Setelah kejutan yang diberikan Alexander, lalu wawancara dan anniversary photoshoot yang mereka lakukan, lelaki itu ternyata juga menyiapkan garden party untuk merayakan satu tahun pernikahan mereka. Arandra benar-benar tidak diberitahu apapun. Alexander merencanakan semuanya sendiri. Lelaki itu sangat bekerja keras untuk membuat perayaan satu tahun pernikahan mereka berkesan."Sudah siap, Ara?"Arandra menoleh ke arah pintu. Alexander masuk–tampil menawan dalam balutan suit set berwarna pink dan turtleneck top putihnya. Arandra bangkit dari kursi meja riasnya. Pelayan sudah selesai menata rambutnya–menyanggulnya dengan rapi, menyisakan anak rambut yang menjuntai di sisi kiri dan kanan. Wajah Arandra dirias dengan riasan natural, namun tetap memancarkan aura kecantikan yang luar biasa. Ditambah gaun model off shoulder dengan bagian rok yang berbentuk A-Line dengan sentuhan tile pink, Arandra terlihat sangat anggun dan feminim."Sudah," jawab Arandra, lalu meriah uluran tangan Alexan
Alexander menusuk potongan roti tawar dengan selai blueberry di dalamnya menggunakan garpu, kemudian memasukkannya ke dalam mulut di saat satu tangannya lagi sibuk bergerak di atas layar ponselnya. "Rosaline!" "Iya, Tuan?" Wanita paruh baya yang namanya terpanggil itu bergegas menghampiri Alexander–berdiri di samping Alexander yang duduk dengan tenang di meja makan. "Kemungkinan aku akan pulang malam nanti. Kau awasi Arandra. Pastikan dia makan, tidur siang, dan meminum vitaminnya," pesan Alexander pada pelayan pribadi Arandra itu. "Baik, Tuan." Rosaline mengangguk patuh. "Apakah Nyonya Arandra masih tidur?" "Hm. Bangunkan dia saat sudah waktunya sarapan. Sekarang biarkan saja dulu. Dia–" "Alex..." Ucapan Alexander terpotong karena suara lembut seseorang yang sudah sangat dia kenali. Arandra muncul dari balik pintu ruang makan dengan gaun tidurnya yang berwarna biru–terlihat jelas baru bangun tidur dan belum mencuci wajahnya, rambutnya pun masih berantakan. "Kemari." Alexande
Arandra memberikan gelasnya kembali ke pelayan setelah meminum sedikit airnya. Kemudian meletakkan kepalanya lagi di kepala ranjang–masih merasa pusing."Nyonya Arandra pingsan karena terlalu kelelahan." Rosaline bersuara. Lalu dia menatap Arandra dengan wajah garang–seperti seorang ibu yang siap memarahi anaknya. "Saya kan sudah bilang agar Nyonya istirahat saja. Tapi Nyonya tidak mendengarkan dan ngotot berkebun. Karena itu berakhir pingsan seperti ini."Arandra meletakkan jemarinya di pelipis–memijatnya sambil memejamkan mata. Tidak menanggapi kalimat Rosaline yang terdengar seperti omelan untuknya. Arandra hanya memajukan bibirnya sesaat. Tapi kemudian dia membuka mata cepat ketika menyadari sesuatu. Jas biru Alexander–yang lelaki itu pakai saat ke kantor tadi pagi–sudah tersampir di sandaran sofa sejak Arandra membuka matanya beberapa saat lalu."Alex sudah pulang?" tanya Arandra cepat. "Sudah, Nyonya. Saya tadi menghubungi Tuan dan memberitahukan jika Nyonya Arandra pingsan. Tu
Alexander tidak kembali ke kamar mereka hingga malam tiba. Dia tidak mau berbicara dengan Arandra. Ketika memiliki masalah, mereka hanya perlu saling membicarakannya–lalu masalah mereka selesai begitu saja. Tapi jangankan untuk berbicara, Alexander bahkan sepertinya tidak mau melihat wajahnya. Arandra menunduk dalam. Dia tahu dia salah. Alexander pasti sangat kecewa padanya. Arandra tidak berniat terus menyembunyikan kehamilannya darinya. Dia hanya ingin menunggu waktu yang tepat untuk mengatakannya. Arandra ingin meyakinkannya terlebih dahulu bahwa dia akan baik-baik saja dengan kehamilan ini. Tapi Alexander ternyata mengetahuinya lebih dulu. Dan sekarang lelaki itu sangat marah."Jangan didengarkan perkataan Alex tadi, ya. Dia hanya sedang marah," ucap Arandra sambil mengelus perutnya dengan sayang. Bagaimanapun anak ini adalah anaknya. Alexander pasti akan menerimanya. Arandra menghapus air matanya, kemudian menyingkap selimut–menurunkan kakinya dari ranjang. Berniat keluar untuk
Alexander menampilkan wajah datar di saat matanya menatap tanpa berkedip layar monitor yang memperlihatkan dua janin seukuran buah stroberi. Mereka kembar. Karena itu Arandra menyebut kata 'mereka' dalam kalimatnya sebelumnya.Apakah Alexander merasa senang? Dia tidak tahu. Setelah kehilangan anaknya yang pertama, sekarang Tuhan menggantinya dengan memberikannya dua sekaligus. Tapi apakah harus dengan taruhan nyawa Arandra? Lebih baik tidak perlu. Alexander hanya membutuhkan Arandra. "Apakah jenis kelamin bayinya sudah bisa diketahui?!"Bola mata Alexander melirik Arandra yang berbaring di ranjang–tampak antusias dengan pertanyaan yang diajukannya pada dokter. "Belum ya, Mrs. Alexander. Jenis kelamin bayinya baru bisa diketahui setelah sekitar 16 minggu kehamilan."Lalu tampak Arandra mengerucutkan bibirnya sebagai tanda kecewa atas jawaban yang diberikan dokter perempuan itu. Hanya sebentar ketika kemudian wanita itu mendongak–menatap Alexander yang berdiri di samping kepalanya den
"Sebuah teori menyebutkan bahwa Ayah akan lebih cenderung merawat anaknya dengan lembut dan penuh kasih sayang jika anak tersebut mirip dengannya." Kening Arandra berkerut membaca sebuah kalimat dalam buku yang sedang dibacanya. Arandra merebahkan tubuhnya dengan posisi telungkup–mencari posisi yang lebih nyaman untuk membaca. Namun menyadari apa yang dia lakukan, wanita itu langsung beranjak bangun lagi.Arandra mengusap perutnya dengan gumaman permintaan maaf. Kemudian dia melirik Alexander yang berada di sofa dengan posisi setengah berbaring. Matanya terpaku pada ponsel di tangannya. Arandra tersenyum. "Kalian harus mirip dengan Alex ya ketika sudah lahir nanti," gumam Arandra, berbicara pada kedua anaknya. Alexander yang sempurna. Mereka harus mirip dengannya. "Kenapa?" tanya Arandra ketika kemudian Alexander menolehkan kepala ke arahnya. Di saat wanita itu yang sejak tadi memandangi Alexander, dia malah yang bertanya dengan santainya.Alexander mengarahkan kembali matanya pada
Arandra sedikit mendongakkan kepala untuk menatap wajah Alexander. Lelaki itu berbaring di sebelahnya–menyangga kepalanya dengan satu tangan di saat tangannya yang lain mengusap kepala Arandra."Tidur," kata Alexander dengan raut tenangnya sembari terus mengusap kepala Arandra. Sudah cukup dia marah pada wanita ini. Alexander tidak bisa terus melakukannya. Arandra selalu memiliki cara untuk menghentikan amarahnya.Arandra memperlihatkan deretan giginya yang tersusun dengan rapi–tersenyum cerah. Lalu dia menempelkan wajahnya di dada Alexander, memejamkan matanya."Aku sangat menyayangimu, Ara."Arandra membuka lagi matanya, menatap Alexander. Lalu sebelah tangannya terangkat, menyentuh rahang Alexander."Alex..." Arandra menatap serius Alexander. "Aku berjanji akan melahirkan mereka dengan selamat. Mereka berdua akan baik-baik saja sampai dilahirkan nanti."Alexander mengangguk dengan senyum kecil. "Dan kau juga harus baik-baik saja," ucapnya menambahkan.Arandra tidak memberikan tangg
Kelopak mata Arandra bergerak-gerak karena terusik oleh kecupan-kecupan yang mendarat di wajahnya. Perlahan dia membuka mata, lalu mendapati Alexander di depannya dengan sebuah senyuman tipisnya."Kau sudah pulang?!" Arandra langsung bangun, menerjang Alexander dan langsung memeluknya sambil tertawa riang. Alexander terkekeh kecil. "Rapatnya tadi lebih lama dari biasanya. Jadi aku pulang telat," beritahunya. "Aku menghubungimu beberapa kali. Tapi kau tidak mengangkatnya."Arandra menyengir. "Aku tidur.""Sepanjang hari?"Arandra mengangguk. "Aku bermain sebentar dengan Zzar tadi. Setelah itu kembali tidur."Alexander mengusap puncak kepala Arandra sambil mengamati wajahnya. "Wajahmu kenapa pucat?" Lelaki itu memperhatikan wajah Arandra dengan teliti, baru menyadarinya.Kening Arandra berkerut. "Memangnya iya?" Dia menyentuh wajahnya sendiri–memeriksa tanpa melihat wajahnya. "Tapi aku baik-baik saja. Mungkin karena terlalu banyak tidur," jawabnya asal. Alexander berdecak, dia akan me