Share

Chapter. 9

     Aku nyaris kehilangan fokus saat menyetir mobil saat perjalanan pulang, hubungan Dewa dan Salsa sangat menggangguku. Entah, sampai di mana keakraban mereka, yang jelas aku bisa melihat dari sorot mata gadis yang berprofesi model itu ada rasa kagum pada Dewa. Aku paham betul, bagaimana rona wajahnya ketika jatuh cinta.

"Salsa ngak bakal peduli sama cowok kalau Salsa gak suka." Salsa pernah mengatakannya padaku setahun lalu, saat ia mengacuhkan Mas Doni, seorang fotografer yang berpenampilan necis.

Malam ini, aku melihat kepedulian Salsa terhadap Dewa, ia nampak cemas dan khawatir. Hanya saja rasa itu sedikit tertutup.

Sialan! Kenapa aku terus memikirkan Dewa dan Salsa. Apa aku mulai menuntut kesetiaan Dewa karena akan jadi suamiku nanti? Benarkah begitu? Hahaa. Ini gila!

Aku tergelak, sudah lama aku kehilangan sensasi rasa cemburu. Selama berpacara dengan Hyun Joon, seniman keturunan Korea itu tak pernah berulah sampai membangkitkan kecemburuanku.

Ah, bahkan hingga saat ini aku masih memikirkan Hyun. Sedang apa dia? Diam-diam, air mataku menetes satu-satu, tanpa kuminta, hanya dengan mengingat namanya, kegiatannya aku lemah. Mengapa hati ini terlalu rapuh? 

Pandanganku mengabur, air di kelopak mata terus berdesakan, membuat anak sungai di pipi. Bahuku terguncang, sekuat mungkin aku menahan rasa sesak di dalam sini, aku mengingat semua kenang tentangnya.

"Tiiin ...!"

Tiba-tiba suara klakson sepeda motor mengejutkanku dari arah belakang. Cepat-cepat kuseka air mata, lalu fokus pada kaca spion.

Dewa? Dia mengikutiku?

Tangan Dewa melambai, mungkin dia tahu aku terus memperhatikannya. Memang wajahnya tertutup helm, tapi aku mengenali pakaian dan postur tubuhnya meski di atas kendaraan.

Kulajukan mobil lebih kencang, tapi Dewa tetap mengejarku hingga kendaraan kami bersisian.

Makin gila dia!

"Ra, gua tunggu di Night Caffe depan, ya." teriak Dewa di tengah deru angin. Membuat keningku mengerut. Night Caffe? Aku malas ke tempat itu malam ini, tapi kurasa kami memang harus bicara. Sekeras apapun keinginanku tetap tak dapat menolak keinginan Ayah.

Motor Dewa sudah melesat mendahuluiku, sebelum aku sempat menyetujui ucapannya.

Night Caffe tidak terlalu jauh, hanya dalam waktu 10 menit aku sudah sampai di sana, memarkirkan mobil dan turun mencari seseorang.

"Ra!" Seseorang memanggil, "gua di sini, Beib!"

Dewa melambai, ia tengah duduk di kursi caffe yang terletak paling ujung. Pilihan tempat duduk paling pas untuk suasana hatiku saat ini. Bicara di ruang outdoor lebih segar dari pada berbincang dalam ruangan. Lagi pula aku butuh udara segar agar pikiran tetap ternih. Terlebih lawan bicaraku adalah sosok mengerikan yang bernama Dewa.

Kuseret langkah mendekati Dewa, melalui taman dengan rumput hijau yang ditumbuhi banyak bunga warna warni serta lampu-lampu taman hias. Aku menyukai sinar temaram taman caffe ini. Suasananya sangat nyaman.

"Duduklah," suruh Dewa, "gua udah pesenin dua cangkir kopi hitam. Satu buat gua satu buat lo. Tanpa sianida." Ia menyeringai, tampangnya nampak lebih konyol dari biasanya.

"Terima kasih. Tapi aku tak ingin kopi malam ini." Aku mulai duduk di kursi dengan tangan menyilang di dada dan menyandarkan punggung.

Kali ini Dewa mengulum senyum, mulutnya mulai menyentuh bibir cangkir dan meneguk kopi hitam dengan nikmat.

"Aah, mantap! Baru di sini gua minum kopi enak banget."

Mataku mendelik, mulai penasaran dengan yang ia ucapkan. Entah dia tahu dari siapa kalau aku pecinta kopi. Khususnya kopi hitam yang dibuat secara tradisional, seperti para petani kopi daerah Sumatera, misalnya. Cita rasa kopi yang mereka olah dari menjemur, menyangrai, sampai ditumbuk dengan lesung dan dihaluskan. Itu rasanya ... luar biasa nikmat!

"Aku tahu kopi ini nikmat, hanya dengan mencium aromanya saja," timpalku dengan sudut bibir terangkat sebelah.

"Gua tau kok." Dewa memegangi batang hidungnya, kurasa ia masih menahan rasa sakit di bagian sana.

Aku malas meresponnya lagi. Sudah tentu  dia tahu karena Ayah sering me mengumbar sesuatu tentangku. Angin malam ini berembus lembut, sayup kudengar alunan musik dari arah dalam caffe, meski sepi pengunjung tapi tempat ini tetap terasa hangat. Sepasang kekasih baru saja memasuki area taman dan langsung mendapatkan meja yang diinginkan tepat di bawah sinar lampu taman. Cahayanya pias menerpa wajah mereka.

"Ra, gua pengen lo ikhlas nerima gua sebagai suami lo nanti." Suara  Dewa mengisi keheningan di antara kami. Sontak aku melepas tatapan dari sepasang kekasih itu, dan menoleh pada Dewa.

"Gua janji, gak bakal maksa ataupun nuntut apapun setelah kita nikah. Terserah lo mau ngapain." Dewa menyilangkan jari-jari tangannya di atas meja. Menarik napas panjang dan mengembuskan dengan berat.

Aku sendiri tak tahu harus bicara apa, jadi kuputuskan untuk tetap diam. Menyesap kopi dan menikmati rasanya yang nikmat.

"Kamu benar soal kopi ini." Aku mengalihkan pembicaraan, "Rasanya nikmat." Kembali kusesap kopi dengan mata terpejam.

"Kalo lo nggak respon, gua anggap nggak ada masalah dengan pernikahan kita nanti. Gua cuma nggak mau lo manyunin sepanjang hidup."

Mataku terbuka perlahan, dan langsung fokus pada Dewa. "Tak ada yang harus dicemaskan, Dewa. Kita ikuti keputusan orang tua kita, aku sudah tak ada pilihan lain. Hanya saja ... aku jangan paksa aku untuk melupakan masa lalu dan dengan cepat mencintaimu. Semua butuh proses, butuh waktu, butuh banyak hal agar rasa itu dapat tumbuh."

"Gua paham," timpal Dewa cepat, "gua pun sama. Mungkin lo nggak tau, kalau gua juga harus berkorban ninggalin cewek gua karena perjodohan ini."

"Apa?!" Aku tak percaya apa yang Dewa katakan. Jadi ...

Kepala Dewa tertunduk, seperti ada beban dalam hatinya yang ingin ia paksa keluar. Aku pikir selama ini hanya aku yang tersiksa, tanpa ingin tahu bagaimana perasaan orang lain.

"Ke-kenapa kamu mau dijodohkan denganku, Wa?" Aku meminta penjelasan. Sesekali ujung mataku memperhatikan sepasang kekasih yang tadi dudui tak jauh dari kami.

Sial, kenapa aku harus liat mereka ciuman, sih?

"Cewek gua marah setelah tau gua mau dijodohin. Setelah mutusin gua, dia balikan sama mantannya." Dewa berusaha bersikap tegar di depanku, sikapnya membuatku ingin tertawa. Ternyata hidup Dewa lebih menyakitkan. 

"Ada yang lucu?" tanyanya saat melihatku menutup mulut, hampir meledak.

"A-aku baru tahu kalau ada gadis sebodoh pacarmu. Putus lalu kembali merajut kisah asmara dengan mantan kekasih itu bukan sesuatu yang patut dibanggakan. Geli aku dengarnya!" Akhirnya aku tergelak, tak tahan rasanya membully Dewa.

"Prinsip orang kan beda-beda, Ra. Kalo mantan pacarnya lebih baik kenapa harus mempetahankan gua, kan? Bener ngga? Hahaa." Dewa ikut tergelak.  Mengikuti kekonyolanku menertawakan nasib kami masing-masing. 

Sesuatu terlihat, ternyata ... Dewa tampan juga, ya kalau lagi tertawa. Dia nampak lebih fresh dan gagah.

Aku tertawa sekaligus menitikkan air mata, antara sedih, haru, senang dan kecewa berkecamuk dalam dada dan menghasilkan kolaborasi yang menarik.

Dewa beranjak dari tempat duduk, ia mengatakan ingin memesan makanan. Selain kopi Night Caffe juga menyajikan beberapa menu spesial untuk para pengunjung. Untuk tamu yang memilih duduk di outdoor, harus memesan dan membawa makanan sendiri dari dalam.

"Terserah kamu mau bawain aku makan apa," pesanku pada Dewa sambil menyeka titik air disudut mata.

Dewa mengacungkan dua jempol padaku. "Siap ratu!"

Tawaku kembali pecah, sintingnya kambuh lagi dia. Tapi aku suka, apa yang Hyun Joon tidak pernah lakukan, aku bisa merasakannya pada Dewa.

Sembari menunggu Dewa, aku memikirkan Ibu. Aku takut dia khawatir, setahu Ibu aku mungkin masih di rumah Salsa, wanita yang sudah mengandungku itu paham betul bagaimana kehidupan Salsa dan teman-temannya. Ditambah lagi kondisiku kurang baik belakangan ini. Aku harus menghubunginya.


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status