"Kita bertemu lagi, Alex!" sergah seorang lelaki berwajah tampan yang masih memakai setelan kerja lengkap.
“Apa urusanmu, Berengsek! Wanita ini milikku!" Alex menatap Sakhala dengan tajam sambil tetap mencengkeram pergelangan tangan Dayana. Cengkeramannya bahkan semakin kuat, seakan-akan tidak ingin Dayana direbut oleh siapa pun.
"Ternyata kamu masih belum menyerah, Alex?" desis Sakhala sambil memamerkan senyum miring andalannya.
"Ini bukan urusanmu! Menyingkirlah dari hadapanku atau—"
"Atau apa?" Sakhala kembali menyeringai. "Apa Alex Dirgantara sudah berani mengancam pemimpin Jordan Corps sekarang?"
"Sialan! Kamu selalu berlindung dibalik nama keluargamu, Sakhala. Kamu dan keluargamu yang menyebalkan itu ternyata sama saja. Kalian cuma bisa menindas orang lain!”
"Apa aku tidak salah dengar? Bukankah kamu dan keluargamu yang suka menindas orang lain? Apa kamu tidak punya cermin di rumah, hah!" Kesabaran Sakhala sudah habis, dia mencengkeram kerah kemeja Alex dan bersiap melayangkan pukulan ke wajah lelaki itu.
"Berhenti!" sergah Dayana sebelum terjadi perkelahian di antara Sakhala dan Alex. "Apa kalian ingin berkelahi, hah? Kalau kalian ingin berkelahi jangan di sini," sengit Dayana manatap Sakhala dan Alex bergantian.
Sakhala pun melepaskan Alex dari cengkeramannya. Lagi pula dia tidak sudi mengotori tangannya untuk lelaki yang tidak tahu diri seperti Alex.
"Dan kamu, Alex! Berhenti menggangguku karena aku tidak pernah tertarik denganmu!"
"Apa kamu dengar itu, Alex? Aku bisa melaporkanmu ke polisi atas perbuatan tidak menyenangkan jika terus mengganggu Dayana," imbuh Sakhala sambil merapikan dasinya yang sedikit berantakan.
"Apa aku tidak salah dengar? Berani sekali kamu menyuruhku untuk berhenti, Dayana. Memangnya kamu siapanya Sakhala? Apa kamu salah satu gundik Sakhala?"
Ucapan Alex barusan benar-benar membuat Dayana geram. Dia pun mengeluarkan ponselnya dari dalam tas lalu menekan tombol 110 untuk menghubungi polisi. Namun, Alex malah merebut ponselnya dengan paksa.
"Alex!" Dayana menggeram kesal. Amarah tergambar jelas di wajah cantiknya.
"Baiklah, jangan laporkan aku ke polisi. Tapi aku tidak akan berhenti sebelum kamu menjadi milikku seutuhnya, Sayang," bisik Alex tepat di telinga Dayana lalu mengembalikan ponsel gadis itu.
"Jangan terlalu kesal karena aku cuma bermain-main, Sakhala. Sampai jumpa lagi di lain waktu." Alex tertawa seperti orang tidak waras lalu masuk ke dalam mobilnya dan pergi meninggalkan tempat itu.
“Dasar sinting!" ucap Dayana dan Sakhala bebarengan.
Keduanya pun saling tatap tapi sedetik kemudian kompak mengalihkan pandang ke arah lain. Sakhala dan Dayana mendadak gugup dan salah tingkah karena mereka pernah menghabiskan malam bersama.
"Aku minta maaf soal kejadian malam itu. Sekali lagi tolong maafkan aku, Dayana," ucap Sakhala memecah keheningan yang sempat melingkupi mereka berdua.
"Sudah aku bilang lupakan saja, Sakha. Aku bahkan sudah melupakan kejadian itu."
"Tapi tetap saja, Dayana. Seharusnya aku tidak melakukan hal itu padamu. Aku benar-benar berengsek sudah memanfaatkan kesempatan saat kamu tidak sadar." Sakhala menundukkan kepala. Penyesalan dan rasa bersalah tergambar jelas di wajah tampannya.
"Baiklah, aku akan memaafkanmu. Jadi jangan minta maaf lagi, okay?"
Sakhala menangguk meskipun dia sebenarnya masih ingin mempertanggungjawabkan perbuatannya pada Dayana.
"Sepertinya aku harus pulang sekarang. Terima kasih banyak sudah menolongku. Sampai jumpa di kantor, Pak Sakhala." Dayana cepat-cepat masuk ke dalam mobilnya dan Sakhala tidak punya niat untuk mencegah karena ponselnya yang berada di dalam saku celana bergetar.
Ada panggilan masuk dari Ruth. Tanpa menunggu waktu lama dia pun segera menggeser ikon hijau di layar ponselnya.
"Abang di mana? Kenapa belum pulang?"
Sakhala memijit pelipisnya yang terasa sedikit penat. "Abang baru saja selesai memeriksa laporan, Ma. Memangnya ada apa?"
"Ada hal yang penting yang ingin mama bicarakan dengan Abang. Cepat pulang!" ucap Ruth di seberang sana.
"Baiklah, abang pulang sekarang."
***
Sakhala memarkirkan Audy hitamnya di garasi begitu tiba di rumah. Kening lelaki berusia dua puluh tujuh tahun itu berkerut dalam karena sang ibu tersenyum lebar ketika melihatnya datang.
"Ada hal penting yang ingin mama bicarakan. Abang mau mandi dulu atau—"
"Abang mau mandi dulu, Ma. Bicaranya nanti saja kalau abang sudah selesai mandi."
"Baiklah kalau begitu. Mama akan meminta pelayan menyiapkan air hangat untuk Abang."
Nada bicara Ruth yang terdengar begitu antusias membuat Sakhala curiga. Sakhala yakin sekali mamanya pasti sedang merencanakan sesuatu yang ujung-ujungnya membuat kepalanya pusing.
Sakhala langsung menghampiri Ruth yang sedang asyik menonton televisi di ruang tengah setelah mandi.
"Abang, duduk sini, ya. Mama sudah menyiapkan camilan kesukaan Abang. Cepat dimakan karena nanti keburu dingin."
Sakhala menggeleng pelan karena perutnya masih kenyang. Lagi pula dia ingin segera tahu hal penting apa yang ingin Ruth bicarakan dengan dirinya.
"Mama mau ngomongin apa?"
"Jadi gini, mama sudah mengatur kencan buta Abang dengan anak teman mama dan dia setuju. Abang juga mau, kan?"
Sakhala menghela napas panjang. Entah sudah berapa kali sang ibu memintanya untuk mengikuti kencan buta. Dia malas sekali melakukannya karena dia tidak memiliki minat sedikit pun untuk mengikuti kencan buta.
"Anak teman mama ini namanya Laudya. Dia seorang dokter, cantik, dan juga pintar. Mama yakin sekali Laudya calon istri yang baik buat Abang. Abang mau ya, ikut kencan buta? Sekali ini saja ...,” ucap Ruth terdengar memohon agar Sakhala mau menuruti keinginannya.
Sakhala sebenarnya tidak tertarik mengikuti kencan buta. Namun, dia merasa bersalah jika terus menolak keinginan Ruth. "Baiklah, abang mau."
"Benarkah?" tanya Ruth untuk memastikan dan Sakhala mengangguk.
"Terima kasih banyak ya, Bang. Mama yakin sekali Abang pasti suka dengan Laudya." Ruth terlihat begitu senang. Dia bahkan sudah membayangkan memiliki cucu yang lucu dari Sakhala.
***
Sakhala berangkat ke kantor agak terburu-buru, dia bahkan melewatkan sarapan karena jam tujuh nanti dia ada meeting dengan klien penting. Ruth tidak pernah lelah mengingatkannya untuk mengikuti kencan buta bersama Laudya nanti malam. Wanita yang sudah melahirkannya itu bahkan memintanya untuk berdandan yang rapi agar bisa membuat Laudya jatuh cinta di pandangan pertama.
Ruth sangat menyebalkan tapi wanita itu tetaplah ibunya. Untung saja pertemuan dengan klien yang berasal dari Jepang hari ini berjalan lancar. Pekerjaannya pun selesai lebih cepat dari pada biasanya. Tepat pukul tujuh malam Sakhala pergi ke restoran yang berada di dekat dengan kantornya untuk mengikuti kencan buta.
"Apa kamu, Sakhala?" teriak seorang gadis yang memakasi riasan sedikit tebal sambil melambaikan tangan ke arah Sakhala.
Sakhala mengangguk lantas menghampiri gadis itu. "Maaf aku datang sedikit terlambat."
"Tidak apa-apa, lagi pula aku tahu kamu pasti sangat sibuk."
Sakhala berdeham pelan karena tenggorokannya terasa sedikit kering sebelum bicara. "Apa kita perlu memperkenalkan diri?"
"Terserah kamu saja. Tapi sepertinya tidak perlu karena aku sudah tahu tahu semua hal tentangmu."
Sakhala menatap Laudya dengan alis terangkat sebelah. Dia merasa heran karena gadis itu sudah mengetahui banyak hal tentangnya.
"Aku dengar mama kita berteman baik. Karena itu mereka mengatur kencan buta untuk kita. Lucu, ya?" Laudya mencoba mencari topik pembiacaraan. Gadis itu sepertinya sudah tertarik dengan Sakhala di pertemuan pertama mereka. Laudya bahkan sudah sangat siap jika harus menikah dengan Sakhala.
Sakhala hanya diam karena dia merasa sedikit tidak nyaman bersama Laudya. Dilihat dari penampilan dan nada bicaranya, Sakhala merasa kalau Laudya tipe wanita yang agresif dan sombong.
Sakhala langsung pamit pulang setelah selesai makan. Lagi pula dia sudah malas berbicara basa-basi dengan Laudya. "Terima kasih banyak untuk waktunya, Laudya. Sebelumnya aku minta maaf karena datang terlambat. Semoga kita bisa berteman baik."
"A-apa!? Teman?" Sakhala ingin beranjak, tapi Laudya malah mencekal pergelangan tangannya.
"Apa kamu menolakku, Sakha?" Dada Laudya terasa sedikit sesak mendengar penolakan Sakhala karena selama ini tidak ada lelaki satu pun yang menolak dirinya. Namun, dia berusaha terlihat baik-baik saja di depan Sakhala.
"Aku tidak mau kamu salah paham, Laudya. Aku mau mengikuti kencan buta ini karena mama kita berteman baik. Cuma itu dan aku merasa tidak cocok denganmu."
"Ta-tapi aku menyukaimu Sakha. Aku ingin hubungan kita bisa lebih dari sekedar teman."
Sakhala menghela napas panjang lantas melepaskan tangannya dari cekalan Laudya. "Sekali lagi maafkan aku, Laudya. Semoga kamu menemukan lelaki yang benar-benar tulus mencintaimu," ucapnya sebelum pergi meninggalkan Laudya.
Sakhala malah pergi kelab malam alih-alih pulang setelah mengikuti kencan buta dengan Laudya karena dia ingin sedikit menjernihkan pikirannya. Tiba-tiba saja dia melihat seorang gadis yang terlihat tidak asing di matanya ketika memesan minuman. Merasa penasaran, Sakhala pun memutuskan untuk menghampiri gadis itu.
"Ternyata memang kamu," ucap Sakhala sambil mendudukkan diri di samping Dayana.
"Halo, Tuan Tampan. Kita bertemu lagi."
"Apa kamu sering datang ke sini, Dayana?”
Dayana mengangguk. "Kelab malam adalah tempat favoritku, karena itu aku sering datang ke sini."
Sakhala tanpa sadar tersenyum karena Dayana berbicara dengan santai pada dirinya. Padahal gadis itu jelas-jelas tahu kalau dia atasannya di kantor. Mungkin karena mereka sedang berada di luar sekarang.
"Kenapa kamu sering datang ke sini?"
Sebenarnya Sakhala merasa sedikit canggung berbicara dengan Dayana karena dia sudah melakukan one night stand dengan gadis itu. Namun, dia berusaha keras agar tetap terlihat tenang."Kelab malam ini sebenarnya tempat pelarian karena aku tidak tahu harus pergi ke mana dan melakukan apa kalau sedang suntuk," jelas Dayana.
Sakhala menangkap kesedihan yang terpancar dari sepasang mata hezel milik Dayana. "Apa kamu sedang ada masalah?"
"Ya, begitulah." Dayana mengangguk lalu meneguk kembali segelas wine yang ada di tangannya.
"Kalau kamu mau, kamu bisa menceritakan masalahmu padaku Dayana."
Dayana menatap Sakhala dengan ragu. Haruskah dia menceritakan masalahnya pada lelaki itu?
"Aku tidak yakin bisa membantu, tapi jika dengan bercerita bisa mengurangi sedikit bebanmu. Kamu bisa menceritakan masalahmu padaku, Dayana."
Dayana meneguk segelas wine-nya hingga tandas sebelum bicara. “Baiklah, aku tidak pernah menceritakan masalahku kepada orang lain selain Salsa. Jadi, tolong dengarkan baik-baik."
Sakhala mengubah posisi duduknya menghadap Dayana agar dia bisa mendengar cerita gadis itu dengan jelas.
"Apa kamu tahu, Sakha? Aku pernah gagal menikah karena calon suamiku kabur dengan wanita lain di hari pernikahan kami padahal saat itu aku sudah mengandung darah dagingnya. Aku merasa sangat frustrasi karena membuat orang tua dan seluruh keluargaku malu. Papa bahkan tega mengusirku dari rumah. Akibat kejadian itu aku harus kehilangan bayi yang masih berada di dalam kandunganku.”
Ada sesak yang menyelip di dalam diri Dayana ketika mengingat masa lalunya yang menyakitkan. Sakhala pun memberanikan diri menepuk punggung Dayana dengan lembut, seolah-olah menyalurkan kekuatan untuk gadis itu.
"Aku turut bersedih mendengarnya. Kamu tidak perlu melanjutkan kalau kamu tidak sanggup menceritakan semuanya, Dayana."
"Aku sekarang baik-baik saja. Jangan khawatir," ucap Dayana sambil mengusap sudut matanya yang berair.
“Kamu wanita yang hebat, Dayana. Aku yakin sekali pasti ada hikmah dibalik ujian yang saat ini sedang kamu hadapi. Aku juga yakin kamu pasti akan dipertemukan dengan lelaki yang baik suatu haru nanti,” ujar Sakhala.
"Terima kasih banyak, Sakha. Perasaanku sekarang menjadi lebih tenang setelah curhat sama kamu."
"Sama-sama, Dayana."
“Lalu bagaimana denganmu? Kenapa kamu sering datang ke sini? Apa kamu juga sedang ada masalah?"
"Ya, begitulah," sahut Sakhala seadanya. Dia memang sedang suntuk karena Ruth terus menyuruhnya untuk segera menikah.
"Apa kamu mau menceritakan masalahmu padaku?"
Awalnya Sakhala merasa sedikit ragu, tapi dia akhirnya mau menceritakan masalahnya pada Dayana. "Mama terus saja memaksaku agar cepat menikah, padahal pacaran saja aku tidak pernah."
"Serius?" Dayana terkejut mendengar ucapan Sakhala barusan.
"Iya," jawab Sakhala.
"Kenapa kamu tidak pernah berkencan? Apa kamu penyuka sesama jenis, Sakha?”
"Aku tidak mungkin bercinta denganmu kalau aku penyuka sesama jenis, Dayana," desis Sakhala terdengar kesal karena Dayana menganggapnya lelaki tidak normal.
"Ah, benar juga." Dayana malah terkekeh.
"Aku tidak pernah tertarik untuk berkencan karena aku terlalu sibuk belajar dan bekerja. Lagi pula aku merasa nyaman dengan kehidupanku yang sekarang, tapi mama tidak. Dia takut aku menjadi perjaka tua karena tidak kunjung menikah. Mama bahkan selalu mengatur kencan buta untukku," jelas Sakhala tanpa Dayana meminta.
"Apa yang mamamu katakan benar, Sakha. Kamu akan menjadi perjaka tua kalau tidak segera menikah," ucap Dayana sambil tertawa.
"Aku bahkan sempat mengikuti kencan buta yang diatur mama sebelum datang ke sini. Aku bingung sekali, Dayana. Bagaimana kalau mama tau kencan butaku kali ini gagal? Mama pasti akan memaksaku untuk mengikuti kencan buta lagi.
“Bagaimana kalau kita menikah?"
"Sakha, lihat ini." Dayana mengusap perutnya yang tampak semakin membesar. Sakhala sontak mengalihkan pandang dari layar laptopnya lalu menatap Dayana dan ikut mengusap perut istrinya itu dengan lembut."Halo, Jagoan Papa. Sehat-sehat ya, di dalam perut mama. Papa sudah tidak sabar ingin ketemu sama kamu," ucap Sakhala sambil tersenyum karena merasakan pergerakan dari calon buah hatinya yang masih berada di dalam perut Dayana."Apa kamu bisa merasakannya, Sakha?"Sakhala mengangguk. Kedua matanya tampak berbinar merasakan gerakan dari calon buah hatinya. "Dia pasti tidak sabar ingin bertemu sama mama papanya."Perasaan Dayana seketika menghangat melihat Sakhala yang sedang berbicara dengan calon buah hati mereka. Dia bisa melihat dengan jelas jika Sakhala sangat menyayangi buah hatinya."Sakha," panggil Dayana pelan."Iya, Sayang?" "Dokter Tasqia kemarin bilang kalau aku mungkin akan melahirkan akhir bulan nanti. Tapi kenapa perutku sekarang sering merasa mulas?" tanya Dayana sambil
Dayana menjalani masa kehamilannya dengan penuh kebahagiaan meskipun ini bukan kehamilannya yang pertama. Minggu ini usia kehamilannya tepat tujuh bulan. Dayana merasa napasnya menjadi lebih berat dan sesak dari pada biasanya karena janin yang ada di dalam perutnya semakin membesar.Sebagai seorang suami, Sakhala berusaha memberikan yang terbaik untuk Dayana. Seperti dua hari yang lalu, dia baru saja membelikan istrinya itu sebuah sofa santai khusus untuk ibu hamil yang harganya puluhan juta. Sakhala sengaja membelinya agar Dayana merasa nyaman. Selain itu dia tidak tega melihat Dayana yang terus mengeluh karena pinggangnya sakit dan pegal-pegal. Dayana menganggap Sakhala terlalu berlebihan. Namun dia sendiri tidak bisa menolak karena Sakhala membeli sofa itu tanpa sepengetahuan dirinya. Selain itu, dia juga tidak ingin berdebat dengan Sakhala karena itu hanya akan menguras energinya.Dayana duduk di sofa ruang keluarga dengan wajah bahagia. Dia tersenyum saat mengingat pesta gender
Keesokan harinya Dayana bangun dengan kondisi tubuh yang segar bugar karena dia semalam tidur dengan sangat nyenyak. Dia bahkan tidak terganggu dengan suara alarm yang dia pasang sebelum tidur.Dayana melirik jam digital yang ada di atas meja kecil samping tempat tidurnya. Ternyata sekarang sudah jam tujuh pagi dan dia ingat kalau hari ini Sakhala ingin mengajaknya pergi ke suatu tempat untuk babymoon. "Sakha sudah bangun belum, ya?" gumam Dayana sambil beranjak dari tempat tidurnya dengan hati-hati.Biasanya Sakhala selalu membantunya saat turun, tapi beberapa minggu ini dia harus melakukannya sendiri karena perutnya selalu merasa mual bila berada di dekat Sakhala. Mungkin saja ini bawaan bayi yang berada di dalam kandungannya.Tiba-tiba saja pintu kamarnya diketuk dari luar. "Apa kamu sudah bangun, Sayang?" tanya Sakhala sambil membuka sedikit pintu kamarnya untuk melihat Dayana. Tingkah lelaki itu benar-benar mirip seorang pencuri yang mengintai rumah korbannya."Aku sudah bangun
Dayana terbangun dari tidurnya karena perutnya tiba-tiba terasa sangat mual. Dia pun langsung bangun lalu berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semua isi perutnya. Sakhala yang mendengar Dayana muntah-muntah ikut terbangun dan segera menghampiri istrinya itu. "Kamu nggak papa, Sayang?" Sakhala mengetuk pintu kamar mandi dengan perasaan khawatir. Dayana tidak menjawab panggilan Sakhala dan terus muntah-mutah. Rasanya Sakhala ingin sekali menemani Dayana di dalam sana, akan tetapi dia tidak bisa masuk karena pintu kamar mandi dikunci Dayana dari dalam. "Sayang?!" Sakhala terus berdiri di depan pintu kamar mandi sambil terus memanggil Dayana. Dia akan mendobrak pintu kamar mandi tersebut jika Dayana tidak kunjung keluar. Namun, belum sempat dia melakukannya Dayana tiba-tiba membuka pintu kamar mandi tersebut dengan wajah yang terlihat sedikit pucat. Sakhala segera menghampiri Dayana lalu menuntun wanita itu agar duduk di atas tempat tidur. "Bagaiamana keadaanmu sekarang? Apa sudah
Dayana telah dipindahkan ke ruang rawat setelah menjalani proses pemindahan embrio di rahimnya. Wanita itu masih belum sadar karena efek bius. Sakhala tidak pernah beranjak dari sisi Dayana, dia duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang Dayana sambil menggenggam jemari tangan wanita itu dengan erat. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Dayana membuka mata. Dia mengerjapkan kedua matanya perlahan untuk menyesuaikan dengan cahaya yang menerobos masuk ke dalam indra penglihatannya."Sayang?!" Sakhala sontak mengembuskan napas lega karena Dayana akhirnya membuka mata. Dia segera menekan tombol Nurse Call untuk memanggil perawat atau dokter agar memeriksa Dayana."Sakha ...," panggil Dayana pelan karena tubuhnya masih terasa lemas. Tiba-tiba saja pintu ruang rawatnya diketuk dari luar disusul dengan masuknya seorang perawat untuk memeriksa kondisinya"Bagaimana keadaan Ibu Dayana sekarang? Apa Anda masih merasa pusing?" tanya perawat tersebut."Tidak, Sus. Tapi saya masih merasa sedikit
Waktu berjalan dengan begitu cepat, membawa semua hal berlalu bersamanya. Hari ini adalah hari yang penting bagi Sakhala dan Dayana. Sudah genap empat belas hari pasangan itu menunggu hasil dari program bayi tabung yang telah mereka jalani selama kurang lebih satu bulan. "Apa kamu cemas?" tanya Sakhala terdengar lembut. Genggaman tangannya pada Dayana tidak terlepas sedikit pun sejak mereka memasuki halaman rumah sakit."A-aku baik-baik saja."Sakhala menggeleng pelan karena wanita yang berjalan di sampingnya itu tidak pandai berbohong. "Kamu masih ingat ucapanku kemarin malam, kan? Apa pun hasilnya kita pasrahkan sama Tuhan. Yang terpenting kita sudah melakukan yang terbaik," ucap Sakhala berusaha menyalurkan energi positif pada Dayana. "Iya, aku tahu. Terima kasih karena kamu sudah ada di sampingku selama ini," balas Dayana pelan.Kedua pasangan itu pun akhirnya tiba di depan pintu ruangan bercat putih dengan sebuah papan nama bertuliskan Dokter Tasqia, SpOG.Sebelum menarik han