakuin sesuai perintah?” Rena membolakan matanya.

Bara yang masing mencengkram pergelangan tangan sang mantan kini semakin menguatkan tenaganya. Suara ringisan Rena benar-benar tak berarti sama sekali.

“Shame on you, Ren,” hardik Bara.

“Ini masih permulaan,” lanjutnya sembari meninggalkan Rena seorang diri.

Tak lagi peduli kondisi mereka yang ternyata berada di taman kota yang berada di kawasan Teladan. Jangan tanyakan suasana keramaian yang tercipta di sore hari itu. Rena menjadi bahan tontonan saat mobil mewah itu meninggalkannnya begitu saja.

Rena mematung untuk beberapa detik. Beberapa pasang mata melihatnya dengan tatapan keheranan.

“Sialan. Aku harus ambil mobil ke hotel itu lagi. Apa maksudnya tadi?” rutuk Rena sembari mengelus tanda memar di pergelangan tangannya.

Gadis itu tak langsung pulang ke rumah. Dia memutuskan untuk menepikan mobilnya ke parkiran butik. Sayangnya orang yang dia cari tak ada di tempat. Rena memilih untuk menunggu hingga malam tiba.

“Aku harus apa?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status