Share

Bab 5 Gali lobang tutup lobang

Pov Riyanti

Baru saja aku menerima pesan singkat dari ibuku. Beliau butuh uang untuk membayar cicilan mingguan. Di kampung memang sedang gencar pinjaman praktis sekitar 500rb sd 1 juta hanya dengan modal FC KTP. Banyak tetangga yang tergiur tak terkecuali ibuku. Oh tidak, kini ibuku terjebak pinjaman dari orang yang bisa dikatakan lintah darat. Padahal kalau dihitung-hitung ini sangat memberatkan, bunganya pun tergolong tinggi. Alhasil, warga yang pinjam jadi terlilit hutang dan dikejar-kejar angsuran mingguan.

‘Oh ibuku, bisakah aku segera menjadi orang kaya saja supaya hidup kita tidak susah?’ ratapku dalam hati.

Flashback on

Saat aku SMA, ada tamu seorang juragan kaya raya datang menyambangi rumah.

"Pak Rahmat, kapan kalian akan mengembalikan uangnya? Katanya bulan ini, hah," ucapnya setengah berteriak. Aku menguping pembicaraan di ruang tamu. Sebenarnya bukan sengaja menguping, tapi karena suara juragan yang lantang otomatis masuk ke telingaku.

"Sekali lagi maafkan kami, Pak. Kalau boleh kami minta pengunduran sebulan lagi," pinta Bapakku.

Ada nyeri di hatiku saat mendengar Bapakku dicaci maki. Bapak Ibuku hanya terdiam mendengar makian Sang Juragan. Sementara aku menahan tangisan yang menyesakkan dada. Kalau saja kamarku kedap suara, aku mungkin akan berteriak. Aku ingin berteriak kenapa hidup kami jadi begini.

Mungkin ini sebagian ujian dari Allah yang harus kami terima supaya keluarga kami selalu bersyukur atas nikmat-Nya serta bersabar atas cobaan-Nya. Roda kehidupan kadang di atas, kadang di bawah bukan. Kini keluarga kami sedang di posisi bawah.

'Sungguh ini titik terendah kekuarga kami.'

Kalau boleh memilih, aku tidak akan merepotkan saudara atau orang lain dengan meminjam uangnya. Lebih baik meminjam di bank yang tidak akan menyusahkan orang lain. Namun pihak bank sudah tidak memberi kepercayaan pada Bapak yang kerap mangkir dari angsurannya.

Mengingat kembali masa ini membuat hatiku perih bagai teriris sembilu. Bagaimana tidak, Bapak yang menjabat ketua panitia pemilihan Kepala Desa menjadi sasaran empuk saat masa pendukung salah satu calon yang tidak menang berdemo.

Mereka berusaha mencari kecacatan agar hasil pemilihan bisa digagalkan. Saat keputusan tak mampu diganggu gugat, sebagian oknum murka dan berjuang menggulingkan posisi jabatan yang diemban panitia.

Sekelompok oknum yang sedang mencari kecacatan hukum berkumpul di depan balai desa. Mereka membawa ban bekas dan perlengkapan untuk membakarnya, bahkan ada yang memikul keranda berisi replika mayat. Seakan-akan orang yang dicari cacat hukumnya pantas mati. Bukankah kematian itu Allah yang mengaturnya.

Media massa pun turut mencatat sejarah nama Bapak beserta rentetan masalahnya. Malu sudahlah pasti, keluargaku seperti tak ada harganya dimata masyarakat. Banyak yang terenyuh dan berempati, tapi tidak sedikit juga yang mencemooh.

Beruntungnya Ibuku wanita yang tangguh dan penuh kesabaran mendampingi Bapak di saat genting harus berurusan dengan hukum.

Segala upaya dikerahkan bahkan dengan menjual harta benda keluarga kami untuk membiayai. Ah entahlah, aku menjadi malas berurusan dengan politik. Aku tak pandai ilmu yang satu ini. Aku lebih suka ilmu hitung menghitung. Pada akhirnya kami harus berpasrah kehilangan harta benda asal tidak kehilangan harga diri dan kehormatan. Kata Ibuku akan sangat memalukan jika Bapak sampai masuk penjara.

"Kasian kalian anak perempuan, nanti kalau menikah siapa yang menjadi wali kalau Bapakmu di penjara." ucap Ibuku penuh penekanan dengan air mata menetes membasahi pipinya yang masih halus. Ibu selalu berpesan padaku dan Mbak Ratih agar bisa menjaga diri dan kehormatan meski sudah tak ada lagi harta benda.

Kami benar-benar hidup mulai dari nol lagi. Bahkan banyak hutang sana-sini karena tidak hanya satu dua ahli hukum yang bermaksud membantu. Lebih parahnya lagi, Bapak juga pernah kena tipu oleh oknum pengacara yang ingin membantu pengurusan masalah ini. Bagaikan jatuh ketimpa tangga pula.

Roda hidup memang berputar, kadang di atas kadang di bawah. Sekarang aku merasakan berada di bawah. Hidup kami benar-benar berubah drastis. Ibuku selalu berpesan pada anak-anaknya untuk bersabar. Makan seadanya, jangan dengarkan gunjingan tetangga, karena tidak akan ada artinya. Mereka seperti menganggap kita sudah tak berharga. Belajarlah yang rajin hingga cita-citamu tercapai dan angkatlah kembali Bapak Ibumu. Kami tidak mampu membekali harta, hanya ilmu yang bisa kami berikan.

Kata-kata itu selalu terngiang di kepalaku seperti kaset rekaman yang di putar ulang. Aku pernah berpikir ingin menanam kebencian terhadap oknum-oknum yang memusuhi Bapak.

Namun kemudian aku tersadar, rasa benci yang semakin membara di hati hanya melemahkan semangat dan jiwaku. Bukankah aku akan menjadi orang yang merugi pula dengan hati yang dipenuhi dendam.

Flashback off

Akhirnya kuputuskan bertekad menunjukkan pada orang-orang segala prestasi yang bisa kuraih. Aku meyakinkan diri bisa mewujudkan impian mengembalikan senyum Bapak Ibu.

Sedikit banyak tekad yang bulat tertanam di hati ini untuk mengubah nasib keluargaku. Ini menjadikan semangatku bangkit kian membara untuk mencari uang.

Tak heran jika aku sering kena sasaran balik saudara yang membutuhkan uang. Jika kubilang aku tak punya uang maka siap-siap telinga ini mendengar cacian tak tau balas budi. Mereka pikir aku yang kuliah sambil kerja part time bisa menghasilkan banyak uang.

Padahal nyatanya uang yang didapat ini sedikit untuk tambahan makan serta membayar angsuran mingguan Bapak Ibu. Belum lagi catatan hutang yang nominalnya ratusan juta.

'Aku hanya bisa bermimpi mendapat uang banyak untuk segera membuat keluargaku terbebas dari lilitan hutang.'

Namun aku sadar jika hanya sekerdar mimpi, hidupku tidak akan banyak berubah. Aku pun memutuskan mencari kerja part time tambahan selain memberikan les. Setelah tengok kanan kiri, ada part time menjahit baju seragam anak. Lokasinya tidak jauh dari kos dan kampus. Ini menguntungkan sekali bagiku karena tidak harus menghabiskan waktu lama di perjalanan. Hari ini tida ada jadwal kuliah, lantas aku putuskan untuk ke Graha Tailor.

"Saya Riyanti, Bu. Mahasiswi semester atas di kampus sebelah," ucapku memperkenalkan diri pada Bu Zuhair pemilik Graha Tailor, industri tekstil yang tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil. Seringnya di graha mengerjakan job menjahit seragam sekolah.

"Yuk, naik biar dijelasin sama Mbak Dyah kerjaannya."

Saat kakiku menginjakkan lantai atas di rumah Bu Zuhair, aku mengedarkan pandangan ke segala arah. Tanpa sengaja mata ini menangkap sosok yang beberapa hari ini menari-nari di kepalaku.

“Pak Alfa!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status