Sepanjang perjalanan, Lintar dan Koh Iwan terus bercanda ria, gelak tawa menghiasi kebersamaan mereka. Hingga tidak terasa mobil sedan yang dikemudikan Lintar sudah tiba di depan gerbang rumah mewah milik Dewi. Hanya dengan membunyikan klakson dua kali saja, pintu gerbang rumah tersebut langsung terbuka dengan sendirinya.Tampak seorang petugas keamanan rumah itu berdiri tegak di depan pos keamanan sambil memberi hormat kepada Lintar yang baru tiba.Lintar langsung membuka kaca mobilnya. "Selamat malam, Yo. Apa kabar?" kata Lintar sambil tersenyum lebar."Selamat malam juga, Pak," jawab Rio sedikit membungkukkan badannya."Randi ke mana, Yo?" tanya Lintar lagi."Ada di mes, Pak," jawab Rio penuh rasa hormat.Setelah itu, Lintar kembali menutup kaca mobilnya. Perlahan, ia kembali melajukan mobilnya mengarah ke halaman parkir rumah mewah itu."Aku di sini saja, Tar. Kamu masuk sendiri yah," kata Koh Iwan lirih."Lah, kenapa, Koh?""Mau nemuin Fendi di mesnya.""Nanti kalau Dewi nanyain
Dewi kembali memeluk tubuh Lintar. Bibirnya yang halus terpulas merahnya gincu, menempel lembut di atas dahi Lintar."Terima kasih banyak Lintarku sayang," ucap Dewi lirih.Lintar hanya tersenyum, sejatinya ia sudah tidak dapat menahan godaan tersebut. Ingin rasanya Lintar mencumbui Dewi saat itu juga, akan tetapi Lintar masih kuat menahan gejolak dalam jiwa dan perasaannya itu. Lintar bersikap lebih dewasa lagi, tidak seperti dulu yang gampang terpancing oleh hawa nafsunya sendiri. Kini, ia lebih memikirkan dampak yang akan terjadi ke depan, ia tidak mau gegabah menjamah kesucian seorang wanita hanya melampiaskan hasratnya saja.****Setelah beberapa jam berada di kediaman Dewi. Lintar pun langsung pamit pulang kepada kekasihnya itu."Sudah jam sepuluh lebih, aku pulang dulu, yah," kata Lintar lirih, "Besok siang aku jemput kamu ke sini," sambungnya sambil mencium kening Dewi.Lintar bangkit dan langsung menelepon Koh Iwan yang ada di mes bersama para pegawai Dewi.Tidak lama kemudi
Lintar dan Dewi terus berbincang-bincang santai bersama Syarif dan istrinya. Ada banyak hal yang mereka bicarakan pada saat itu, bukan hanya terkait pernikahan mereka yang sebentar lagi akan digelar. Namun, mereka pun membahas hal lain yang berkaitan dengan bisnis dan juga kehidupan mereka selama ini.Sekitar pukul setengah enam sore, Lintar dan Dewi pamit pulang kepada Syarif dan istrinya. Saat itu, mereka buru-buru pulang karena mendapatkan kabar bahwa Mirna—asisten rumah tangga Dewi mengalami kecelakaan.Mirna mengalami kecelakaan saat pulang dari mini market. Ketika dirinya tengah menyebrang, tiba-tiba saja ia ditabrak lari oleh seorang pengendera motor. Hal tersebut, menyebabkan Mirna harus dirawat di rumah sakit."Kita langsung ke rumah sakit Siloam saja! Mirna dirawat di sana," kata Dewi panik."Iya, Wi," jawab Lintar sambil mengemudikan mobilnya, "Kamu jangan panik! Kamu harus tenang! Percayalah, Mirna pasti baik-baik saja," sambung Lintar sedikit berpaling ke arah Dewi yang d
Keesokan harinya .... Lintar sudah berada di kantor, hari itu merupakan hari terakhirnya bekerja. Karena Lintar sudah menerima tawaran Dewi untuk mengelola perusahaannya. "Banyak sekali kenangan indah di kantor ini, tidak mudah aku melupakan semuanya." Lintar bergumam sambil duduk dengan pandangan menerawang jauh menembus jendela ruangan kerjanya itu. Memang berat meninggalkan perusahaan tersebut, tapi itu adalah jalan terbaik yang harus Lintar ambil. Demi masa depannya yang sebentar lagi akan menjadi suami Dewi. Dewi memintanya untuk bergabung dengan perusahaan miliknya bukan karena Lintar akan menjadi suaminya. Namun, Dewi memutuskan hal itu karena paham bahwa Lintar memiliki kemampuan dalam mengelola perusahaan dengan baik. "Kamu tahu, 'kan, Pak Lintar mau keluar dari kantor ini?" tanya Lusi kepada rekannya. "Iya, tahu. Kemarin aku baca status Pak Lintar di medsos," jawab seorang wanita cantik berkacamata, "Kantor ini akan menjadi sepi kalau Pak Lintar keluar," sambungnya. "H
Tok! Tok! Tok! "Lintar! Keluar kamu!" teriak seorang wanita paruh baya, berdiri angkuh di depan pintu rumah sederhana milik seorang pemuda yang bernama Lintar. "Itu Bu Rasti kenapa, Mbak?" tanya seorang wanita bertubuh tambun sambil mengerenyitkan dahi. Kebetulan saat itu, ia sedang berbelanja di sebuah warung tidak jauh dari kediaman Lintar. "Nggak tau, mungkin Bu Rasti kesurupan kali," jawab seorang wanita setengah baya sambil tertawa-tawa. "Ah, Mbak. Bisa aja." "Baru tau yah? Bu Rasti dari dulu emang gitu ... sombong, angkuh, dan sok kaya," sahut seorang ibu yang mengenakan kerudung biru, mencemooh sikap Rasti yang sudah bersikap keterlaluan. Rumah sederhana yang didominasi dengan warna cat biru langit pada dindingnya, itu merupakan kediaman Lintar yang berdiri kokoh di antara deretan rumah-rumah penduduk lain yang ada di pinggiran jalan utama desa tersebut. Sudah hampir 5 tahun lamanya, Lintar mendiami rumah tersebut seorang diri, karena kedua orang tuanya telah meninggal d
Perkataan Rasti sangat menyakitkan sekali. Namun, Lintar hanya diam saja, ia tidak mau meladeni kemarahan wanita paruh baya itu. Lintar tampak bingung dan harus berkata apa lagi, supaya Rasti dapat memahami penjelasan darinya. Sehingga, Lintar mulai mengambil sebuah keputusan untuk mengalah, karena tidak ada faidahnya jika terus berdebat terlalu lama dengan wanita paruh baya yang super sombong itu. Lintar menarik napas dalam-dalam. Setelah beberapa saat lamanya terdiam, akhirnya Lintar kembali buka suara, "Baik, Bu. Saya akan mencari Eva, sampai saya menemukannya" tegas Lintar. Rasti menudingkan jari telunjuknya ke arah Lintar sambil melotot tajam. "Saya pegang ucapan kamu! Kalau kamu bohong, saya tidak akan segan-segan untuk melaporkan kamu kepada pihak kepolisian!" kata Rasti melontarkan ancaman. Lintar tersenyum hambar menatap wajah wanita paruh baya itu. Namun, Lintar tidak mau ambil pusing dengan sikap Rasti yang sudah keterlaluan itu, sehingga dirinya pun mengiyakan perkat
Dengan demikian, Lintar langsung pamit kepada Edi dan segera melangkah menuju beranda rumah tersebut untuk menemui Devia dan Eva. Memang benar apa yang dikatakan oleh Edi, Devia saat itu tengah berbincang santai dengan Eva di teras rumahnya. Gadis cantik berkulit putih itu tampak senang ketika melihat kedatangan Lintar. "Ya, Allah! Lintar! Akhirnya datang juga," desis Devia tersenyum lebar meluruskan pandangannya ke arah Lintar. Lintar balas tersenyum sambil melangkah menuju ke arah beranda rumah sahabatnya itu. Setelah berada di hadapan Devia dan Eva, Lintar langsung mengucapkan salam, "Assalamualaikum." "Wa'alaikum salam," jawab Devia dan Eva. Devia bangkit dan langsung mempersilakan Lintar untuk duduk, "Silahkan duduk, Tar!" "Iya, Dev. Terima kasih," jawab Lintar. Lintar melangkah menuju ke arah kursi yang ada di teras rumah tersebut,, kemudian ia duduk bersebelahan dengan Eva. "Kamu pasti mau menjemput Eva. Iya, 'kan?" tanya Devia tersenyum-senyum menatap wajah Lintar. L
Keesokan harinya .... Sekitar pukul delapan pagi, Lintar menyempatkan diri berkunjung ke rumah Eva, karena ia ingin memastikan bahwa Eva benar-benar sudah memaafkan dirinya. Sebelum berangkat ke rumah Eva, Lintar meneleponnya terlebih dahulu. Kebetulan saat itu Rasti tidak ada di rumah, sehingga Lintar dan Eva menjadi lebih leluasa lagi dalam melakukan perbincangan. "Assalamualaikum," ucap Lintar lirih. "Waalaikum salam," sahut Eva yang saat itu sedang berada di teras rumah. Eva langsung mempersilahkan duduk kepada sahabatnya itu, "Silakan duduk, Tar!" Lintar hanya mengangguk dan langsung duduk di sebuah kursi yang ada di teras rumah tersebut. Setelah itu, Lintar langsung berbincang dengan Eva. "Aku harap kamu tidak marah lagi, karena sedikit pun aku tidak bermaksud hendak menyakiti perasaan kamu, Va," ucap Lintar di sela perbincangannya dengan Eva. "Iya, Tar. Aku juga paham," jawab Eva masih bersikap dingin. Lintar tersenyum lebar dan merasa lega mendengar perkataan dari saha