Sakhala menuruni tangga sambil memasang kancing di lengan kemejanya. Aroma laut berpadu dengan kayu manis menguar jelas dari tubuhnya. Sakhala selalu terlihat tampan seperti biasa. Apa lagi dengan tatanan rambut yang dibuat naik ke atas.
"Selamat pagi, Bang Sakha."
"Selamat pagi juga, Ariana." Sakhala tersenyum lantas mengusap puncak kepala adik perempuannya dengan gemas sebelum duduk di meja makan.
"Abang, hari ini lembur lagi?" tanya Ruth—ibu Sakhala sambil menuang susu ke dalam gelas untuk Ariana karena beberapa hari ini Sakhala lebih sering menghabiskan waktu di kantor.
"Abang sengaja lembur bukan untuk menghindari mama, kan?"
"Uhuk!" Sakhala yang sedang minum sontak terbatuk-batuk karena terkejut mendengar pertanyaan Ruth.
Dia memang sengaja pulang larut malam karena Ruth selalu saja memaksanya untuk segera menikah. Dia tidak tahan mendengarnya. Lagi pula dia belum siap untuk menikah dan masih kepikiran dengan Dayana. Entah kenapa gadis itu enggan enyah dari pikirannya.
"Kalau minum pelan-pelan, Abang." Ariana mengusap punggung Sakhala dengan tangannya yang mungil. Gadis kecil berusia tujuh tahun itu terlihat sangat menggemaskan.
Sakhala pun menarik napas panjang agar merasa lebih tenang sebelum bicara. "Untuk apa abang menghindari, Mama? Abang pulang larut malam karena banyak kerjaan. Apa lagi papa meminta abang untuk mengurus perusahaan yang lama."
Ruth mengangkat kedua bahunya ke atas. "Yah, siapa tahu Abang sengaja menghindari mama karena bosan mama suruh untuk cepat menikah."
Sakhala kelabakan karena Ruth selalu tahu apa yang ada di pikirannya. Namun, dia berusaha agar tetap terlihat tenang. "Tidak, Ma. Abang memang banyak kerjaan di kantor."
"Jadi, Abang mau nikah kapan?"
Sakhala mendesah panjang karena Ruth mulai lagi memaksanya untuk segera menikah. Dia bosan sekali mendengarnya. Lebih baik dia segera berangkat karena hari ini hari pertamanya menggantikan sang ayah memimpin perusahaan yang lama.
"Ariana, abang mau berangkat sekarang. Kamu mau bareng abang atau diantar pak Surya?"
"Ariana mau bareng Abang." Ariana cepat-cepat menghabiskan susunya lantas berpamitan pada Ruth.
"Mama, Ariana berangkat sekolah dulu, ya."
"Hati-hati ya, Sayang. Belajar yang benar." Ruth mengecup kedua pipi putri bungsunya itu dengan penuh sayang.
Sakhala mengemudikan Audy hitamnya dengan kecepatan sedang. Dua puluh menit kemudian dia tiba di sekolah Ariana karena pagi ini jalanan agak macet.
"Belajar yang rajin ya, Na," ucap Sakhala sambil mengusap puncak kepala gadis kecil itu dengan gemas. Sakhala terlihat sangat menyayangi Ariana. Orang-orang bahkan banyak yang mengira kalau Ariana adalah anak kandungnya karena umur mereka terpaut dua puluh tahun.
"Siap, Abang."
Sakhala pun melajukan mobilnya menuju ke kantor setelah memastikan kalau Ariana sudah masuk ke kelas.
***
Dayana menekan klakson mobilnya dengan kesal karena mobilnya sama sekali tidak bisa bergerak. Jakarta dan kemacetan seolah-olah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Jakarta selalu saja macet, apa lagi saat jam-jam sibuk seperti sekarang.
"Oh, ayolah ...." Dayana mengetuk-ngetuk setir mobilnya dengan cemas. Dia takut terlambat datang ke kantor karena hari ini ada pergantian pemimpin baru di perusahaannya. Sebagai seorang karyawan dia harus bisa menunjukkan citra yang baik di depan pemimpin perusahaan yang baru.
Dayana segera menginjak gas mobilnya ketika berhasil menemukan celah untuk keluar dari kemacetan. Dia terpaksa memilih jalan lain agar bisa cepat tiba di kantor meskipun jaraknya lumayan jauh.
Empat puluh lima menit kemudian Dayana tiba kantor. Gadis itu cepat-cepat beranjak ke ruangannya yang berada di lantai sembilan setelah memarkirkan mobil di basemant.
"Astaga, Day! Jam berapa sekarang? Kenapa kamu baru datang?"
"Aku kejebak macet, Sa." Dayana buru-buru meletakkan tas kerjanya di atas meja dan memperbaiki penampilannya agar terlihat sedikit lebih rapi. "Apa pemimpin baru perusahaan kita sudah datang?"
"Mungkin sebentar lagi."
Dayana sontak mengembuskan napas lega. Untung saja dia tidak terlambat. "Bagaimana penampilanku?"
Salsa menatap Dayana dari atas sampai bawah. Sahabat sekaligus rekan kerjanya itu sekarang memakai blous putih yang dipadu dengan pencil skirt berwarna merah maroon. Dayana selalu terlihat cantik seperti biasa.
"Udah rapi, kok. Cuma lipstikmu agak—" Salsa tidak melanjutkan kalimatnya karena kepala devisi meminta mereka segera berkumpul untuk menyambut pemimpin perusahaan yang baru.
"Dengar-dengar katanya pak Sakhala memiliki wajah yang sangat tampan," bisik Salsa tepat di telinga Dayana.
"Jadi nama bos baru kita pak Sakhala?"
Salsa menghela napas panjang. "Pak Kevin kemarin kan, sudah bilang kalau nama bos baru kita itu Sakhala Ryu Jordan, Dayana? Jangan bilang kamu lupa?" decaknya terdengar kesal.
Dayana malah meringis, memamerkan dua buah gigi depannya yang tampak seperti kelinci. Dia memang tidak bisa mengingat nama orang dengan baik.
"Maaf, aku memang lupa. Kamu tahu sendiri kan, kalau aku—" Dayana sontak berhenti bicara karena Kevin menegurnya untuk diam.
"Kalian berdua diam! Bos baru kita sudah datang."
Dayana dan Salsa pun meletakkan kedua tangan mereka di depan agar terlihat sopan saat menyambut kedatangan pemimpin perusahaan yang baru.
Suasana mendadak hening, yang terdengar hanya suara hak sepatu yang beradu dengan lantai keramik. Aroma laut berpadu dengan kayu manis seketika menyeruak di indra penciuman Dayana ketika pemimpin perusahaan yang baru memasuki ruangan.
"Selamat datang, Pak Sakhala. Semoga Anda betah bekerja di kantor ini."
Sakhala menyambut uluran tangan Kevin dengan ramah lantas memandangi wajah orang yang menyambut kedatangannya satu per satu. Kedua mata lelaki itu sontak membulat ketika melihat seorang gadis berambut hitam yang berdiri lima langkah di depannya. Sakhala masih ingat dengan jelas siapa gadis itu. Dia, Dayana. Gadis yang pernah menghabiskan malam dengannya.
Dayana pun tidak kalah terkejut dengan Sakhala. Dia tidak pernah menyangka kalau lelaki yang terjebak cinta satu malam dengannya itu adalah pemimpin baru di perusahaan properti tempatnya bekerja. Kenapa dunia sempit sekali?
"Ka-kamu ...?!" Sakhala tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Jujur, dia merasa sangat terkejut melihat Dayana ada di kantornya.
***
Dayana tampak begitu serius memandangi layar komputer yang ada di hadapannya. Helaan napas panjang berulang kali lolos dari bibirnya karena pekerjaannya belum juga selesai. Dayana sebenarnya merasa sangat lelah dan ingin berhenti bekerja sejak lama. Namun, dia harus membiayai hidupnya sendiri sejak sang ayah mengusirnya dari rumah. Mau tidak mau, dia harus tetap bekerja demi mencukupi semua kebutuhannya.
Sebelum pulang Dayana mampir ke kafe langganannya karena dia ingin membeli kopi. Dia memilih duduk di bangku yang berada di dekat jedela agar bisa melihat pemandangan di luar. Suasana kafe yang sepi dan aroma kopi yang menenangkan membuat pikiran Dayana sedikit lebih tenang.
Seorang laki-laki tiba-tiba meletakkan segelas kopi di atas meja lantas duduk di kursi kosong yang berada tepat di hadapannya.
Seringaian kecil yang muncul di bibir lelaki itu membuat Dayana teringat dengan kejadian buruk yang dialaminya berapa hari yang lalu. Meski samar, Dayana masih ingat siapa lelaki yang ada di hadapannya sekarang.
"Kamu?!" pekik Dayana sambil menunjuk wajah lelaki itu. "Kenapa kamu bisa ada di sini? Apa kamu mengikutiku?"
"Sepertinya ada benang merah yang mengikat leher kita karena kita selalu bertemu di tempat yang tidak terduga, Dayana. Bagaimana kabarmu?" tanya Alex sambil mencolek dagu Dayana.
Dayana menepis tangan Alex dari dagunya dengan kasar. "Jangan menyentuhku, Alex! Aku tidak sudi disentuh oleh lelaki berengsek sepertimu!"
"Wow, calm down, Babe. Pelankan suaramu. Apa kamu ingin membuat semua orang yang ada di kafe ini melihat ke arah kita?"
Dayana beranjak dari tempat duduknya karena malas berurusan dengan Alex. Namun, lelaki itu malah mencekal pergelangan tangannya. Dayana pun berusaha melepaskan tangannya dari Alex. Akan tetapi lelaki itu malah mencengkeram pergelangan tangannya semakin erat hingga memerah.
"Lepaskan aku!"
"Aku sudah lama menyukaimu, Dayana. Kenapa kamu selalu bersikap kasar padaku? Aku akan memberikan apa pun yang kamu inginkan asalkan kau mau menjadi kekasihku."
"Aku tidak sudi menjadi kekasih dari lelaki brengsek sepertimu! Lepaskan aku, Alex!" Dayana terus berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman Alex..
Bukannya melepas, Alex malah menyeret Dayana menuju mobilnya yang terparkir di depan kafe. "Sebenarnya aku tidak suka bermain kasar. Tapi kamu sepertinya lebih senang kalau dipaksa, Dayana."
Alex memaksa Dayana agar masuk ke dalam mobilnya. Namun seseorang tiba-tiba menutup pintu mobilnya dengan kasar.
"Kau?!" Tubuh Alex seketika menegang.
"Kita bertemu lagi, Alex!" sergah seorang lelaki berwajah tampan yang masih memakai setelan kerja lengkap. “Apa urusanmu, Berengsek! Wanita ini milikku!" Alex menatap Sakhala dengan tajam sambil tetap mencengkeram pergelangan tangan Dayana. Cengkeramannya bahkan semakin kuat, seakan-akan tidak ingin Dayana direbut oleh siapa pun. "Ternyata kamu masih belum menyerah, Alex?" desis Sakhala sambil memamerkan senyum miring andalannya. "Ini bukan urusanmu! Menyingkirlah dari hadapanku atau—" "Atau apa?" Sakhala kembali menyeringai. "Apa Alex Dirgantara sudah berani mengancam pemimpin Jordan Corps sekarang?" "Sialan! Kamu selalu berlindung dibalik nama keluargamu, Sakhala. Kamu dan keluargamu yang menyebalkan itu ternyata sama saja. Kalian cuma bisa menindas orang lain!” "Apa aku tidak salah dengar? Bukankah kamu dan keluargamu yang suka menindas orang lain? Apa kamu tidak punya cermin di rumah, hah!" Kesabaran Sakhala sudah habis, dia mencengkeram kerah kemeja Alex dan bersiap melay
"A-apa? Menikah?" tanya Sakhala untuk memastikan. Dayana kembali memesan segelas wine sebelum menjawab pertanyaan Sakhala. "Iya, kamu butuh seorang istri, kan? Nikahi saja aku dari pada kamu terus-terusan mengikuti kencan buta yang diatur oleh mamamu. Bagaimana? Apa kamu mau?" Sakhala terenyak karena Dayana benar-benar serius ingin mengajaknya menikah. Apa gadis itu sudah kehilangan akal? "Jangan bercanda, Dayana. Pernikahan itu bukan main-main. Apa kamu ingin mempermainkan pernikahan?" "Siapa yang bercanda, Sakha? Aku cuma ingin membantumu agar tidak mengikuti kencan buta konyol yang diatur oleh mamamu. Lagi pula aku juga diuntungkan kalau kita benar-benar menikah. Kapan lagi aku bisa punya suami yang tajir melintir seperti kamu?" jelas Dayana tanpa beban. Sakhala diam sejenak, sepertinya bukan ide yang buruk kalau dia menikah dengan Dayana karena dia tidak perlu lagi mengikuti kencan buta yang diatur oleh ibunya. "Baiklah, aku terima tawaranmu. Seminggu lagi kita menikah. Bagai
Setelah berdebat cukup panjang melalui telepon, mau tidak mau Dayana akhirnya menyetujui permintaan Sakhala untuk menenui Ruth besok. Dia malah bangun kesiangan karena lupa memasang alarm. Untung saja dia masih memiliki cukup waktu untuk bersiap-siap karena janji untuk bertemu dengan ibu Sakhala jam sepuluh pagi nanti. "Aku harus memakai baju yang mana, ya?" tanya Dayana pada diri sendiri. "Ini terlalu terbuka, kalau yang ini warnanya terlalu mencolok. Argh! Aku bingung sekali mau pakai yang mana!” Dayana menggeram kesal sambil mencocokkan dres satu persatu ke tubuh mungilnya. Setelah mengeluarkan hampir seluruh pakaian di lemarinya, Dayana akhirnya menemukan satu dres yang cocok untuknya. Sebuah midi dress berbahan satin berwarna cream yang terlihat cocok dengan kulit putihnya. "Kalau dilihat-lihat, dress ini lumayan manis. Warnanya juga tidak terlalu mencolok dan yang terpenting modelnya tidak terlalu terbuka." Dayana berputar beberapa kali di depan cermin. "Baiklah, aku akan
Sakhala diam-diam memerhatikan Ruth dan Dayana. Tanpa sadar dia tersenyum karena sang ibu terlihat begitu bahagia ketika bersama Dayana. Ruth terus berbicara tentang bunga yang dia tanam di halaman belakang. Sedangkan Dayana hanya mendengarkan dan sesekali menjawab pertanyaan yang Ruth lontarkan. "Apa kamu suka bunga, Dayana?" Dayana mengangguk. Dia dulu sering menanam bunga dengan sang ibu di rumah. Namun, dia tidak pernah lagi melakukannya semenjak diusir dari rumah. Kedua mata Dayana tampak berbinar melihat bunga matahari yang berada di hadapannya karena sang ibu sangat menyukai bunga tersebut. "Bunga matahari ini sangat cantik, sama sepertimu," ucap Ruth sambil mengusap rambut Dayana dengan penuh sayang. Dayana sontak menunduk untuk menyembuyikan semburat merah yang menghiasi kedua pipinya. "Terima kasih, Ma," ucapnya malu-malu. Ruth mengangguk lantas memanggil Sakhala yang sedang asyik bermain ponsel di ruang tengah. Sakhala pun meletakkan ponselnya di atas meja lantas men
Sakhala mengistirahatkan badannya di ranjang king size yang bernuansa vintage. Ada beberapa foto ketika dia masih kecil yang terpajang di dinding kamar. Di antaranya foto saat dia duduk di bangku Sekolah Dasar memegang piala juara satu lomba cerdas cermat tingkat provinsi. Sejak kecil, Sakhala memang dididik dengan baik oleh kedua orang tuanya. Sakhala tidak hanya pintar di bidang akademis, dia juga tumbuh menjadi anak yang baik, sopan, dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Helaan napas panjang kembali lolos dari bibir Sakhala. Berpura-pura menjadi sepasang kekasih bersama Dayana di depan Ruth ternyata cukup melahkan. Sakhala tidak biasa melakukannya. Dia merasa sangat bersalah sudah membohongi Ruth. "Apa aku batalkan saja sandiwara ini? Tapi kalau aku batalkan mama pasti kecewa. Apa yang harus aku lakukan? Argh!" Sakhala menarik rambutnya kuat-kuat. Dia benar-benar bingung sekarang. Tiba-tiba saja pintu kamarnya diketuk dari luar lalu terdengar suara Ariana."Abang .…" "Ada apa
Keesokan harinya, Dayana pergi ke rumah Sakhala. Seperti yang sudah Dayana duga, Ruth tampak begitu senang ketika melihatnya datang. Wanita itu bahkan mengajaknya membuat cheesecake brownies, kue kesukaan Sakhala. Namun, Sakhala tidak bisa menemaninya karena dia ada urusan mendadak di kantor. "Maaf aku tidak bisa menemanimu. Aku akan langsung pulang kalau urusanku di kantor sudah selesai," ucapnya sambil mengecup kening Dayana. Sakhala sengaja melakukannya karena Ruth diam-diam mengawasi mereka dari ruang tengah. Dia harus berakting romantis agar Ruth percaya kalau dia sedang menjalin hubungan dengan Dayana. Tubuh Dayana sontak menengang, jantung pun berdetak dua kali lebih cepat dari pada biasanya karena Sakhala tiba-tiba mengecup keningnya. Sedetik kemudian Dayana mengubah raut wajahnya kembali tenang. "I-iya, hati-hati." Sakhala mengangguk lantas masuk ke dalam Audy hitamnya yang terpkir di depan rumah. "Aku akan langsung meneleponmu begitu tiba tiba di kantor," ucapnya sebelu
"Aku pulang!" teriak Sakhala begutu tiba di rumah. Dia segera pergi ke dapur untuk menemui Dayana. Namun, tidak ada satu orang pun di sana. Sakhala pikir Dayana masih membuat kue bersama mamanya, tapi mereka ternyata tidak ada di dapur. Sakhala pun mencari Dayana dan Ruth di ruang tengah, tapi ibu dan kekasih palsunya itu tidak ada di sana. "Di mana mereka?" gumam Sakhala sambil mengedarkan pandang ke sekitar. "Kak Day lucu sekali!" teriak Ariana sambil terkikik geli. Sakhala pun bergegas pergi ke halaman belakang setelah mendengar suara Ariana. Tanpa sadar dia tersenyum melihat apa yang sedang Dayana dan Ariana lakukan. Kedua perempuan berbeda usia itu terlihat sangat akrab padahal mereka baru saja bertemu. "Kenapa kamu tertawa, Ariana? Apa kakak terlihat lucu?" Dayana mengerucutkan bibir kesal karena Ariana sejak tadi terus menertawakannya. "Habis Kak Dayana mirip sekali sama badut!" Ariana malah tertawa semakin keras. Gadis kecil itu tampak begitu puas melihat hasil riasanny
"Apa yang Mama lakukan di sini?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Dayana karena dia merasa begitu terkejut melihat Ruth datang ke kantor. "Apa Mama ingin bertemu dengan Sakha—" Dayana cepat-cepat meralat ucapannya karena dia sekarang sedang berada di kantor. "Maaf, maksud saya pak Sakhala," ucap gadis itu malu-malu. "Tidak, mama ke sini ingin mengajakmu makan siang bersama. Apa kamu sedang sibuk, Day?" Dayana menggeleng pelan. "Tidak, Ma. Kebetulan sekali Dayana juga ingin makan siang. Ayo, Ma, kita makan di sini. Makanan di kantin ini enak-enak, loh." "Padahal mama ingin mengajakmu pergi ke restoran steak langganan mama. Tapi kalau kamu ingin makan di sini nggak papa, deh." Dayana tersenyum. "Baiklah kalau begitu. Mama mau makan apa? Biar Dayana yang pesan." "Samakan saja denganmu, Day. Mama nggak pilih-pilih makanan, kok." "Baiklah, Dayana akan memesan makanan sekarang. Tolong tunggu di meja nomor lima ya, Ma?" Dayana melihat-lihat makanan yang berada di dalam s