Pertanyaan bagaimana cara Tresna merayu Papa benar-benar membuatku penasaran. Papa itu tipikal orang yang kaku, tidak peduli apapun selain dengan berita di televisi dan kopi hitam di awal harinya. Papa selalu terlihat datar dan flat seperti jalanan tol. Selalu bersikap netral dan cenderung tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitar. Mana pernah Papa marah, senang, dan sedih berlebihan. Untuk ukuran orang normal Papa sedikit lebih diam. Heran sekali kok bisa menikah dengan wanita cerewet seperti Mama.
Aku baru melihat Papa berlinang air mata bahagia saat Mama berhasil siuman setelah melahirkan Alan. Mama sempat koma beberapa hari akibat komplikasi melahirkan adikku itu. Beberapa hari ayah tidak menunjukkan ekspresi apapun dan hanya menepuk-nepuk bahuku dan Marvin bergantian saat kami menangis karena menguping pembicaraan dokter perihal keadaan Mama yang semakin kritis. Mendengar kalimat meninggal membuat kami menangis sesenggukan. Saat itu Pap
Yakin mau menikah?Pertanyaan itu membuatku menjenjangkan alis. Jujur, jika dari diriku sendiri, dengan lantang aku akan berkata;"BELUM SIAPLAH, ANJAY!''Aku belum siap masuk ke dalam permasalah rumah tangga terlebih jika calon suamiku menuntut untuk dilayani, dimasakkan, dicucikan baju atau simpelnya minta diurus semua kebutuhannya dari A-Z. Aku belum siap menikah jika ujung-ujungnya hanya dijadikan seorang pembantu ataupun mesin pencetak anak yang dianggap berguna jika bisa memenuhi kemauan memiliki cucu menggemaskan yang bisa pamerkan oleh mertua dan orang tuaku.Membayangkan jika nanti menikah aku harus hamil dan mempunyai anak. Terbangun di tengah malam hanya untuk menyusui sedangkan suamiku hanya tidur pura-pura tidak tahu apa-apa. Amit-amit deh!Lebih baik aku pergi Hogwarts saja jadi pembantu Voldemort atau tukang sapu asrama Ravenclaw, kegiatan itu lebih bermartabat dan men
Aku diungsikan keluargaku saat keluarga Pak Haji hendak bertandang. Entah, rencana apa yang akan dilakukan oleh keluargaku untuk menolak perjodohan itu. Apa yang kira-kira reaksi keluatga Pak Haji jika tahu lamaran anaknya ditolak? Apakah mereka akan mendoakan yang baik-baik atau justru menyumpahi? Atau apa yang akan dikatakan Mama dan Papa. Jujur saja, aku penasaran dan ingin tahu apa yang terjadi di rumah sekarang, tapi, sayangnya tidak bisa karena aku sedang bersama Tresna. Berdua saja dengan Tresna. Tresna yang mengemudi hanya diam saja semenjak keluar dari rumah. Ia terus memutari jalanan di sekitar area kampusku dahulu, Depok. Sudah setengah jam kami terjebak hening dan membuatku ingin bernyanyi, tiga puluh menit kita di sini, tanpa suara~ Serius, jika hanya diam seperti ini aku merasa canggung dan aneh. Di antara kami hanya ada suara lagu-lagu di radio yang memutar lagu-lagu dari band lokal era 2005 ke atas seper
Aku meneguk ludah, menyadari baru saja aku menyakiti perasaan Tresna. Ah, sialan. Kenapa aku harus peduli dengan perasaan dosen itu di saat ia sering mengolok diriku juga. Argh, ini menyebalkan! Aku benci menyalahkan diri sendiri. "Dia mantan kamu?" tanyaku hati-hati. Aku tidak mau menyakiti perasaan Tresna lagi dengan mengingatkannya pada gadis yang ia sukai itu. "Bukan, kita gak pernah pacaran," jawab Tresna. Aku mendadak pusing. Bukan pacar tapi mengapa sesedih itu ia melihat gadis itu menikah? Apa-apaan ini, huh? "Turun," titah Tresna membuyarkan pikiranku. Aku meneliti sekeliling lewat jendela mobil. Kami tiba di sebuah parkiran basement pusat perbelanjaan. "Ngapain kita kesini?" tanyaku menatap Tresna yang melepaskan sabuk pengamannya. Ia merotasikan kedua netranya saat melihatku. Kenapa? Aku k
Tresna yang sedang bersandar di kursi mengerjap beberapa kali saat mendengar ungkapan terima kasihku. Setelahnya ia mengangguk sembari menggigit ujung sedotan milo kotaknya, "Yap, santai saja, itu hanya air mineral."Reaksinya tak berlebihan, meski potret dirinya yang tengah menggigit sedotan itu terlihat cute dan tengil dalam satu waktu. Hah, rugi banget sih cewek yang menolak pria ini. Iya, aku memikirkan gadis yang ditangisi Tresna di hari pernikahannya.Aku segera menghabiskan ayamku dan meneguk air yang dibawakan Tresna, kemudian cuci tangan dan siap untuk membaca kontrak yang telah ia siapkan.Pemuda itu terlihat sudah menyiapkan segalanya. Aku tidak ingat kapan ia membawa tas berisi laptop serta lembaran-lembaran kontrak yang tengah
Apa-apaan maksud Tresna?Perdebatan kami mengundang pandangan ingin tahu dari beberapa pengunjung restoran itu. Kebanyakan mereka senyum-senyum melihat interaksi diriku dan Tresna. Hah, aku dan Tresna pelawak ya memangnya? Apa aku dan Tresna terlihat seperti pemain Opera Van Java? Apa kami seperti Nunung dan Sule? Oh jelas tidak, aku dan Tresna tidak punya bakat melawak, kami lebih jago berdebat tidak jelas.Aku mendengus kesal melihat Tresna yang kini membuang muka ke sisi kanan. "Kenapa sih selalu bilang-bilang soal bibir! KAMU MESUM BANGET!!!" Tuh kan aku sampai nyemprot kalo ngomong.Tresna melotot dan mengingatkan diriku. "Jangan teriak-teriak, kamu gak malu didengerin orang, hah?" Dengusan terdengar dan ia mulai berlagak meremehkan orang lagi.Huh, sombong amat! "Saya tuh cuma ngomong dua kali, kamu kok nambah-nambahin!"Ah benar juga, Tresna memang baru du
Aku menyipit, memikirkan kekayaan Tresna. Pikiranku yang sangat imajinatif ini mulai connecting the dots, mengaitkan satu persatu fakta hingga menghasilkan sebuah kesimpulan.Anjir, aku harus menguji kesimpulan ini. Aku harus melempar beberapa pertanyaan pada Tresna."Apa yang kamu janjikan ke Papa sampai Papaku bisa memuja kamu seperti itu?" tanyaku. "Kamu gak mengiming-imingi Papa saham atau as offet di luar negeri kan?"Satu alis Tresna terangkat, "Papamu bukan orang yang mudah silau dengan harta. Melihat bagaimana Papa kamu tidak pernah korupsi selama menjadi kepala cabang bank sudah jelas beliau tidak bisa ditaklukan dengan suap."Ah benar juga, Tresna sangat ahli membaca dan mengenali orang. Melihat bagaimana Tresna yang belum pernah bertemu dengan Papa sebelumnya tapi bisa mengambil kesimpulan seakurat ini membuatku salut sekaligus takut. Kemampuan ini mengerikan, ia bisa memanfaatkannya un
Setelah debat sana sini akhirnya kontrak kami selesai ditulis dan diperbaharui. Ada beberapa poin yang ditambahkan seperti perihal privasi dan kehidupan pribadi kami masing-masing.Aku dan Tresna sepakat untuk tidak berhubungan dengan lawan jenis seperti pacaran selama dua tahun ini meskipun kami hanya menikah kontrak. Kami tidak mau ada omongan buruk seperti salah satu dari kami ketahuan selingkuh meskipun secara teknis kami tidak selingkuh jika memiliki kekasih karena aku dan Tresna hanya menikah kontrak.Yah, poin utama sudah selesai tinggal aturan teknis saja yang kami bahas secara mendetail lagi setelah akad.Untuk urusan gono-gini Tresna memberikan cek yang bisa aku tulis berapapun nominalnya. Dengan syarat bisa dicairkan jika aku melakukan kerja tambahan yang akan ia beritahukan nanti di pertengahan nikah kontrak kami."Kamu gak mau minta keperawananku kan?" tanyaku dengan penuh selidik. Aku s
Rambutku tersanggul rapi, kebaya berwarna merah muda itu membuat penampilanku sekelas Annisa Pohan dan Selvi Ananda alias menantu orang nomor satu di Indonesia alias Presiden—seriusan gak bohong kalau aku cantik pake banget dan bisa dinobatkan sebagai aset kebanggaan Indonesia seperti Raisa, Isyana, dan Pevita. Tuh lihat, namanya saja sudah sama-sama memiliki akhir konsonan 'a', Raisa, Isyana, Pevita, Meilavia, hihi.Tulang pipiku yang tersapu blush on itu terus terangkat sedikit lantaran aku berlatih tersenyum di depan cermin usai Naya mendadaniku setengah jam lalu."Beneran gila lo ya?" tanya Naya dengan dahi terlipat saat melihatku yang nyengir di depan cermin seperti orang bego. "Senyum mulu dari tadi."Aku merotasikan kedua netraku melihat Naya yang kini masuk kamarku hanya dengan kebaya tanpa bawahan. "Kamu kali yang gila! Keliling rumah gak pake bawahan! Kamu j