Pov Riyanti
Hari ini ada kuliah Pak Alfa di jadwal pagi. Aku dan Amel sudah berangkat lebih awal karena tidak mau terlambat dan jadi bahan bullyan di kelas pastinya. Karena Pak Alfa suka bercanda di kelas dengan contoh-contoh mahasiswanya yang tidak disiplin. Mengingat kejadian kemarin di Graha Tailor membuatku tak berhenti mengulas senyum.
"Ti, pagi-pagi udah senyum sendiri. Ada apa sih? Aku perhatiin dari kemarin pulang nyampai kos juga gitu."
"Kamu pasti nggak nyangka kalau aku ceritain, Mel."
"Sini-sini bisikin aku dong."
"Kemarin aku di Graha Tailor lihat Pak Alfa jemur baju."
"Haah, serius? Keren dong. Astaga Riyanti, kamu sudah kesengsem pesona Pak Al..."
Aku langsung membungkam mulut Amel yang nggak kira-kira ngomongnya. Tiba-tiba putri dan Galang masuk ke ruang kuliah. Di belakangnya pun ada sosok yang sedang kami bicarakan.
"Haa, Pak Alfa datang Mel. Isshh kamu teriak nggak kira-kira sih Mel. Kalau ada yang dengar gimana?"
Aku sudah melotot ke arah Amel yang dibalasnya dengan cengiran.
'Hufh, semoga tidak ada yang mendengar terutama Pak Alfa.'
Eh tapi tunggu dulu, pagi ini seperti ada yang beda. Kenapa Pak Alfa murah senyum ya? Jangan-jangan tadi dia mendengar obrolanku dengan Amel. Hwaaa, memalukan, pikirku.
"Ada apa, Riyanti? Kuliah belum dimulai sepertinya kamu ingin menyampaikan sesuatu."
"Ah, tidak Pak. Saya siap mendengarkan materi," jawabku tersipu malu ketauan salah tingkah di depannya. Aku segera menyikut Amel yang sedari tadi senyum menggodaku.
"Kalian berdua pada kenapa sih?" tanya Galang yang kepo dengan tingkah kami.
"Iya pada aneh tuh," timpal Putri.
"Udah-udah ayo serius, Pak Alfa dah mau mulai," ajakku yang sudah menetralkan rasa tak menentu tadi.
----
"Nanti sore, nonton film yuk!"
Selesai kuliah Galang nyelutuk tak kira-kira, padahal masih ada Pak Alfa di ruangan.
"Film apaan? tanyaku mencoba memberikan mimik antusias. Padahal aku nggak yakin bisa nonton karena ada part time hari ini.
"Udah ikut aja, pasti kamu suka."
"Wah, siapa yang mau nonton film? Nggak ngajak-ngajak, nih?" Pak Alfa bukannya pergi ke ruangnya malah ikut nimbrung obrolan kami.
"Pak Alfa mau ikut?" tanya Galang semangat.
"Boleh, kalau jadwalnya cocok."
Aku mengernyitkan dahi, tiba-tiba ada perasaan berdebar yang menjalar dalam dada.
"Nanti sore Pak."
"Oke, saya ikut ya. Tolong pesankan tiketnya. Nanti semua saya yang bayar."
"Hah, Pak Alfa yang traktir nih?" Galang sudah berwajah sumringah karena nggak jadi bayari tiketnya untuk kami.
'Duh malu-maluin aja teman satu ini,' gumanku.
Sepeninggal Pak Alfa, aku segera memarahi Galang yang sudah ngajak Pak Alfa. Ditambah lagi nggak enak malah ditraktir.
"Hei nggak usah sewot gitu, cantiknya ilang Ti. Daripada aku cowok sendiri kan mending nih ada teman Pak Alfa."
"Ya nggak gitu juga, Lang. Teman yang lain ada kan, kenapa harus Pak Alfa."
"Lha, Pak Alfa sendiri kok yang mau ikut. Kamu kenapa sih begitu nggak suka dengan Pak Alfa. Jangan-jangan..."
"Ishh, jangan mikirin yang enggak-enggak. Udah aku mau kerja dulu."
"Haah, kerja apaan jam segini?"
"Riyanti ada kerjaan baru, Lang. Dia super sibuk sekarang," ucap Amel
"Ya, kok aku nggak dicritain sih," gerutu Putri padaku juga Amel.
"Hehe, tenang Put sahabat baikku. Ini juga baru hari pertama masuk kok. Aku kerja tambahan di Graha Tailor dekat kampus."
"Dekat kontrakan Pak Alfa juga," celetuk Amel yang langsung aku bungkam mulutnya. Tapi terlanjur Galang dan Putri mendengarnya. Sontak Galang tertawa mengejekku.
"Ya ampun. Jadi ceritanya kemana-mana kamu dalam lingkaran Pak Alfa. Jodohmu kali, Ti."
Aku segera meninggalkan mereka sebelum kena ejekan dari Galang.
'Apa Galang bilang, aku berjodoh dengan Pak Alfa. Hufh mimpi kali ya.'
Aku sudah bertekad tidak memikirkan asmara sebelum bapak ibu tersenyum lagi. Prinsip yang kupertahankan supaya beranjak bangkit dari keterpurukan.
Aku kerja hari pertama di Graha Tailor. Alhamdulillah aku bisa melalui dengan nyaman, makan siang bareng teman pekerja dengan membawa nasi bungkus masing-masing. Lantas mengerjakan job yang diberikan Mbak Dyah dan terakhir tidak boleh dilupakan yakni mencatat job yang sudah berhasil diselesaikan pada buku catatan milik Bu Zuhair. Konon catatan itu yang dijadikan bahan perhitungan HR kami yang akan diterima setiap akhir pekan. Rasanya begitu bahagia bisa menuliskan namaku serta pencapaianku hari ini. Meski masih sedikit tapi aku merasa lega mendapatkan jerih payah yang akan kuterima nantinya. Aku menghela nafas dan tersenyum pada teman-teman karena akan berpisah untuk sore ini. Tepat jam setengah empat sore jam kerja kami selesai karena hari Jumat. Mbak Dyah masih merapikan barang-barangnya sedangkan teman-teman lain sudah pulang duluan.
"Pulang duluan aja, Ti. Mbak masih harus laporan ke Bu Zuhair," pesannya sambil menghalaukan tangannya padaku.
"Baik Mbak Dy, aku pamit dulu ya."
"Langsung ke kos?" Aku menggelengkan kepala.
"Diajak nonton teman, habis itu ngeles juga. Mungkin malam baru sampai kos."
"Astaghfirullah. Pantas saja badanmu kurus gitu. Kapan bisa istirahat," ledeknya
"Issh, kurusan mana sama Mbak Dy?" balasku meledeknya.
"Hahaha, tau aja kamu cara meledekku. Ya sudah sana hati-hati jaga kesehatan ya."
Aku mengangguk dan melambaikan tangan. Mendengar pesannya hatiku terharu, sungguh teman-teman di sini sudah seperti keluarga bagiku. Kebahagiaan batin seperti inilah yang tidak bisa ditemukan manakala aku tidak memperbanyak teman.
Baru saja keluar dari rumah Bu Zuhair aku harus melintasi depan kontrakan Pak Alfa dan melihatnya sudah bersiap dengan pakaian kasualnya.
'Duh, kenapa harus ada pemandangan yang begitu mempesona. Riyanti, jaga pandangan please,' aku hanya bisa menghembuskan nafas agar tak kelihatan canggung.
"Masuk!" perintahnya singkat padat jelas.
"Iya. Kok Pak Alfa tahu saya ada di sini?"
"Ckckk, nggak usah banyak nanya. Siapa juga yang curi-curi pandang dari rumah sebelah."
"Apa..., Pak Alfa tahu saya kerja di Graha Tailor?"
"Kelihatan jelas bukan dari tempat saya."
Aku merasa nggak enak sendiri nih, Pak Alfa pasti memata-mataiku. Hufh.
---
Sepanjang perjalanan ke bioskop dipenuhi canda tawa teman-teman dengan Pak Alfa. Aku sendiri memilih memejamkan mata dan menyandarkan tubuh di jok empuk mobil yang kata Pak alfa dipinjam dari temannya, entahlah dia bohong atau enggak akupun tak tahu.
Kelelahan melandaku, di dalam bioskop pun aku tak merasa nyaman. Sesekali aku menguap, rasanya tak enak akhirnya aku bersandar. Sempat terpejam beberapa menit bagiku sudah anugerah luar biasa dengan merasakan kantuk.
"Haah, jam berapa ini?"
"Kamu kenapa, Ti? Baru juga jam setengah lima."
"Apaan sih Lang, aku ada ngajar tau jam 5."
"Setengah jam lagi juga selesai, Ti. Kirim W* muridmu aja kalau sedikit telat."
"Eh, nggak bisa. Aku harus keluar duluan ya teman-teman. Maaf banget. Pak Alfa saya duluan ya."
Aku beranjak meninggalkan mereka dan keluar gedung. Aku memang tidak ingin terlambat karena hari ini selain mengajar Niko tapi juga sudah meminta ijin Pak Hendra untuk memberikan HR di awal. Aku melakukannya baru kali ini karena terpaksa butuh uang setelah dihubungi ibu. Beruntung Pak Hendra hari ini juga mau segera mentransfer ke rekening adikku, jadi aku tidak perlu repot mengantarkan uangnya pulang.
Aku berjalan cepat untuk mencari ojek, Tak disangka Pak Alfa membuntutiku.
"Pak Alfa kenapa ikut keluar?"
"Kamu pikir berangkat sama siapa tadi?" jawabnya sedikit kesal.
"Ayo masuk mobil, saya antar!"
"Tapi Pak..."
"Tidak ada tapi-tapian."
Pak Alfa sudah memaksaku masuk mobilnya, aku pun hanya pasrah menurutinya daripada kena marah.
Bab 63C "Terima kasih, Sayang. Sudah bersedia mendampingiku, menjadi ibu dari anak-anakku." Aryo mengecup puncak kepala Nay yang tertutup pasmina hingga membuat hati Nayla mengembang. "Terima kasih juga, Mas." Lima bulan kemudian. Nay mengenakan baju toga untuk menghadiri wisuda sarajananya. Perutnya sudah terlihat membuncit karena HPL tinggal beberapa haru lagi. Suami dan keluarganya mendampingi acara wisudanya. Pun teman-temannya bersiap dengan buket bunga ditangan mereka. "Selamat dan sukses atas wisudanya, Nay," ucap ketiga sahabatnya. Menyusul juga ucapan selamat dari orang tua dan keluarga Aryo. "Selamat ya, Sayang. Maafkan mama! Kamu memang pantas menjadi pendamping Aryo. Jaga putraku ya, Sayang. Sebagai orang tuanya, mama memang kurang memberinya kasih sayang." "Tidak, Ma. Mama selalu menyayangi Mas Aryo meski jauh di negeri orang. Nay dan Mas Aryo selalu merindukan mama dan papa." Nay mencium pipi mertuanya lalu teringat ibunya. Wanita yang sudah mengandung dan melah
Bab 63B"Mereka kan mau menghadiri acara ini, Mas.""Apa?! Sebenarnya ini acara apa sih, Nay?" Aryo bergantian menatap Nay juga keluarganya yang tak ada angin tak ada hujan muncul di rumah istrinya."Hai, Aryo! Oma mau nengok calon buyut tahu, nggak? Kamu tuh malah bengong."Aryo kembali terkesiap. Merasa di prank, Aryo mendekati keluarganya. "Mama, papa, kapan pulangnya? Tante juga katanya nganter oma ke luar kota.""Kamu tuh, Yo. Sama istri mbok ya dijagain yang baik. Untung calon bayinya nggak kenapa-napa. Bisa-bisa kamu tak jewer sini.""Ampun, Oma." "Iya, ini tante sama orang tuamu nganter oma ke luar kota buat mengisi tausiyah, Yo," pungkas tante Maya. Aryo masih terbengong.Semua yang hadir melihat tingkah keluarga Aryo akhirnya tertawa, ada juga yang menahan senyum, seperti Nayla yang saling pandang dengan Andra. Semua itu skenario Andra untuk mengerjai Aryo. Andra tidak mau Nay disakiti oleh suaminya. Saat di Daejeon, dokter mengatakan Nay hampir keguguran karena tindakan
Bab 63A"Nay, ini tanda kasihku untukmu." Nay tertegun melihat apa yang dibawa suaminya.Aryo membuka kotak kecil berlapis beludru. Ia mengeluarkan benda yang terpasang cantik di tempatnya. Sebuah kalung pertanda kasih sayangnya untuk sang istri tercinta. Ada liontin bunga matahari di kalung itu. Aryo berharap mentari akan selalu bersinar menerangi langkah mereka mengarungi biduk rumah tangga.Bukan tidak mungkin akan datang kerikil yang menghadang. Sebisa mungkin mereka saling menggenggam tangan untuk melalui jalan yang harus ditempuh. Apa yang menjadi tujuannya menggapai keluarga yang samawa (sakinah, mawaddah, warahmah).Aryo memakaikan kalung dengan liontin matahari ke leher Nayla. Pasmina Nay angkat hingga kalung itu terpasang sempurna di lehernya. Aryo mengecup kepala Nay dari belakang. Rasa yang membuncah mengisi rongga dada keduanya. Senyum manis pun terukir di wajah masing-masing, hingga sepasang lengan kekar Aryo melingkar di perut Nayla. Tatapan hangat di wajah Aryo terli
Bab 62B"Sudah saya bilang Pak Aryo jangan menyakitinya. Dua kali Bapak sakiti Nay, maka...""No, big No, Ndra. Saya harus bicara sama Nayla. Pokoknya kamu nggak boleh melamar sebelum hubungan kami jelas, oke!" Andra hanya mengedikkan bahu, dalam hati tertawa penuh kemenangan.Aryo meninggalkan Andra membereskan tempat yang akan dipakai untuk acara. Entah acara apa sebenarnya Aryo tidaklah tahu. Ia mendekati Pak Rusdi, meminta maaf atas kesalahannya karena membuat Nay sakit hati.Aryo juga bercerita tentang kesalah pahamannya dengan Nay yang melihat dirinya bersama Tika. Waktu itu Tika ingin berpamitan yang terakhir karena mau tinggal di luar negeri. Pak Rusdi yang sudah tahu duduk perkaranya langsung menyilakan Aryo masuk dan duduk di ruang tamu. Bu Ranti terkejut melihat kedatangan tiba-tiba menantunya. Gegas wanita paruh baya itu membuatkan minuman dan menyuguhkan cemilan."Nay baru selesai mandi, Nak. Tunggulah sebentar. Tolong sabar ya Nak Aryo, menghadapi Nay yang anak tunggal
Bab 62AAryo berjalan tergopoh menuju rumah Nay. Mendengar obrolan tetangga Nay tentang acara syukuran membuat hatinya berkecamuk. Menyesakkan."Apa maunya Nayla? Apa dia benar-benar menginginkan perpisahan?" Aryo mendengkus kesal seraya kakinya menendang kerikil di jalan.Sementara itu,di kamar, Nayla merapikan penampilannya di depan cermin. Ingatannya terlempar saat tidur siang di kos Cika. Bisa-bisanya ia mimpi buruk."Nay, maaf. Aku tidak tega membuat Tika sedih," ungkap Aryo membuat Nay mencelos."Lalu?" Tatapan nyalang Nay tujukan pada suaminya. Napasnya memburu menanti perkataan selanjutnya dari sang suami."Ada yang ingin aku katakan padamu. Mama memintaku menikahinya. Tika bersedia menjadi istri kedua.""Untung hanya mimpi. Kalau beneran, aku nggak yakin bisa menerima kabar itu."Nay menghela napas panjang, seulas senyum tersungging di bibir bergincu pinknya. Kedua tangan mengusap perutnya lembut. Sebuah ketukan pintu megusik kegiatan asyiknya di depan cermin."Masuk!" Nay me
BAB 61B"Astaghfirullah. Aryo kenapa?""Aryo bersalah, Oma. Aryo sudah menyakiti hati Nayla. Dia pergi karena Aryo yang nggak sabaran. Saat di Daejeon Aryo menyakitinya fisik juga batin. Lagi-lagi pulangnya pun Aryo menambah lukanya kembali menganga."Oma dan Tante Maya tertegun melihat pengakuan Aryo. Keduanya menasehati Aryo supaya lebih sabar menghadapi masalah. Yang telah berlalu biarlah berlalu, jangan terulang lagi kesalahan yang sama. Manusia tidak ada yang sempurna. Memilih pasangan bukan untuk mencari yang sempurna tetapi yang bisa saling melengkapi hingga mendekati sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Rabbnya."Makasih, Oma, tante. Aryo mau bernagkat dulu ke Solo.""Apapun yang terjadi jadikan ini belajaran berharga untukmu dan Nayla, Yo. Oma tidak berharap kalian berpisah. Tetapi kalau mengharuskan kalian berpisah, kamu harus mengikhlaskannya.""Oma, Aryo tidak akan membiarkan Nay pergi. Oma dan tante doakan hubungan kami membaik!" pinta Aryo dengan penuh permohonan."