Alexander menutup laptopnya, lalu mengangkat kedua tangannya–merenggangkan otot-ototnya yang terasa pegal, sebelum bangkit dari kursi kerjanya. Kemudian berjalan keluar menuju kamar.
Di dalam tidak ada Arandra. Alexander menatap ke sekitar ketika ponselnya di atas nakas berdering. Melangkah ke arah ranjang, Alexander duduk di tepi ranjang dan mengangkat panggilan dari ibunya.["Apa yang sudah kau lakukan pada Arandra?"] Tanpa sapaan atau basa-basi terlebih dahulu, pertanyaan bernada kesal Anggy langsung terdengar begitu Alexander menempelkan ponselnya ke telinga.Alexander mengerutkan kening tidak paham. "Apa?"["Kau berbuat salah apa pada Arandra? Ibu mengamati tingkah kalian berdua. Wajah Arandra terlihat murung setiap saat. Dan dia juga mengabaikan mu kan?"]"Tidak...," jawab Alexander terdengar tidak yakin dari suaranya. "Aku dan Ara baik-baik saja..."["Jangan berbohong pada Ibu."] Anggy menyela cepat perkataan putranya. ["SArandra ternyata belum selesai dengan kemarahannya. Alexander terlalu bingung memikirkan apa yang sebenarnya wanita itu inginkan. Dia kembali bertingkah.Alexander sudah melarangnya untuk pergi ke wilayah didekat kota kecil Lorca yang menjadi tempat terjadinya gempa. Tapi Arandra tetap pergi. Larangannya tidak didengarkan, dan dia pergi tanpa memberitahunya."Jam berapa dia pergi?""Sekitar pukul enam, Tuan," jawab pelayan dengan kepala tertunduk. Dia pikir Alexander sudah mengetahuinya dan memberinya izin. Alexander masuk kembali ke dalam kamarnya. Dia melepaskan jas yang sudah membalut rapi tubuhnya–menyisakan rompi hitam dengan kemeja putih. Alexander menatap jam dinding yang menunjukkan pukul setengah tujuh. Rencananya dia akan pergi ke Venice untuk urusan pekerjaan setelah ini. Tapi sepertinya lelaki itu akan membatalkannya. Menyusul Arandra–menjemput dan membawanya pulang akan menjadi hal yang lebih penting."Kau dari mengantar istriku kan?" Alexander baru akan masuk ke mobilny
Arandra menatap keluar melalui jendela mobil di sampingnya dengan kedua tangan terlipat di perut. Hujan tiba-tiba turun dengan sangat deras, membasahi jalanan dan pohon-pohon di sepanjang tepi jalan. "Apa kau merasa dingin?"Sebuah pertanyaan dilontarkan kepadanya, dan Arandra tidak berniat menjawabnya. Wanita itu hanya menggeleng singkat, lalu memiringkan duduknya ke arah pintu–sedikit membelakangi Alexander.Arandra akhirnya memutuskan kembali pulang–menuruti Alexander, karena tidak ingin memperpanjang perdebatan mereka. Arandra tidak mau memperlihatkan masalah rumah tangganya kepada orang-orang yang berada di dalam bus. Arandra turun dari bus di saat Alexander masih terdiam setelah Arandra menyampaikan kebohongan lelaki itu yang sudah dia ketahui. Tapi bahkan setelah mengetahuinya, Alexander seolah tidak berniat menjelaskan apapun padanya. Alexander merunduk ketika sebuah jas hitam diletakkan di pangkuannya. Jas itu milik Alexander. "Pakai jasnya supaya tidak kedinginan."Arandr
Arandra mengangkat kelima jarinya ke atas, seolah tengah menyentuh langit yang tidak berawan. Wanita itu sedang duduk di balkon kamarnya dengan kepala menyender di pundak Alexander yang duduk di sebelahnya."Aah, seharusnya aku ada di Lorca sekarang," ucap Arandra sambil mencebikkan bibir. Lalu wanita itu menegakkan kepalanya, menoleh pada Alexander–menatapnya dengan wajah ditekuk. "Kau sangat menyebalkan. Kenapa harus menjemputku?"Alexander mendengus, menampilkan wajah sama kesalnya dengan Arandra. "Kau yang menyebalkan. Sudah aku bilang untuk jangan pergi. Kau tetap saja masih pergi. Dasar pembangkang," omelnya.Arandra memajukan bibirnya sambil membuang muka. Merasa kesal, tapi tidak bisa membalas karena memang dia salah. Alexander sudah melarangnya untuk pergi, tapi dia tetap pergi, tanpa memberitahunya pula."Alex, aku boleh bekerja?" tanya Arandra tiba-tiba. Wajah muramnya sudah menghilang. Dia menatap Alexander dengan mata berbinar penuh harap–mendadak terpikirkan keinginan it
Alexander menatap ke sekitar dengan tangan merangkul pinggang Arandra di saat satu tangannya lagi menggeret koper berwarna biru. "Penerbangannya jam berapa?" Arandra bertanya. Dia menoleh ke sekitar–sudah sangat ramai orang dengan koper-koper yang dibawanya meski hari masih sangat pagi. Alexander melepas pegangannya di pinggang Arandra sebentar untuk memeriksa tiket yang dibawanya. "enam lebih tiga puluh lima. Masih sekitar setengah jam lagi," jawab Alexander, lalu dengan cepat meraih pinggang Arandra lagi dan menariknya lebih merapat padanya di saat seseorang dari arah belakang hampir menabraknya. Alexander berdecak. "Padahal kita tidak perlu bangun pagi-pagi sekali dan menunggu seperti ini jika kau mau menggunakan helikopter," keluhnya. Arandra menggeleng keras. "Aku hanya ingin liburan seperti orang normal, Alex," balasnya. Alexander melebarkan mata, menggeram kesal. "Memangnya selama ini kita tidak normal?" tanyanya sewot sembari mendudukkan Arandra di kursi tunggu keberangkat
"Kau ingin pergi ke mana lagi besok?" Arandra menatap langit-langit kamar sambil memainkan jemari Alexander yang lengannya dia gunakan sebagai bantalan kepalanya. "Eung...tidak tahu. Aku ikut saja denganmu," jawab Arandra karena belum memikirkan tempat-tempat mana saja yang ingin dia kunjungi selain melihat air mancur di Trevi Fountain."Hm. Baiklah. Sekarang tidurlah. Kau pasti lelah setelah berjalan-jalan seharian," ucap Alexander sembari mengeratkan pelukannya. Sempat menatap keluar sekilas dari jendela di belakang Arandra yang tirainya dibiarkan terbuka. Suasana di luar sudah gelap. Malam datang menampilkan bintang-bintang yang menghiasi langitnya."Alex." Arandra mengangkat sedikit kepalanya. Menatap Alexander yang telah memejamkan mata. Alexander membuka matanya lagi. Menatap Arandra bertanya."Aku sedang memakai yang tadi kita lihat," bisik Arandra dengan senyum malu. Alexander sempat diam untuk berpikir apa yang dimaksud Arandra, lalu bola matanya membesar. "Padahal aku me
Rasanya waktu berlalu dengan cepat. Arandra tidak menyadarinya. Dengan ayah dan ibu mertuanya, serta Alexander yang selalu ada bersamanya, harinya selalu terasa bahagia. Semua masalah yang dihadapinya jadi tidak terasa berat karena ada mereka.Alexander... Arandra sangat beruntung memilikinya. Dia selalu ada bersamanya. Selama satu tahun ini...Satu tahun pernikahan mereka. Arandra tidak akan menyadarinya jika tidak melihat tanggal yang tertera di album foto pernikahan mereka yang kebetulan dilihatnya. Tidak terasa sudah satu tahun. Apakah Alexander mengingatnya?Lelaki itu sangat sibuk sejak beberapa bulan belakangan ini. Arandra melihatnya seolah dia ingin menguasai dunia. Tidak ada waktu tanpa bekerja. Dia bahkan sudah pergi berangkat bekerja pagi-pagi sekali tadi–tidak ada pembahasan tentang hari jadi pernikahan mereka. Jadi sudah pasti lelaki itu tidak mengingatnya. Alexander terlalu sibuk.Arandra menghela napas lega–karena setidaknya dengan kesibukan Alexander, kemungkinan lela
Arandra melangkahkan kakinya memasuki taman sambil menatap liar ke sekitar. Di sini cukup gelap, hanya ada beberapa lampu remang-remang yang menerangi. Setelah menimbang-nimbang cukup lama, Arandra akhirnya pergi ke taman dan di jam yang tertulis di dalam kertas–hanya dengan gaun tidur yang dilapisi jaket hijau tebal, karena pada awalnya dia memang tidak berniat untuk datang ke sini. Tapi karena rasa penasarannya yang terlalu tinggi, Arandra pergi dengan ditemani Rosaline. Wanita paruh baya itu diminta Arandra untuk menunggunya di depan taman.Arandra sempat berpikir jika yang memberikan paket itu adalah Alexander. Lelaki itu sengaja–berpura-pura tidak ingat jika hari ini adalah hari jadi pernikahan mereka, tapi nanti akan memberikan kejutannya di akhir. Lalu Arandra sadar, itu jelas tidak mungkin. Alexander bahkan tidak bisa dihubungi sejak tadi siang saat Arandra ingin bertanya soal paket itu. Ketika dia bertanya pada Adrian, lelaki itu berkata jika Alexander masih ada di kantor. M
Arandra membasuh mulutnya setelah mengeluarkan isi perutnya di dalam closet. Lalu dia mengambil tisu, mengeringkan tangannya sambil menatap wajahnya di pantulan cermin. Lalu Arandra membuka pintu kamar mandi yang dikuncinya dengan rapat. Kembali ke ranjang–merangkak masuk ke pelukan Alexander lagi. "Dari mana?"Arandra menatap Alexander. Kelopak matanya masih tertutup, tapi sepertinya dia sudah bangun."Kamar mandi," jawab Arandra sambil menggerakkan tubuhnya–mencari posisi yang nyaman untuk berbaring."Jam berapa sekarang?" Alexander membuka sedikit matanya, melihat jam dinding, lalu menutup matanya lagi. "Tidurlah lagi. Masih sangat pagi," ucapnya sambil mengusap rambut bagian belakang Arandra dengan mata terpejam.Arandra menutup matanya–merasa tenang. Karena Alexander tidak membahasnya, berarti dia tidak mendengar apapun dari dalam kamar mandi. "Ah iya, nanti akan ada crew TV datang ke sini."Arandra membuka matanya. Menatap Alexander yang juga sudah membuka matanya . "Untuk apa