Arandra membasuh mulutnya setelah mengeluarkan isi perutnya di dalam closet. Lalu dia mengambil tisu, mengeringkan tangannya sambil menatap wajahnya di pantulan cermin. Lalu Arandra membuka pintu kamar mandi yang dikuncinya dengan rapat. Kembali ke ranjang–merangkak masuk ke pelukan Alexander lagi. "Dari mana?"Arandra menatap Alexander. Kelopak matanya masih tertutup, tapi sepertinya dia sudah bangun."Kamar mandi," jawab Arandra sambil menggerakkan tubuhnya–mencari posisi yang nyaman untuk berbaring."Jam berapa sekarang?" Alexander membuka sedikit matanya, melihat jam dinding, lalu menutup matanya lagi. "Tidurlah lagi. Masih sangat pagi," ucapnya sambil mengusap rambut bagian belakang Arandra dengan mata terpejam.Arandra menutup matanya–merasa tenang. Karena Alexander tidak membahasnya, berarti dia tidak mendengar apapun dari dalam kamar mandi. "Ah iya, nanti akan ada crew TV datang ke sini."Arandra membuka matanya. Menatap Alexander yang juga sudah membuka matanya . "Untuk apa
Mereka duduk berhadapan–saling menatap dengan ekspresi kebahagiaan di wajah masing-masing. Tampil serasi dengan Arandra yang memakai long dress putih dan rambut hitam panjangnya yang digerai, di saat Alexander mengenakan kemeja putih dan celana bahan hitam. Terlihat sederhana dan simpel. Namun menjadi lebih natural dan romantis dalam jepretan kamera. "Kenapa?" Arandra bertanya tanpa suara, karena Alexander yang masih terus menatapnya di saat fotografer mengakhiri sesi pemotretan mereka–setelah banyak foto telah diambil dengan beberapa pakaian yang berbeda."Sedang mengagumi kecantikanmu."Arandra berdecih geli. Tidak ada hari di mana Alexander tidak memujinya. Lelaki itu selalu mengeluarkan pujiannya di semua waktu yang dia punya. Arandra sampai bosan.Arandra bangkit lebih dulu dari tempat duduknya yang beralaskan kain putih yang dibentangkan–di tangannya dia membawa beberapa tangkai bunga mawar putih. Lalu Arandra mengulurkan tangannya yang bebas pada Alexander–berniat membantunya
Setelah kejutan yang diberikan Alexander, lalu wawancara dan anniversary photoshoot yang mereka lakukan, lelaki itu ternyata juga menyiapkan garden party untuk merayakan satu tahun pernikahan mereka. Arandra benar-benar tidak diberitahu apapun. Alexander merencanakan semuanya sendiri. Lelaki itu sangat bekerja keras untuk membuat perayaan satu tahun pernikahan mereka berkesan."Sudah siap, Ara?"Arandra menoleh ke arah pintu. Alexander masuk–tampil menawan dalam balutan suit set berwarna pink dan turtleneck top putihnya. Arandra bangkit dari kursi meja riasnya. Pelayan sudah selesai menata rambutnya–menyanggulnya dengan rapi, menyisakan anak rambut yang menjuntai di sisi kiri dan kanan. Wajah Arandra dirias dengan riasan natural, namun tetap memancarkan aura kecantikan yang luar biasa. Ditambah gaun model off shoulder dengan bagian rok yang berbentuk A-Line dengan sentuhan tile pink, Arandra terlihat sangat anggun dan feminim."Sudah," jawab Arandra, lalu meriah uluran tangan Alexan
Alexander menusuk potongan roti tawar dengan selai blueberry di dalamnya menggunakan garpu, kemudian memasukkannya ke dalam mulut di saat satu tangannya lagi sibuk bergerak di atas layar ponselnya."Rosaline!""Iya, Tuan?" Wanita paruh baya yang namanya terpanggil itu bergegas menghampiri Alexander–berdiri di samping Alexander yang duduk dengan tenang di meja makan."Kemungkinan aku akan pulang malam nanti. Kau awasi Arandra. Pastikan dia makan, tidur siang, dan meminum vitaminnya," pesan Alexander pada pelayan pribadi Arandra itu. "Baik, Tuan." Rosaline mengangguk patuh. "Apakah Nyonya Arandra masih tidur?""Hm. Bangunkan dia saat sudah waktunya sarapan. Sekarang biarkan saja dulu. Dia–""Alex..."Ucapan Alexander terpotong karena suara lembut seseorang yang sudah sangat dia kenali. Arandra muncul dari balik pintu ruang makan dengan gaun tidurnya yang berwarna biru–terlihat jelas baru bangun tidur dan belum mencuci wajahnya, rambutnya pun masih berantakan. "Kemari." Alexander meren
Arandra memberikan gelasnya kembali ke pelayan setelah meminum sedikit airnya. Kemudian meletakkan kepalanya lagi di kepala ranjang–masih merasa pusing."Nyonya Arandra pingsan karena terlalu kelelahan." Rosaline bersuara. Lalu dia menatap Arandra dengan wajah garang–seperti seorang ibu yang siap memarahi anaknya. "Saya kan sudah bilang agar Nyonya istirahat saja. Tapi Nyonya tidak mendengarkan dan ngotot berkebun. Karena itu berakhir pingsan seperti ini."Arandra meletakkan jemarinya di pelipis–memijatnya sambil memejamkan mata. Tidak menanggapi kalimat Rosaline yang terdengar seperti omelan untuknya. Arandra hanya memajukan bibirnya sesaat. Tapi kemudian dia membuka mata cepat ketika menyadari sesuatu. Jas biru Alexander–yang lelaki itu pakai saat ke kantor tadi pagi–sudah tersampir di sandaran sofa sejak Arandra membuka matanya beberapa saat lalu."Alex sudah pulang?" tanya Arandra cepat. "Sudah, Nyonya. Saya tadi menghubungi Tuan dan memberitahukan jika Nyonya Arandra pingsan. Tu
“Saya, Alexander Andrew William, mengambil engkau, Arandra Hana Genoveva, untuk menjadi istri saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya; Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita. Dan inilah janji setia saya yang tulus.”“Saya, Arandra Hana Genoveva, mengambil engkau, Alexander Andrew William, untuk menjadi suami saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya; Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita. Dan inilah janji setia saya yang tulus.”Sebuah upacara pernikahan diselenggarakan hari ini. Sang pastor menuntun kedua mempelai untuk membaca sumpah pernikahan. Tapi dengan nama pengantin yang berbeda. Pengantin prianya bukan lagi Axellino Andrick William, melainkan Al
Berbaring dengan mata terbuka menatap langit-langit kamar, Arandra menyentuh bibir bawahnya dengan jemari lentiknya–dengan pikiran yang tertuju entah kemana. Mungkin mengingat kembali bagaimana semua cerita ini dimulai. Ketika Axellino mengutarakan niatnya untuk menikahinya pada kedua orang tuanya, Arandra tidak bisa menggambarkan kegembiraannya saat itu. Dia sangat bahagia. Tapi semua kegembiraan itu lenyap karena satu kejadian tidak terduga. Padahal pernikahan sudah di depan mata. Semua persiapan sudah dilakukan. Cincin sudah dibeli, gaun sudah dipesan, dan undangan hanya tinggal disebar. Tapi semuanya harus dibatalkan karena kecelakaan yang menewaskan Axellino. Ya, calon pengantin pria meninggal dunia karena kecelakaan mobil. Arandra masih ingat dengan jelas bagaimana rapuhnya dia saat Axellino meninggal. Lelaki itu adalah satu-satunya orang yang Arandra punya–ketika Ibu dan Ayahnya tidak memiliki banyak waktu untuknya. Tidak sekalipun dia merasa sendirian ketika lelaki itu ada
"Ibu meminta pelayan untuk menghilangkan bawang bombay di tortillanya ketika memasaknya. Jadi kau bisa memakannya." Arandra mengangkat wajah, menatap Anggy yang duduk di depannya. Arthur duduk di kursi paling ujung. Sementara dia sendiri duduk di sebelah Alexander. "Semua makanannya juga tidak menggunakan cabai, karena kau tidak bisa memakan makanan pedas." Anggy kembali bersuara. "Oh iya, kau tidak boleh memakan yang ini. Di dalamnya ada udangnya. Kau kan alergi udang." Dia menunjuk satu masakan yang terdapat udang di dalamnya. Arandra mengangguk-angguk. Anggy tahu apa yang dia sukai dan tidak sukai, apa yang dia bisa makan dan tidak bisa makan. Dia terlihat sangat memperhatikan Arandra. Berbagai perasaan muncul di hatinya. Terharu, tersentuh, dan juga senang. Anggy memang seperti itu. Tapi Arandra tetap selalu menikmati perhatiannya. Dia tersenyum senang–sebelum senyum itu dengan cepat lenyap hanya karena satu pesan masuk dari Ibunya. [Ibu dan Ayah harus kembali ke Korea sekara