Di rumah sakit, Shin yang baru selesai melakukan tindakan pada pasien yang melakukan perawatan gigi kembali ke ruangannya. Ia termagu seorang diri seraya berdiri di depan jendela yang menghadap langsung jalan raya. Pemandangan lalu lalang siang itu sedikit mengalihkan pikiran Shin. Sejak dua bulan lalu ia bertemu Aira, sejak itu pula ia tidak baik-baik saja. Hidupnya masih sama seperti sebelumnya. Ia menjalani hari dengan baik. Dinas di rumah sakit lalu pulang dan menghabiskan waktu bersama Alika. Itu sudah menjadi rutinitas Shin bertahun-tahun ini.Tapi di sini, yang tidak baik-baik saja itu perasaannya. Wajah Aira selalu hadir dalam pikiran pemuda itu. Ia pikir ia baik-baik saja tapi Shin salah. Ia jatuh terlalu dalam.Sangat dalam bahkan Shin yakin jika sebentar lagi ia mungkin akan tenggelam ke dasar. Tidak ada yang bisa ia lakukan sebelum teka teki akan masa lalu dan apa hubunganya antara ia dan Aira terungkap.Sejujurnya tersirat kekhawatiran dan diri Shin andai nanti ia telah
Ia masih duduk di sana ketika sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan panti. Aira memperhatikan mobil mewah itu dan menebak siapa gerangan yang datang mengunjungi panti sepagi ini. Biasanya donatur kalau datang juga agak siangan. Tidak lama rasa penasaran Aira terbayarkan ketika sosok gagah Shin muncul dari balik pintu mobil. Pemuda itu mengenakan celana hitam dipadu kemeja biru yang dimasukkan dan tampak rapi seperti biasa. Ketampanan Shin memang tidak diragukan lagi. Wajahnya adalah pahatan sempurna Sang pencipta. Kamu akan jatuh hati hanya karena senyuman atau tatapan matanya. Sama seperti Aira yang tersesat selama bertahun-tahun dalam keindahan dan kebaikan yang dokter tampan itu berikan. Melihat Shin melangkah ke arahnya, Aira merasa gugup. Gadis itu memperbaiki letak kerudung beberapa kali. Sedangkan Mila tidak berkata apa-apa yang menatap lekat Shin yang menuju ke arah mereka. "Pagi, Aira," sapa Shin dengan suara rendahnya yang terdengar sangat indah di telinga Aira.
Pertanyaan itu hanya biasa Aira redam dalam kepala. Ia masih bisa menahan diri untuk tidak mengatakan itu kepada pemuda tampan yang masih belum beranjak dari hadapannya saat ini. Ini sangat menyiksa. Shin hanya berjarak beberapa langkah darinya, tetapi seperti terbentang jarak bermil-mil jauhnya karena Aira tidak akan bisa menyentuh cinta pertamanya itu."Tidak ada bisa kulakukan Dokter Shin. Aku pikir Anda sudah menyia-nyiakan waktu berharga Anda dengan datang ke sini. Sebaiknya Anda segera pergi ke rumah sakit." Aira kembali bicara dengan bahasa formal.Usai mengatakan demikian, Aira berdiri. Mila sudah pergi sejak tadi. Dan, saat ini Aira merasa tidak enak hati lantaran menjadi pusat perhatian penghuni panti. Bahkan, Bibi Yan yang biasa cuek kini tersenyum manis dan menghampiri Aira."Pagi. Apakah kamu teman laki-lakinya Aira?"Bibi Yan dengan ramah menyapa Shin tanpa sungkan sama sekali. Padahal harusnya wanita tua itu malu dengan usianya."Bibi ...." Aira ingin menjelaskan tapi
Malamnya, Shin dan Alika bersiap ke rumah orang tua Shin sebagaimana jadwal mereka yang sudah ditentukan sejak kemarin. Shin tampak tampan seperti biasa dalam balutan baju kaus berwarna putih dipadukan celana jins hitam. Sementara itu, Alika mengenakan setelan tunik berwarna putih dilengkapi tas tangan warna hitam.Mereka berdua terlihat serasi. Benar-benar pasangan luar biasa. Cantik dan tampan. Keduanya sangat mencambuk semua orang. Wajar jika orang-orang begitu iri dengan pasangan dokter ini. Seakan mereka diciptakan memang untuk bersama-sama."Al, kamu sudah siap?" Shin melirik Alika yang masih duduk di meja rias."Sudah, ayo!" Alika berdiri dan meraih tasnya lalu mendekati Shin. Berada di sisi suaminya itu senyum Alika mengembang meskipun ia deg-degan seperti biasa jika ingin ke rumah sang mertua.Bukannya apa-apa, Alika tahu kemana nanti arah pembicaraan mereka. Pastinya tidak jauh-jauh dari anak. Jika sudah begitu, Alika akan kehilangan minatnya selama makan malam berlangsung.
Padahal, Alika sudah sering mendengar pertanyaan yang sama terlontar dari sang mertua. Tapi tetap saja bagi dokter kandungan itu, pertanyaan ibu mertuanya lebih horor daripada makhluk astral. Kalau boleh memilih, Alika ingin terbebas dari pertanyaan kapan punya anak? Kapan ngasih kami cucu?Hampir putus asa setiap kali ia harus menjawab dan menjelaskan berulang-ulang. Usaha sudah ia lakukan, tetapi hasil tidak bisa ia tentukan. Sepenuhnya itu ada di tangan yang Kuasa."Masih belum menampakkan hasil, Ma," jawab Alika pelan serupa bisikan. Wanita dengan tatapan lembut itu hanya menunduk dan tidak berani menatap mata orang di hadapannya.Ia berharap acara makan malam ini segera berakhir dengan cepat. Alika ingin segera pulang."Alika, Mama dan Papa ingin bicara serius," ujar Matilda. Wanita tua itu menatap Shin dan Alika bergantian.Shin yang menyadari kegugupan Alika, segera menggenggam jemari wanita itu yang berada di pangkuan. Shin tahu Alika pasti tidak nyaman berada di situasi ini.
Selama perjalanan pulang ke rumah, Shin dan Alika sepakat mengunci mulut mereka. Mood Alika sudah hancur sejak makan malam belum dimulai. Ia tidak menyangka jika mertuanya memberikan pilihan seperti itu sebagai solusi.Alika ingin marah, tetapi ia tidak bisa. Bagaimanapun semua ini ada andil dirinya. Andai secepatnya ia dapat memberikan Shin anak, pasti orang tua Shin tidak akan ikut campur dalam rumah tangganya hingga sejauh ini.Sekarang Alika hanya bisa berdoa dan berusaha agar di rahimnya segera hadir buah hati mereka. Dengan begitu Alika pikir ia bisa menyelamatkan pernikahannya.Mobil berbelok dan berhenti di depan rumah. Tanpa berkata-kata, Alika turun dari mobil lebih dulu langsung masuk rumah. Dokter cantik itu tidak mau bersusah-susah menunggu Shin atau sekadar berbasa-basi. Yang ingin Alika lakukan sekarang adalah tidur lebih cepat dan menangkan gemuruh di dadanya.Shin melepas sepatu lalu menyusul Alika masuk. Bukan hanya Alika yang kaget, Shin pun sama. Ia juga tidak meny
Ini sudah dua bulan berlalu sejak kecelakaan hari itu. Aira sudah pulih sepenuhnya. Gadis cantik itu sedang duduk menghadap laptop. Ia kembali menulis setelah beberapa waktu hiatus karena tangannya waktu itu terluka.Dalam keheningan malam, saat penghuni panti telah terlelap, Aira masih terjaga dan mengetik naskah. Banyak pembaca setia novel-novelnya menanyakan kelanjutan cerita yang belum selesai ia tulis.Sebagai penulis, Aira merasa mempunyai tanggung jawab terhadap pembacanya. Ia memiliki prinsip akan menyelesaikan apa yang sudah ia mulai. Ketika jam berdentang dua belas kali, Aira menghentikan gerakan gemarinya di atas keyboard. Gadis itu menoleh dan tidak ada siapa-siapa kecuali suara dengkuran halus Mia.Aira merenggangkan otot leher dan tangannya. "Ah, cerita ini terlalu mengasyikan. Sepertinya aku engga mau buru-buru membuat endingnya." Aira kembali membaca deretan tulisan di layar laptopnya. Gadis itu tiba-tiba merasa seperti ia mengulang kisah bersama Shin.Kisah masa kec
Cahaya mentari pagi mengiringi Aira yang sedang mengayuh sepeda menuju pasar. Keadaan kembali normal dan ia sudah bisa melalukan semuanya sepertia sedia kala. Aira mengayuh lebih cepat agar ia bisa segera kembali ke panti. Semalam Paman Dion menghubungi dan mengatakan akan datang ke panti siang ini. Untuk pertama kali setelah hampir lima tahun Paman Dion kembali menghubungi gadis itu.Tidak seperti apa yang lelaki itu katakan saat pertama kali mengantar Aira ke panti. Di mana Dion mengatakan akan sering mengunjungi Aira. Pada kenyataannya, tahun bergulir Aira benar-benar sendirian. Gadis cantik itu merasa kalau dirinya sudah dibuang dan dilupakan. Tidak ada satu orang pun yang peduli. Mereka yang ia harapankan bisa menjadi tumpuan malah hilang bak di telan bumi. Tidak Dion tidak juga Shin.Tiba di pasar suasana ramai seperti biasa. Aira turun dari sepeda kemudian menuju tempat penjualan sayur."Beli apa, Neng cantik?" ujar seorang penjual wanita ramah.Aira tersenyum kemudian berkata