Share

Chapter. 8

   Beberapa hari setelah perbincangan di meja makan itu, sesuai janji Ayah, tanggal pernikahanku dengan Dewa sudah ia diskusikan dengan keluarga calon besan. Aku hanya pasrah, kukatakan berulangkali pada Ayah jangan lagi bertanya soal tanggal dan sebagainya, aku tak ingin direpotkan hal semacam itu. Hari ini, besok, lusa, atau kapanpun aku siap. Asal Ayah bahagia aku menikah dengan Dewa.

   Tidak hanya Ayah, Dewa pun terdengar ceria saat ia meneleponku.

  "Gua nggak nyangka lo akhirnya mau nikah sama gua." Suara Dewa penuh percaya diri yang tinggi.

  Orang stress!

  "Gua masih inget waktu lo ngancam gua soal perjodohan kita. Gampang banget lo nyerahnya. Hahaa." Lagi lagi dia membangkitkan emosiku.

   Aku sudah tak tahan untuk terus diam mendengar ocehannya. "Ter-se-rah!"

   Tanpa menunggu respon, sambungan sudah kumatikan. Tak ada faedahnya bicara sama orang tak tahu malu itu.

   Lebih baik, aku keluar rumah menemui Salsa untuk membayar janji. Aku pikir, ia akan senang melihat kedatanganku.

***

     Aku cukup terkejut mendengar suara musik berdentum-dentum, banyak pasangan muda mudi tengah berpesta, mereka joget dengan napas tersengal sambil meliukkan badan. Sebagian orang hanya duduk-duduk asik menikmati segelas jus atau wine yang tersedia. Sesekali saling mencumbu mesrah.

   "Hai, Ra!" sapa Salsa melambai ke arahku, "sorry, Salsa nggak tahu kamu bakal dateng." Gadis itu menarik tanganku masuk ke rumah besarnya.

   "Yang ngadain pesta kamu, Sa?" Aku penasaran. Aku tahu Salsa tak mungkin membuat pesta seperti ini, yang kutaksir bisa menghabiskan dana ratusan juta.

   "Salsa cuma nyediain tempat aja, Ra. Bos yang punya acara, lagian kan lumayan aku sewain rumah buat pesta. Hihii, " Salsa tampak sangat beruntung dengan adanya pesta ini.

   "Kenapa tidak sewa gedung, atau apartemennya sendiri, kan bisa dibuat club." Aku masih penasaran. Seorang bos tak mungin tanpa perhitungan.

   Salsa mendekatkan bibir ke telingaku, dia berbisik, "Ra, bos itu punya selingkuhan. Jadi dia adakan acara di sini itu tanpa sepengetahuan istrinya. Biar bebas."

   Benar dugaanku. Kalau tidak, mana ia mengadakan pesta di sini. Aku cermati, pesta ini memang banyak menghabiskan biaya tapi tidak elegan. Terlihat layaknya pesta orang-orang biasa.

   "Mendukung orang selingkuh, sama aja mendukung orang berbuat jahat." Aku berkata sesantai mungkin setelah duduk di kursi bermeja bulat yang sudah tersedia. Salsa duduk menyilangkan kaki, memperlihatkan paha mulusnya.

  "Kalau nggak dibayar, Salsa sudah pasti nggak mau atuh. Tapi ... Salsa juga butuh hiburan setelah hampir sebulan padat pemotretan. Nah, kata Bos, pesta ini diadakan karena ingin nyenengin kami juga," jelas Salsa, tangannya mengibaskan rambut panjangnya ke belakang.

   Seseorang membawa nampan minuman dan menawarkan beberapa pilihan.

   "Aku mau jus lemon hangat saja," pintaku pada pelayan.

   "Ra, bawa kan uangnya?" tanya Salsa selepas pelayan itu pergi.

   Aku mengangguk, segera kuambil amplop dalam tas dan memberikannya pasa Salsa.

   "Thanks ya, Ra." Raut wajah Salsa tampak lebih ceria berapa kali lipat.

   Aku hanya membalasnya dengan senyum. Uang itu memang luar biasa efeknya. Bisa buat orang bahagia, menderita, senang, sedih, kecewa, sampai gila. Jadi, wajar saja jika Salsa bersemangat melakukan apapun demi uang. Uanglah sumber kebahagiaan Salsa saat ini.

   Hampir 30 menit aku dan Salsa menikmati suara musik yang terus menyentak-nyentak, terkadang kaki dan tangan ikut bergerak mengikuti iramanya. Cukup asik dan menghibur di saat sedang penat seperti ini. Pikiran benar-benar butuh hiburan.

   "Ra, tunggu bentar, ya. Salsa mau nemuin seseorang dulu." Dia pamit ke luar sebentar, mungkin saja pacar atau temannya yang datang.

    Aku mengangguk, dan kembali menikmati suasana. Sejujurnya, pesta seperti ini bukan seleraku, aku lebih senang mendengar musik bermelodi lembut menenangkan, rasanya sampai ke hati. Tapi kali ini, sedikit menikmati.

   "Mau joget denganku?" Seorang laki-laki berkulit putih menawarkan.

   "Tidak, terima kasih," tolakku.

   "Ayolah, cuma sebentar, kok." Setengah memaksa ia menarik tanganku.

   Darahku mendidih, aku paling tak suka dipaksa, apalagi untuk berjoget dengan laki-laki yang tidak kukenal. Terlebih dia bukan seleraku.

   "Lepaskan tanganku atau aku buat babak belur!" Aku mengancam, berani menyepelekan satu gerakan saja laki-laki itu bisa patah tulang.

   Dia mendengkus kesal sambil melepas pergelangan tanganku lalu pergi.

   Dasar banci! Kalau dia memang laki aku yakin tak akan sepayah itu ditantang seorang perempuan. Namun ada untungnya juga laki-laki itu mengalah, kalau tidak aku akan membuat keributan di sini, dan Salsa seumur hidup membenciku.

***

     "Lama," rutukku dalam hati. Salsa masih belum muncul juga semenjak pamit menemui temannya. Rasa bosan mulai mendera. Seandainya ada seseorang datang padaku menawarkan sesuatu yang bisa membuat mood-ku naik, aku sangat senang. Sayangnya tak ada satupun yang berani mendekat. Barangkali tanpa sepengetahuanku mereka diam-diam menyaksikanku menggertak si banci berkulit putih tadi.

   Jus lemon hangat sudah habis, aku beranjak ingin pulang, tak perlu lagi pamit pada Salsa, biar kutelepon atau aku kirim pesan chatt saja nanti.

   Di luar masih terlihat ramai, beberapa asik berbincang di bawah lampu temaram. Ada juga yang berkumpul sesama laki-laki sambil menggoda gadis-gadis tak sengaja melintas. Aku menyapu  pandangan berharap Salsa dapat kutemukan.

   Hingga aku menemukan gadis berambut panjang lurus sepinggang dengan dress berwarna merah marun selutut membelah sampai ke paha, ia sedang berbicara dengan seseorang sesekali tergelak. Tapi wajah laki-laki itu tak jelas kulihat karena terhalang kepala Salsa.

   Aku mendekat, dengan langkah panjang-panjang. Hanya untuk pamit padanya dan segera pulang. Ibu sering mengkhawatirkanku akhir-akhir ini, jangan sampai wanita berwajah lembut itu cemas.

   "Sal--." Suaraku tercekat baru saja aku ingin memanggil Salsa, tapi laki-laki di dekat model itu mengejutkanku.

  "Aira?"

   Dewa dan Salsa menoleh padaku bersamaan.

   "Bagus! rupanya kalian sudah semakin akrab. Lanjutkan," ucapku dibuat sesantai mungkin, "Sa, aku pulang, ya. Sudah malam, maaf aku telat membayar utangku." Kakiku kembali bergerak berjalan cepat menuju parkiran mobil. Tak kuhiraukan lagi seperti apa wajah Salsa dan Dewa setelah kepergok olehku.

    Kurang ajar!

   "Aira!"

   Dewa berlari menyusulku.

  "Ra, tunggu!"

   Aku tetap pura-pura tuli. Buat apa dia mengejar, aku tak butuh penjelasan. Sekiranya dia memang ingin menemui Salsa, itu bukan urusanku bahkan aku sama sekali tak peduli. Justru aku senang kalau Dewa benar-benar menyukai Salsa, itu berarti ada harapan aku terbebas dari perjodohan konyol itu!

   "Aira, dengerin gua!" Tangan Dewa berhasil menggamit lengan tanganku.

   "Lepaskan! Mau kamu apa, sih? Setelah ngobrol dengan Salsa, kamu kasih penjelasan apa, hah?!" Mataku melotot ke arah Dewa, wajah orang paling menyebalkan sedunia.

   "Gua nggak tau kalo lo dateng ke sini, Salsa nggak bilang. Kalo tau, gua bakal jemput lo dan kita pergi bareng, Ra. Lo jangan salah paham, plis!"

   "Terserah. Aku tak peduli!" Aku berusaha melepaskan tangan dari cengkraman Dewa. Tenaganya kuat juga rupanya.

    "Lo harus peduli, tanggal pernikahan kita sudah deket, Ra. Gua ketemu Salsa cuma mau kasih tau ke dia, kalo kita sebentar lagi akan nikah." Dewa masih meyakinkanku agar alasannya dianggap masuk akal.

   "Aku percaya. Sekarang lepaskan tangaku atau kamu aku hajar!" sengitku pada Dewa.

   "Hajar aja, tapi pakai bibir," goda Dewa mengerlingkan mata.

   Buk!

   Satu pukulan tanganku meluncur tepat di hidung Dewa.

Dewa mengerang kesakitan, untung hidungnya tidak keluar darah, hanya  lebam kemerahan. Lenganku akhirnya berhasil lepas dari cengkraman tangan laki-laki menyebalkan itu.

"Dewa!" Salsa berlari ke arah Dewa yang sibuk memegangi batang hidungnya. "Kok kamu tega sih, Ra, mukul Dewa sampe bengkak gitu. Kan sakit tau!" sungut Salsa menatapku galak.

Kekhawatiran Salsa beralasan memang tapi aku tak peduli, kalau bukan di sini,  Dewa bisa babak belur olehku.

"Gak usah ikut campur, Sa. Aku tau apa yang harus aku lakukan terhadap Dewa." Aku mengeratkan jaket, mengibas rambut panjang gelombangku yang tergerai berantakan karena embusan angin cuku kencang malam ini. Dinginnya membuatku sedikit gigil.

"Gua gak papa, kok. Santai aja." Tangan Dewa menepis sentuhan lembut tangan Salsa yang berusaha menenangkannya.

"Tapi ... "

"Udah, gak apa. Mending lo balik ke dalam ikut tamu-tamu lagi pesta. Biar gua nyelesain urusan gua sendiri sama Aira," tegas Dewa pada Salsa. Model seksi itu terlihat kesal, bibir merahnya mengerucut. Meski berat meninggalkan Dewa, akhirnya ia terpaksa nurut, berbalik badan dan pergi meninggalkan kami.

"Gua anter pulang, ya. Tenang, gua nggak bakal bales nyakitin. Lagian ada yang harus gua omongin ke lo." Dewa menekan hidungnya dengan ibu jari dari arah samping, aku tahu ia berusaha menahan nyeri akibat pukulanku.

"Ngomong apa lagi?" tanyaku tanpa menoleh pada Dewa, aku membuka pintu mobil.

"Tentang pernikahan kita." Dewa memelankan suaranya, "Waktunya mepet, kita harus keliatan mesrah."

Tawaku hampir meledak. "Mesrah?" ejekku sinis. Menatapnya seakan kata-katanya barusan adalah hal terbodoh yang pernah kudengar.

Blam!

Kututup pintu mobil dan segera menyalakan mesin. Mobil bergerak pelan keluar dari parkiran. Sementara Dewa terlihat gusar, kedua tangannya menjambak rambut sendiri, dan sesekali melayangkan tinju ke udara.

"Dasar cewek keras kepala! Belagu!" makinya sebelum kaca jendela mobil benar-benar tertutup rapat. Aku tak peduli lagi apa yang keluar dari mulut laki-laki itu.


Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status