共有

2. Tamu Tak Beradab

last update 最終更新日: 2022-08-01 20:28:55

“Boros? Jajan? Dari mana kamu dengar itu semua, Mas? Bahkan satu juta lima ratus pun, sangat pas-pasan untuk kita bertiga. Bulan kemarin saja, untuk listrik dua ratus ribu. Biaya air, dua ratus lima puluh ribu. Belum lagi kalau ada keperluan mendadak. Semuanya pas-pasan, Mas,” kataku dengan suara pelan.

“Ya, kamu atur-aturlah! Kamu pikir, aku gak capek cari uang? Kamu mana ngerti? Bisanya cuma bersantai di rumah!” sentaknya, lantas berdiri meninggalkanku yang masih terhenyak.

Bersantai katanya? Dia pikir pakaian kotor akan masuk sendiri ke mesin cuci? Piring kotor akan membilas sendiri di washbak? Makanan akan terhidang dengan sendirinya di meja? Dan rumah yang berdebu, akan menyapu sendiri? Tak terima, kususul ia ke depan. Sebentar lagi, Mas Ardan akan berangkat kerja.

“Mas! Maaf, bukannya aku tak berterima kasih … tapi, uang satu juta sangat kurang untuk satu bulan! Tak perlu mas tambahi, tolong berikan saja satu juta lima ratus seperti biasa!” pintaku sambil menatapnya yang sedang memasang sepatu.

Aku merasa seperti seorang pengemis. Apakah pantas jika aku meminta-minta sampai seperti ini, terhadap orang yang kusebut sebagai suami?

Mas Ardan menatapku sekilas, lantas berkata, “Kalau aku bilang segitu cukup, ya cukup. Sudah, aku mau berangkat!” Ia berlalu begitu saja tanpa mengucap salam.

Suara mobil terdengar keluar dari pekarangan. Aku masih terpaku di tempat, menatap amplop yang sedari tadi digenggam. Apa yang harus aku lakukan?

“Num … Shanum!” Suara ibu terdengar memanggil. Aku bergegas menuju ruang tengah.

“Ya, Bu. Ada apa?” Kudekati ia yang masih duduk di depan TV.

“Ardan, sudah berangkat?” tanyanya.

“Sudah, Bu. Memangnya, kenapa?” Aku balik bertanya.

“Num, Ibu kepingin sekali makan bakso yang di ujung gang itu. Rasanya sudah lama, tidak makan. Belikan ibu ya, Num,” pinta Ibu dengan wajah sendu.

Aku memaksakan senyum, “Iya, Bu. Nanti siang kita beli, ya.” Aku sungguh tak tega pada Ibu.

Ya Tuhan, bantulah aku berlapang dada. Sepertinya, bulan ini aku harus memakai lebih banyak uang tabunganku.

*

Aku sudah berkutat dengan pekerjaan rumah sejak tadi. Waktu menunjukkan jam setengah delapan, sebentar lagi waktunya sarapan. Hari Sabtu, Mas Ardan libur kerja. Biasanya, saat libur ia akan menghabiskan waktunya untuk bermain game atau keluar bersama teman-temannya. Jangan harap ia akan mengajakku dan Ibu untuk jalan-jalan. Tidak, tidak akan. Pernah sekali aku meminta, tapi ditolaknya mentah-mentah dengan alasan capek. Padahal, siangnya dia keluar untuk bermain.

Kadang, aku kasihan dengan Ibu yang memiliki anak seperti Mas Ardan. Pastilah Ibu menyimpan keinginan, tapi tak bisa ia ungkapkan. Dulu, aku pikir sikap Mas Ardan akan berubah seiring waktu. Nyatanya, tidak. Ia tetap dengan sikapnya yang menyebalkan dan seenaknya sendiri.

Aku baru saja akan menjemur pakaian, saat terdengar suara ketukan di pintu depan. Sedikit tergesa, kuletakkan kembali keranjang di dekat mesin cuci. Suara ketukan masih terdengar, diiringi dengan ucapan salam.

“Assalamu’alaikum! Dan, Ardan!”

“Wa’alaikumsalam!” jawabku ambil memutar kunci. Setelah pintu terbuka, nampaklah wajah yang belum pernah kulihat sebelumnya.

“Maaf, cari siapa?” tanyaku.

Lelaki itu memandangiku dari atas hingga bawah. Aku merasa sedikit risih dibuatnya.

“Ardannya, ada, Mbak?”

“Iya, ada. Mas siapa?” Aku menyipitkan mata.

“Oh, saya temannya. Tolong panggilkan Ardan ya, Mbak. Bilang saja, nama Dodi!” pinta lelaki itu.

“Oh, iya. Tunggu ya, Mas. Silakan duduk,” ucapku sebelum berlalu. Lelaki itu kemudian duduk di kursi teras.

Kumasuki kamar. Terlihat Mas Ardan masih terpejam. Tadi, saat subuh sudah kubangunkan ia. Suamiku itu hanya menggeliat sebentar, kemudian tidur lagi.

“Mas, Mas, bangun!” panggilku sambil mengguncang bahunya. Tak ada respons sama sekali.

“Mas! Bangun, ada yang nyariin!” Kutepuk pipinya.

Matanya mengerjap, lalu terbuka. “Mau apa?” tanyanya dengan suara parau.

“Bangun, ada yang namanya Dodi nyariin!” ucapku.

Ia lantas duduk sebelum akhirnya turun dari ranjang. Tanpa bicara, ia mencuci muka sebelum keluar.

Segera kusiapkan dua cangkir teh. Satu untuk Mas Ardan dan satu untuk tamunya. Hal yang selalu aku lakukan, jika Mas Ardan kedatangan tamu. Setelah siap, aku bergegas ke depan dengan dua cangkir teh di tangan. Terdengar suara obrolan dari dua lelaki di teras.

“Bro, yang tadi itu, siapa? Istri kamu?” tanya Dodi sedikit berbisik, tapi terdengar di telingaku.

Aku menghentikan langkah. Mereka membicarakan aku?

“Iya … emang kenapa?” Suara Mas Ardan terdengar malas.

“Ya ampun, kupikir pembantu kamu, Bro! Maaf-maaf, nih, Bro! Ahahaha! Secara, penampilannya aja gitu. Kucel, pakai daster lagi!”

Tak lama, terdengar suara tawa dari kedua lelaki itu. Aku mematung. Dadaku terasa seperti ditusuk demi mendengar hinaan yang baru saja dilontarkan teman Mas Ardan.

“Bisa aja kamu! Pembantu plus-plus namanya!” sahut Mas Ardan setelah berhenti tertawa.

“Pantes aja kamu sering unggah foto sama yang bening-bening di Bukuwajah. Ternyata, yang di rumah, bentuknya seperti itu!” timpal lelaki bermulut lemas bernama Dodi itu.

Sekali lagi suara derai tawa mereka terdengar. Sakit, hatiku sakit. Alih-alih membela, Mas Ardan malah tertawa saat temannya mengolok-olokku. Dengan langkah pelan, aku kembali ke dalam. Usai meletakkan cangkir berisi teh panas ke washbak, kumasuki kamar dengan perasaan sangat terhina. Sambil menyeka air mata, kubenamkan kepala di bantal yang seketika basah.

***

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Jodoh yang Tertunda   21. Kejutan

    “Halo, Assalamu’alaikum. Bu Erna, besok sudah mulai kerja di rumah saya, ya?” ucapku, setelah panggilan tersambung ke nomor Bu Erna yang dikirimkan Bu RT.“Wa’alaikumsalam. Iya, Mbak Shanum. Saya sudah siap-siap, kok. Besok jam delapan, saya sudah harus di sana, kan?” tanyanya memastikan.“Iya, Bu Erna. Jam delapan sudah di sini. Soalnya jam sembilan, saya sudah ada janji. Oh ya, Bu Erna tidak usah bawa bekal. Nanti makan siangnya di rumah saja, sama ibu saya,” jelasku lagi.“Oh, begitu … iya, iya, Mbak Shanum. Terima kasih banyak!” timpalnya.“Sama-sama Bu Erna. Kalau begitu, sudah dulu. Assalamu’alaikum!”“Waalikumsalam!”Tut. Aku menutup panggilan dengan perasaan lega. Besok, aku sudah tak khawatir lagi jika harus meninggalkan Ibu di rumah. Semoga saja Ibu betah ditemani oleh Bu Erna. Kumasukkan berkas-berkas penting yang harus dibawa besok ke dalam tas. Pakaian untuk dipakai besok pun, sudah kupisahkan. Aku benar-benar seperti seseorang yang baru pertama kali akan melamar pekerjaa

  • Jodoh yang Tertunda   20. Balas Dendam

    Aku lewati teras sambil memandang tajam kedua lelaki itu. Dodi tersenyum dan mengangguk sopan ke arahku. Cih, di depan manis tapi di belakang mulutmu mengataiku macam-macam. Aku melengos dan masuk ke rumah tanpa menegur mereka berdua.Barulah di dalam rumah, aku mengucapkan salam kepada Ibu. Wanita yang aku sayangi itu, sedang melipat pakaian yang tampak menggunung di dalam keranjang.“Sudah pulang, Num?” tanya Ibu.“Sudah, Bu. Kok Ibu lipatin pakaian Shanum sama Mas Ardan? Biar Shanum aja, Bu!” Aku merasa tak enak.“Gak apa-apa, Num. Ibu bosan gak ngerjain apa-apa. Semuanya kamu yang kerjakan,” bantah Ibu.Aku dengan cepat masuk ke kamar. Meletakkan kantong belanjaan, lalu berganti pakaian. Tak membuang waktu, aku segera bergabung dengan Ibu, membantunya melipat pakaian yang tampak tak ada habisnya. Lebih separuh dari pakaian ini, adalah milik Mas Ardan. Entah kenapa, lelaki itu sangat gemar membeli baju baru. Setiap minggu, ia rutin membeli walaupun hanya satu atau dua lembar. Saya

  • Jodoh yang Tertunda   19. Minggu

    Aku terbangun setelah mendengar suara sedikit berisik dari dapur. Terlonjak, aku langsung melihat jam yang menunjukkan pukul enam pagi. Astaga, bisa-bisanya aku terlambat bangun karena sedang datang bulan. Siapa pula yang sedang ribut di dapur? Jangan-jangan Ibu yang masak?Tergesa aku mencuci muka, lantas pergi ke sumber suara. Ibu terlihat sedang menyapu teras. Lalu, siapa yang masak? Aroma telur dan bawang goreng menyeruak, membuatku lapar. Aku sedikit terkesima mendapati pemandangan seorang lelaki yang sedang berdiri depan kompor. Tangan Mas Ardan tampak lincah mengaduk-aduk dalam wajan. Sedikit ragu dan malu aku mendekat.“Ehem, Mas … kamu, masak?” tegurku pelan, lalu duduk di kursi mengamatinya.“Menurutmu? Apa aku terlihat sedang olahraga?” sindirnya tanpa menoleh ke arahku.“Ya … maaf, aku bangun terlambat. Kenapa gak bangunin?” sungutku sebal dengan jawabannya.Dia berbalik lantas memandangiku tajam. Tangannya masih memegang spatula.“Kamu benar-benar gak merasakan? Berkali-k

  • Jodoh yang Tertunda   18. Tingkahnya Aneh

    Dadaku mulai kembang kempis. “Kamu jangan cuma bisa komentar aja, Mas. Kalau gitu, kasih aku uang untuk beli baju baru!”Mas Ardan terdiam menatapku. Wajahnya terlihat kaget, tapi dia cepat menguasai diri.“Gimana? Mau belikan atau tidak? Kalau tidak, tak usah banyak komentar! Seharusnya kamu malu bicara begitu, Mas. Istri seorang Ardan, terlihat buluk dan katrok!” sungutku kesal.Mas Ardan mendengkus. “Hah, beliin kamu pakaian? Ya rugi! Pakai baju model apapun, kalau buluk ya, tetap buluk! Gak akan berubah!” ejek Mas Ardan seraya membaringkan diri di ranjang.“Bilang aja kalau gak mampu beliin! Gak usah banyak omong. Lihat aja nanti kalau aku udah kerja dan punya uang banyak!”“Apa yang mau dilihat? Paling ya, gitu-gitu aja. Mau banyak uang atau nggak, kalau gak bisa mengurus diri, ya tetap bakal jelek juga, Shanum! Gak usah berkhayal terlalu tinggi!”“Iya, kayak kamu, Mas! Banyak uang, tapi tetap aja, kucel! Coba lihat dulu tampangmu di cermin sebelum menjelek-jelekkan aku! Kalau bu

  • Jodoh yang Tertunda   17. Tak Usah Komentar!

    Kusapu halaman rumah yang tampak tertutupi daun-daun kering dari pohon rambutan. Ibu juga membantu dengan menyiangi rumput-rumput yang sudah mulai meninggi.“Gak usah, Bu. Biar Shanum aja. Nanti Ibu capek,” tegurku kepada wanita yang tampak membungkuk itu.“Gak apa-apa, Num. Ibu gak capek, kok!” elaknya.Ya sudah, kubiarkan saja Ibu membantu sedikit-sedikit. Sambil menyapu, pikiranku terus melayang ke mana-mana. Aku belum memberitahukan Ibu soal rencana hari Senin besok. Sekarang sudah hari Sabtu. Masih ada sisa satu hari lagi, sampai aku benar-benar bisa membuat keputusan.“Assalamu’alaikum!” Terdengar ucapan salam dari luar pagar.Terlihat Bu RT bersama dengan seorang wanita yang tak aku kenal di sana. Mataku seketika berbinar. Dadaku membuncah karena semangat.“Wa’alaikumsalam, Bu RT! Mari masuk!”Secepat kilat kubuka pintu pagar, membiarkan kedua orang itu masuk. Senyumku terkembang. Apakah orang yang bersama Bu RT ini, yang akan menjadi penjaga ibu? Kami berempat, akhirnya duduk

  • Jodoh yang Tertunda   16. Telepon Mencurigakan

    Mataku tak juga ingin terpejam. Sedari tadi, aku hanya membolak-balikkan badan di atas ranjang. Perasaanku campur aduk, antara senang dan galau. Hari senin aku harus datang ke Bimbel Smart Kids, tapi sampai sekarang belum juga mendapatkan orang untuk menjaga Ibu. Aku mendesah berkali-kali.“Kamu bisa diam tidak, Num? Aku dari tadi gak bisa tidur gara-gara kamu!” sewot Mas Ardan yang ternyata belum tidur.“Ya maaf, deh. Sorry, aku lagi galau!” balasku sebal.“Kenapa lagi, sih? Kalau belum mau tidur, sana nonton TV aja!” usirnya garang.Aku kembali mendesah. “Hari Senin aku mau masukkan lamaran pekerjaan, Mas. Kalau belum ada yang jagain Ibu, bagaimana?” tanyaku, mencoba bertukar pikiran.Mas Ardan membalikkan badan. Matanya memicing ke arahku.“Kan sudah kubilang, kamu di rumah saja! Gak usah memikirkan kerja, kerja, kerja! Dasar keras kepala!” sentaknya, lalu kembali memunggungiku.Ah, kukira akan dapat pencerahan setelah berkeluh kesah pada Mas Ardan. Ternyata, hanya menambah pusing

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status