“Steve?” gumam Nora, suaranya terasa bergetar saat mendengar suara lelaki di sampingnya.
“Ya. Ini aku, Steve. Mengapa? Apa kau merasa terkejut, karena melihatku di sini?” tanya Steve, suaranya tegas dan penuh dengan rasa penasaran.
Nora menggeleng pelan, mencoba menenangkan dirinya. “Tidak. Hanya saja, mengapa kau membeliku dengan harga yang fantastis? Uang tujuh puluh juta dollar bukanlah uang yang sedikit,” tanyanya, suaranya terdengar ragu.
Namun, Steve hanya diam. Dia memilih untuk menatap mata Nora, mencoba membaca setiap ekspresi yang terpancar dari wajah wanita di depannya.
“Ternyata benar, pemberitaan tentangmu di luar sana,” ucap Steve, suaranya terasa dingin, mengingatkan Nora akan perasaan yang pernah terluka sebelumnya.
Nora mengerutkan kening, tatapan matanya penuh dengan kebingungan. “Apa maksudmu? Berita apa yang kau dengar tentangku, Steve?” tanyanya, ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
“Tentu saja bahwa kau bukan wanita baik-baik setelah berpisah denganku. Menjual diri dengan nominal yang sangat tinggi. Apa kau sangat membutuhkan uang, setelah berpisah denganku?” potong Steve, suaranya penuh dengan kekecewaan.
Nora menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan gejolak emosinya. “Pemberitaan di luar sana tidaklah benar, Steve—” namun, dia terpotong oleh Steve yang terus menuduhnya.
“Namun, aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, kau menjual diri di sana, Nora. Kau mau mengelak apa lagi, huh?” lanjut Steve, suaranya terdengar penuh dengan kekesalan.
Nora merasa sakit hati mendengar kata-kata Steve. “Terserah apa pun perspektifmu mengenai diriku. Yang ingin aku tanyakan adalah, mengapa kau mengikuti acara lelang itu?” tanyanya, mencoba untuk tetap tenang.
Namun, Steve hanya diam. Seolah tak ingin memberi tahu alasan di balik tindakannya. “Mengapa diam saja? Apakah aku tidak boleh tahu?” desak Nora, ingin mendapatkan jawaban.
“Nora. Saat ini kau adalah pelayanku, bukan lagi bagian dari hidupku. Kita sudah berpisah, bukan?” jawab Steve dengan nada dingin, membuat Nora merasa semakin terluka.
Nora mengangguk, meskipun hatinya terasa hancur. “Ya. Kita sudah berpisah. Dan itu yang ingin aku tahu darimu, alasanmu mengapa ingin bertemu denganku lagi,” ucapnya dengan suara yang gemetar.
Steve tertawa dengan sinis. “Ingin bertemu denganmu lagi? Jangan bermimpi, Nora!” jawabnya dengan nada yang kasar.
Nora menelan ludahnya, menatap Steve dengan mata yang penuh dengan kepedihan. Dia merasa seperti harga dirinya kembali diinjak-injak oleh lelaki di depannya.
Nora memperhatikan ekspresi Steve dengan saksama, mencoba membaca setiap nuansa yang terpancar dari wajah lelaki di hadapannya.
“Maaf, jika ucapanku terdengar terlalu percaya diri. Namun, aku sadar diri, kau telah membuangku saat itu,” ucap Nora dengan suara yang tenang, namun penuh dengan kepastian.
Steve memutar matanya dengan malas, tampaknya enggan bertatapan langsung dengan Nora. Rasa kebingungannya terlihat jelas di wajahnya, seperti mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk merespons.
“Duduklah. Memangnya kakimu tidak pegal, berdiri sedari tadi?” titah Steve, suaranya masih terdengar dingin, meskipun ada sedikit kelembutan yang tersembunyi di dalamnya.
Nora mengangguk, menuruti perintah Steve dengan patuh. “Baik, Tuan. Terima kasih,” ucapnya sopan, matanya menatap langsung ke arah mata Steve yang tengah menyelidiki wajahnya.
“Katakan. Kau menyewaku berapa lama?” tanya Nora kemudian, mencoba untuk mengerti situasi yang sedang dihadapinya.
“Sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati dengan pemilik bar yang telah menjualmu. Kau telah dijual, bukan disewa,” jawab Steve dengan nada yang tajam, mengungkapkan kebenaran yang sulit untuk diterima.
Nora terdiam sejenak, mencerna kata-kata Steve dengan hati yang berat. “Apa? Maksudmu? Aku ….” ucapnya, suaranya terputus oleh rasa kebingungan yang menghantuinya.
“Ya. Kau telah menjadi milikku … lagi. Kau mengerti pelelangan, kan? Yang mana artinya kau telah dijual, bukan disewa. Aku pikir kau wanita pintar. Ternyata sama saja,” lanjut Steve dengan suara yang dingin, namun penuh dengan ketegasan.
Nora menatap Steve dengan tatapan yang penuh dengan kekesalan. Dia tidak bisa mempercayai bahwa Steve dengan mudahnya menyatakan bahwa dirinya seperti barang dagangan yang bisa dibeli dan dijual.
Nora memandang Steve dengan tatapan yang penuh dengan keberanian, tidak gentar meskipun dihadapkan pada sikap Steve yang tampaknya tidak percaya.
“Aku bukan wanita bodoh, Tuan Steve yang terhormat! Asal kau tahu, aku dijual oleh ibuku yang memiliki banyak utang pada Tuan Liam, si lintah darat pemilik bar itu,” jelas Nora dengan suara yang tegas, berusaha membuat Steve memahami situasinya.
Namun, wajah Steve masih terlihat skeptis. Sepertinya dia belum sepenuhnya mau memercayai ucapannya.
“Apa kau tidak percaya dengan ucapanku? Aku dijual, Steve. Dijual!” desak Nora, suaranya dipenuhi dengan kekesalan dan frustrasi.
“Tak perlu mengulang perkataanmu itu, Nora. Aku tidak tuli, pendengaranku masih normal!” teriak Steve, wajahnya tampak sangat kesal oleh sikap Nora.
Dia menyadari bahwa Nora marah padanya karena menyebutnya wanita bodoh, tetapi Steve tetap bertahan dengan sikapnya. Dia tidak akan menunjukkan penyesalan atas ucapannya sebelumnya.
“Kalau begitu, katakan apa maumu,” ucap Nora dengan suara yang tenang, matanya menatap tajam ke arah Steve, mencoba untuk memahami apa yang sebenarnya diinginkan oleh lelaki di hadapannya itu.
Steve merasa terkejut oleh keberanian Nora, tetapi dia tidak akan membiarkan dirinya terlihat terpengaruh olehnya.
Steve masih menatap Nora dengan ekspresi dingin, mencoba memikirkan langkah selanjutnya yang harus diambil. Pertanyaan yang menggelitik selalu melintas dalam pikirannya, namun dia memilih untuk menahannya sebelumnya.
“Apakah benar, kau masih perawan?” Pertanyaan itu akhirnya keluar begitu saja dari bibirnya, terdengar tenang dan lancar.
Nora terdiam sejenak, terkejut dengan pertanyaan yang tiba-tiba itu. Namun, dia segera mengumpulkan kembali keberaniannya. “Kau … kau meragukanku lagi? Oh, Steve. Kau benar-benar membuatku kesal sampai ubun-ubun!” ucapnya dengan nada yang penuh dengan kekesalan.
“Hanya perlu menjawab pertanyaanku saja apa susahnya?” tanya Steve dengan dingin, tatapannya tetap tajam, tidak menunjukkan sedikit pun penyesalan atas pertanyaannya.
Nora menggertakkan giginya, merasa semakin kesal dengan sikap Steve yang tampaknya meragukannya. “Tidak, tentu saja tidak susah. Tapi apa relevansinya dengan apa yang sedang kita bicarakan?” sahutnya dengan nada yang sedikit tertekan.
Steve hanya mengangguk sekilas, seakan memberi tahu bahwa pertanyaannya tidak bisa dielakkan. “Jawablah pertanyaanku, Nora,” tegasnya, masih dengan ekspresi wajah yang sama dinginnya.
Sinar matahari Yunani yang lembut menyelinap melalui tirai kamar mereka, membangunkan Nora dan Steve dari tidur yang tenang.Mereka berdua bangun dengan senyum di wajah, merasakan kehangatan pagi dan kebahagiaan yang memenuhi hati mereka.Steve, dengan tatapan penuh cinta, menatap Nora yang masih berbaring di tempat tidur. "Selamat pagi, sayang. Bagaimana tidurmu?" tanyanya dengan suara lembut.Nora tersenyum, mengulurkan tangan untuk menyentuh wajah Steve. "Tidurku nyenyak, suamiku. Bangun di tempat yang indah ini bersamamu adalah kebahagiaan tersendiri."Steve mengangkat Nora dari tempat tidur dengan lembut, lalu memimpin menuju kamar mandi. "Bagaimana kalau kita memulai hari ini dengan mandi bersama?" katanya sambil tersenyum nakal.Nora tersipu, tapi tak bisa menolak pesona Steve. Dia mengikuti suaminya, merasa antusias untuk mengawali hari dengan cara yang intim dan penuh cinta.Di bawah pancuran air hangat, mereka berbagi momen keintiman yang penuh kasih. Air mengalir melewati t
Di bawah langit Yunani yang biru cerah, di mana langit bertemu laut dalam nuansa biru yang tak terlukiskan, Nora berdiri di tepi pantai dengan mata berbinar, menikmati setiap detik momen yang berharga ini.Angin laut berbisik lembut, mengibaskan rambutnya yang panjang dan halus. Steve, yang berdiri di sampingnya, memandangnya dengan senyum penuh kasih sayang."Nora," katanya lembut, suaranya membawa nada penuh kehangatan yang hanya bisa muncul dari cinta yang mendalam. "Selamat ulang tahun. Aku ingin kamu tahu betapa berartinya kamu bagiku."Nora menoleh, matanya bertemu dengan tatapan penuh cinta Steve. Dia terdiam sejenak, merasakan kebahagiaan yang menggelora dalam hatinya, seperti ombak yang memecah di pantai."Steve, ini terlalu indah. Aku tak pernah membayangkan bisa berada di sini, di Yunani. Ini seperti mimpi."Steve tersenyum, menarik Nora lebih dekat dalam pelukannya. "Aku ingin memberikanmu segalanya, Nora. Semua yang bisa membuatmu bahagia. Karena itu adalah yang paling pe
“Woah!”Di bawah langit yang memerah saat matahari mulai tenggelam, Nora dan Steve akhirnya tiba di The Wharf Skyline Views.Tempat itu memancarkan keindahan yang memukau, seolah-olah alam dan kemewahan berpadu dalam harmoni yang sempurna.Pemandangan laut yang luas terbentang, dengan perahu-perahu yang tampak kecil dari kejauhan, membingkai pemandangan kota yang gemerlap di malam hari.“Steve … tempat ini indah sekali.”Dekorasi di dalam ruangan privat yang mereka tempati tidak kalah memukau. Lilin-lilin yang berkerlap-kerlip menghiasi setiap sudut, dan bunga-bunga segar yang tertata rapi menambah kehangatan suasana.Aroma bunga yang lembut bercampur dengan udara laut yang segar, menciptakan suasana yang begitu menenangkan.Nora mengagumi keindahan dekorasi tersebut, menyadari bahwa semua ini telah diatur dengan sangat hati-hati.“Kau menyukainya, hm?” tanya Steve dengan tangan melingkar di pinggang Nora.Wanita itu mengangguk antusias. “Ya. Aku sangat menyukainya, Steve!”Brandon, s
Dua hari kemudian, suasana di ruang rapat pimpinan di kantor Steve terasa tegang namun penuh harapan.Para eksekutif dan pemegang saham utama telah berkumpul untuk membahas masa depan EIF Group, perusahaan yang sahamnya terguncang setelah skandal yang melibatkan Jemmy, mantan pemegang saham mayoritas.Steve, duduk di ujung meja dengan Brandon di sisinya, memulai pertemuan dengan nada serius."Kita semua tahu kondisi saham EIF Group saat ini sangat tidak stabil," ujarnya, memandang para pemegang saham yang hadir. "Jemmy telah meninggalkan perusahaan dalam situasi yang sulit, dan para investor menantikan solusi dari kita."Mike, kepala bagian keuangan, mengangguk setuju. "Benar, saham perusahaan terus menurun karena tidak ada yang memegang kendali. Para investor berharap penuh pada Anda, Tuan Steve, untuk mengambil alih dan membawa perusahaan kembali stabil."Steve mengangguk, wajahnya menunjukkan ketegasan. "Saya siap mengambil alih saham tersebut, tapi dengan syarat saya mendapatkan 7
Di sebuah restoran yang penuh dengan nuansa keanggunan dan keindahan, Steve memandang istrinya, Nora, yang sedang melamun sejak tadi.Matanya terfokus pada sesuatu yang jauh, seolah pikirannya berkelana ke tempat yang tak dapat dijangkau oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri.Steve, yang selalu peka terhadap perasaan Nora, memanggilnya dengan lembut, "Sayang, ada yang mengusik pikiranmu?"Nora tersadar dari lamunannya, menggeleng pelan dan tersenyum. "Tidak ada, Steve. Aku hanya menikmati suasana restoran ini. Tempat ini benar-benar indah dan nyaman," jawabnya dengan suara lembut, mencoba mengalihkan perhatian Steve.Meskipun tersenyum, hati Nora sedikit terganggu. Ada sesuatu yang ia harapkan dari Steve, sesuatu yang seharusnya datang sebentar lagi."Apakah kau sedang memberiku kejutan di sini?" tanyanya dengan nada penuh harap, matanya bersinar dengan ekspektasi.Steve terkekeh pelan, menyadari harapan di mata istrinya. "Kejutan, huh? Tidak ada, Sayang. Aku hanya ingin membawamu ma
"Biarkan kuasa hukumku yang menjelaskan. Kau tinggal tanda tangan saja surat cerai itu untuk diproses di pengadilan,” kata Luna dengan nada tegas.Justin menoleh ke arah Federick yang sudah siap menjelaskan alasan Luna ingin menggugat cerai Justin. Pria itu tersenyum miring, lantas membuka kacamata dan menaruhnya di atas meja berlapis kaca."Jadi, kau ingin berpisah denganku karena Steve sudah tahu semuanya tentang masa lalu kita? Bukankah kau sendiri yang memutuskan untuk selingkuh denganku? Kau sendiri yang bilang jika Frank terlalu sibuk sampai melupakanmu?" tanya Justin, suaranya terdengar penuh ejekan.Luna menghela napas panjang. “Saat itu aku memang bodoh dan egois. Dan mencintaimu adalah hal yang paling aku sesali seumur hidupku. Kau pikir aku bahagia menikah denganmu?“Tentu saja tidak, Justin! Kau hanya ingin mencari keuntungan dariku. Seharusnya aku mendengarkan permintaan anakku untuk tidak menikah lagi. Tapi, karena aku terlena oleh bujuk rayumu, aku mengabaikan anakku se