Pov Alfa
Netraku tak salah bukan, atau aku yang hanya berhalusinasi saja. Kenapa wajah Riyanti selalu terpampang di pelupuk mataku. Ah, lama-lama aku bisa gila kalau hanya memikirkannya. Segera aku memicingkan mata ke arah bangunan belakang kontrakanku. Aku sedang menjemur pakaian kerjaku karena hari ini tidak ada jadwal mengajar, jadi waktu luang aku pakai untuk mencuci baju. Sebenarnya bisa saja dilondry tapi kalau tidak sibuk, aku lebih suka mencucinya sendiri.
Mataku mengerjap beberapa kali dan benar saja, bisa kupastikan itu Riyanti. Ngapain dia ada di sana. Itukan tempat para pekerja menjahit baju orderan. Kontrakanku memang dekat dengan industri tailor. Apa dia juga bekerja di sana? Apa dia benar-benar maniak kerja? Kenapa dia tak sayang dengan badannya. Apa dia sengaja memporsir tenaganya, memangnya sekuat apa dia. Berbagai tanya melintas dibenakku. Kenapa aku jadi peduli padanya, kenapa aku tak suka dia sok kuat. Aku bahkan ingin selalu mengawasinya. Memangnya aku siapanya.
Hufh, memikirkannya membuatku bisa gila.
"Ehm … ehm, kamu kenapa sih, Al?" sapa Andi teman kontrakan mengagetkanku.
"Ah, nggak apa-apa," jawabku tak jujur.
"Dari tadi aku perhatiin kamu memandang ke bangunan itu terus. Apa yang menarik sih?" Andi memang kepo, dilihatnya ke seberang. Sama-sama bangunan lantai dua, tampak Riyanti sedang berbincang dengan perempuan paruh baya dan satunya lagi aku rasa seusia di atasnya.
"Seneng aja lihat keramaian di seberang," jawabku asal, justru semakin membuat temanku semakin kepo.
"Sebentar Al, kayaknya ada anak baru. Eh bukankah itu cewek ... Al, aku pernah lihat cewek yang cantik itu," ucapnya setengah berteriak. Kurasa orang di seberang sempat mendengar riuh obrolan kami. Aku segera menutup mulutnya lantas kuseret temanku untuk bersembunyi di balik jemuran.
"Apa-apaan sih Al, pake nutup mulutku segala."
"Lagian siapa suruh berteriak?"
"Ciee, yang takut ketahuan curi-curi pandang anak sebelah."
"Hush, ngawur kamu."
"Benarkan, kamu pasti lagi kepoin cewek cantik yang kemarin anter pindangkan? Nggak salah lagi. Cewek yang di seberang itu sama dengan yang kemarin waktu Maghrib ke sini."
"Awas ya, jangan macam-macam kamu!"
"Eh apaan, harusnya aku yang bilang kamu, Al. Jangan macam-macam sama anak orang. Jatuh cinta nanti baru tahu rasa kamu." Temanku langsung kabur begitu mau aku jitak kepalanya karena sembarangan menuduh aku jatuh cinta sama Riyanti.
Ehh, tunggu sebentar, apa katanya tadi? Jatuh cinta, apa itu jatuh cinta? Bahkan aku tidak tahu seperti apa rasanya jatuh cinta yang sesungguhnya. Pernah sekali menyukai perempuan waktu SMP dulu, mungkin cinta monyet kali waktu itu. Sungguh memalukan saat itu hanya berpapasan saja langsung balik arah. Tapi yang kurasakan sekarang beda. Aku lebih ingin melindunginya, ingin melihatnya tersenyum dan aku sedih saat melihatnya terluka.
Kalau memang benar ini cinta yang sesungguhnya, aku tak ingin merasakan kecewa. Lantas apa yang harus kuperbuat?
"Andi...!" teriakku memanggil nama temanku yang sudah mengkoarkan kata jatuh cinta.
---
Pov Riyanti
Saat Bu Zuhair mengantarku ke ruang produksi Graha Tailor di lantai dua, hatiku berdebar. Sungguh ada rasa sedikit tak percaya diri, bergabung di dunia kerja yang berkebalikan 180 derajat dengan profesiku saat ini. Nggak apa-apa Riyanti, kamu pasti bisa. Kalimat itulah yang selalu tertanam di hati sebagai penyemangat. Di sini aku bisa belajar apa saja, tidak hanya mencari uang seperti tujuan utamaku di awal. Aku bisa menambah skill selain menjahit, karena kulihat ada yang mendesain, memotong kain, mengobras baju yang sudah hampir jadi, membuat jahitan di lubang kancing dan finishing. Sebagian itu hal baru bagiku. Mbak Dyah salah satu karyawan kepercayaan Bu Zuhair menjelaskan deskripsi pekerjaan padaku dengan baik.
"Tolong diajari ya, Dy," pesan Bu Zuhair pada Mbak Dyah.
"Siap Bu, ayo Ti sini gabung dengan teman-teman."
"Makasih ya Mbak Dy, udah njelasin semuanya," ucapku sembari berkenalan dengan teman-teman yang ada berlima termasuk aku.
"Kamu kuliah, enak lho jadi mahasiswa. Kenapa harus jadi kuli seperti kami,Ti," celetuk salah satu teman. Sontak pertanyaan itu entah kenapa membuat perih hatiku. Seperti membuka rasa sedih yang sering kurasakan atas nasib baik yang harus kuperjuangkan.
"Ah Mbak ini, aku suka punya banyak teman. Di sini aku bisa belajar banyak skill. Tolong ajari aku ya," pintaku.
Saat kami asyik mengobrol, aksaku tak sengaja melihat ke bangunan seberang. Ada laki-laki yang sedang menjemur pakaian.
Sungguh pemandangan yang luar biasa, rajin sekali pikirku. Tiba-tiba datang satu lagi yang tampak mengobrol keduanya. Mereka asyik dan obrolannya hampir terdengar di telingaku karena ada teriakan. Tapi setelahnya mereka hilang di balik baju-baju.
"Kamu lihat apa, Ti?" tanya Mbak Dyah padaku, yang masih memandang ke arah bangunan itu. Sepertinya aku kenal bangunan itu dan juga laki-laki tadi kayak pernah lihat. Setelah berpikir sejenak, benar saja itu kontrakan Pak Alfa.
'Astaghfirullah, kenapa harus sering gini ketemu dia ya. Tapi kalau yang jemur baju tadi Pak Alfa, berarti dia rajin juga orangnya. Aku hanya mengulas senyum membayangkan Pak Alfa mencuci bajunya sendiri, kenapa nggak di londry saja,' gumanku.
"Eh, ni anak malah melamun dan senyum-senyum sendiri."
"Mbak Dyah, ngagetin aja!"
"Hmm, jangan sering-sering lihat seberang!"
"Kenapa, Mbak?"
"Nanti kesengsem dengan salah satunya tahu rasa kamu! Itu kontrakan laki-laki tajir kayaknya. Kalau lewat depan rumahnya kamu bisa lihat mobil bagus dan mewah terparkir di sana."
"Iyakah, bisa saja mobil rental," candaku langsung dipelototi Mbak Dyah.
"Dasar, Riyanti." Aku langsung menghindar sebelum kena timpuk kain yang dipegang Mbak Dyah.
Rasanya aku tak salah memilih part time tambahan ini. Aku bisa dapat pengalaman, teman baru yang menyenangkan bonusnya bisa melihat Pak Alfa kalau sedang di lantai atas. Dasar otakku harus dibersihkan ini. Aku pun menepuk-nepuk kepalaku.
Bab 63C "Terima kasih, Sayang. Sudah bersedia mendampingiku, menjadi ibu dari anak-anakku." Aryo mengecup puncak kepala Nay yang tertutup pasmina hingga membuat hati Nayla mengembang. "Terima kasih juga, Mas." Lima bulan kemudian. Nay mengenakan baju toga untuk menghadiri wisuda sarajananya. Perutnya sudah terlihat membuncit karena HPL tinggal beberapa haru lagi. Suami dan keluarganya mendampingi acara wisudanya. Pun teman-temannya bersiap dengan buket bunga ditangan mereka. "Selamat dan sukses atas wisudanya, Nay," ucap ketiga sahabatnya. Menyusul juga ucapan selamat dari orang tua dan keluarga Aryo. "Selamat ya, Sayang. Maafkan mama! Kamu memang pantas menjadi pendamping Aryo. Jaga putraku ya, Sayang. Sebagai orang tuanya, mama memang kurang memberinya kasih sayang." "Tidak, Ma. Mama selalu menyayangi Mas Aryo meski jauh di negeri orang. Nay dan Mas Aryo selalu merindukan mama dan papa." Nay mencium pipi mertuanya lalu teringat ibunya. Wanita yang sudah mengandung dan melah
Bab 63B"Mereka kan mau menghadiri acara ini, Mas.""Apa?! Sebenarnya ini acara apa sih, Nay?" Aryo bergantian menatap Nay juga keluarganya yang tak ada angin tak ada hujan muncul di rumah istrinya."Hai, Aryo! Oma mau nengok calon buyut tahu, nggak? Kamu tuh malah bengong."Aryo kembali terkesiap. Merasa di prank, Aryo mendekati keluarganya. "Mama, papa, kapan pulangnya? Tante juga katanya nganter oma ke luar kota.""Kamu tuh, Yo. Sama istri mbok ya dijagain yang baik. Untung calon bayinya nggak kenapa-napa. Bisa-bisa kamu tak jewer sini.""Ampun, Oma." "Iya, ini tante sama orang tuamu nganter oma ke luar kota buat mengisi tausiyah, Yo," pungkas tante Maya. Aryo masih terbengong.Semua yang hadir melihat tingkah keluarga Aryo akhirnya tertawa, ada juga yang menahan senyum, seperti Nayla yang saling pandang dengan Andra. Semua itu skenario Andra untuk mengerjai Aryo. Andra tidak mau Nay disakiti oleh suaminya. Saat di Daejeon, dokter mengatakan Nay hampir keguguran karena tindakan
Bab 63A"Nay, ini tanda kasihku untukmu." Nay tertegun melihat apa yang dibawa suaminya.Aryo membuka kotak kecil berlapis beludru. Ia mengeluarkan benda yang terpasang cantik di tempatnya. Sebuah kalung pertanda kasih sayangnya untuk sang istri tercinta. Ada liontin bunga matahari di kalung itu. Aryo berharap mentari akan selalu bersinar menerangi langkah mereka mengarungi biduk rumah tangga.Bukan tidak mungkin akan datang kerikil yang menghadang. Sebisa mungkin mereka saling menggenggam tangan untuk melalui jalan yang harus ditempuh. Apa yang menjadi tujuannya menggapai keluarga yang samawa (sakinah, mawaddah, warahmah).Aryo memakaikan kalung dengan liontin matahari ke leher Nayla. Pasmina Nay angkat hingga kalung itu terpasang sempurna di lehernya. Aryo mengecup kepala Nay dari belakang. Rasa yang membuncah mengisi rongga dada keduanya. Senyum manis pun terukir di wajah masing-masing, hingga sepasang lengan kekar Aryo melingkar di perut Nayla. Tatapan hangat di wajah Aryo terli
Bab 62B"Sudah saya bilang Pak Aryo jangan menyakitinya. Dua kali Bapak sakiti Nay, maka...""No, big No, Ndra. Saya harus bicara sama Nayla. Pokoknya kamu nggak boleh melamar sebelum hubungan kami jelas, oke!" Andra hanya mengedikkan bahu, dalam hati tertawa penuh kemenangan.Aryo meninggalkan Andra membereskan tempat yang akan dipakai untuk acara. Entah acara apa sebenarnya Aryo tidaklah tahu. Ia mendekati Pak Rusdi, meminta maaf atas kesalahannya karena membuat Nay sakit hati.Aryo juga bercerita tentang kesalah pahamannya dengan Nay yang melihat dirinya bersama Tika. Waktu itu Tika ingin berpamitan yang terakhir karena mau tinggal di luar negeri. Pak Rusdi yang sudah tahu duduk perkaranya langsung menyilakan Aryo masuk dan duduk di ruang tamu. Bu Ranti terkejut melihat kedatangan tiba-tiba menantunya. Gegas wanita paruh baya itu membuatkan minuman dan menyuguhkan cemilan."Nay baru selesai mandi, Nak. Tunggulah sebentar. Tolong sabar ya Nak Aryo, menghadapi Nay yang anak tunggal
Bab 62AAryo berjalan tergopoh menuju rumah Nay. Mendengar obrolan tetangga Nay tentang acara syukuran membuat hatinya berkecamuk. Menyesakkan."Apa maunya Nayla? Apa dia benar-benar menginginkan perpisahan?" Aryo mendengkus kesal seraya kakinya menendang kerikil di jalan.Sementara itu,di kamar, Nayla merapikan penampilannya di depan cermin. Ingatannya terlempar saat tidur siang di kos Cika. Bisa-bisanya ia mimpi buruk."Nay, maaf. Aku tidak tega membuat Tika sedih," ungkap Aryo membuat Nay mencelos."Lalu?" Tatapan nyalang Nay tujukan pada suaminya. Napasnya memburu menanti perkataan selanjutnya dari sang suami."Ada yang ingin aku katakan padamu. Mama memintaku menikahinya. Tika bersedia menjadi istri kedua.""Untung hanya mimpi. Kalau beneran, aku nggak yakin bisa menerima kabar itu."Nay menghela napas panjang, seulas senyum tersungging di bibir bergincu pinknya. Kedua tangan mengusap perutnya lembut. Sebuah ketukan pintu megusik kegiatan asyiknya di depan cermin."Masuk!" Nay me
BAB 61B"Astaghfirullah. Aryo kenapa?""Aryo bersalah, Oma. Aryo sudah menyakiti hati Nayla. Dia pergi karena Aryo yang nggak sabaran. Saat di Daejeon Aryo menyakitinya fisik juga batin. Lagi-lagi pulangnya pun Aryo menambah lukanya kembali menganga."Oma dan Tante Maya tertegun melihat pengakuan Aryo. Keduanya menasehati Aryo supaya lebih sabar menghadapi masalah. Yang telah berlalu biarlah berlalu, jangan terulang lagi kesalahan yang sama. Manusia tidak ada yang sempurna. Memilih pasangan bukan untuk mencari yang sempurna tetapi yang bisa saling melengkapi hingga mendekati sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Rabbnya."Makasih, Oma, tante. Aryo mau bernagkat dulu ke Solo.""Apapun yang terjadi jadikan ini belajaran berharga untukmu dan Nayla, Yo. Oma tidak berharap kalian berpisah. Tetapi kalau mengharuskan kalian berpisah, kamu harus mengikhlaskannya.""Oma, Aryo tidak akan membiarkan Nay pergi. Oma dan tante doakan hubungan kami membaik!" pinta Aryo dengan penuh permohonan."