Share

3. Meditasi Dulu, Ya!

Titik di mana aku harus berakhir dengan segala rasa sakit adalah saat  aku pernah tergeletak dengan darah yang mengalir bebas keluar  dari hidungku. Semua anggota keluargaku ada di sana, seharusnya untuk melihat  bagaimana penampilanku, tapi itu sebaliknya. Saat itu aku dilarikan ke rumah sakit akibat benturan keras ada keretakan pada tulang bagian belakangku. Mungkin itu terlihat kecil, tapi percayalah, selama dua bulan lamanya aku duduk di kursi roda hanya untuk pemulihan.  

Tubuhku terasa begitu kaku, tapi aku tidak bisa menolak dan harus lebih banyak beristirahat. Sejak kejadian yang pernah menimpaku kala itu, Bubun dan Papa melarang keras agar aku tidak ikut dalam pertandingan apapun. Bukankah aku pernah katakan kalau kalian lupa, aku akan mengingatkannya sampai kalian ingat  semuanya tentangku, tentang keras kepalaku yang terkadang sulit untuk dikendalikan. 

Aku tidak akan banyak membahas tentang apa itu seni Taekwondo, hanya saja kalian harus tahu sedikit tentang salah satu bela diri tersebut begitu terkenal di seluruh dunia, kalau aku tidak salah untuk mengingatnya, seni bela diri tersebut berasal dari negeri Gingseng, yaitu Korea Selatan.  Dalam  pertandingan Taekwondo, ada batasan dan aturan yang tidak diizinkan untuk  dilanggar pada saat pertandingan berlangsung. Kalian pasti sudah tahu, jadi aku tidak perlu mengatakannya terlalu jauh. Cideraku berasal dari mana. 

Selama masa pemulihan, semua kegiatanku benar-benar terputus. Dan aku baru kembali berkiprah, setelah hampir setengah tahun aku diminta untuk istirahat total. Dan hal tersebut sangatlah membosankan. Aku memang belum kembali untuk melanjutkan latihan lagi bersama teman-teman seperguruanku.  

Saat kejadian itu aku masih baru masuk semester awal. Aku sampai rela untuk tidak kuliah satu semester. Demi kesembuhan, Papa meminta keringanan pada pihak kampus agar aku bisa ambil cuti kuliah. Terlebih, saat itu belum terlalu banyak tugas. Tapi sekarang, jangankan bersantai sedikit, baru merebahkan tubuh di kasur saja pikiranku sudah melayang mengingat banyaknya laporan yang bum terselesaikan. 

Meski begitu, rasa bosanku akan tetap datang, jadi aku juga memutuskan untuk ikut futsal yang ada di kampusku. Walau di setiap pertandingan aku tidak ikut serta, aku hanya ingin meringankan beban pikiranku sedikit lebih tenang. Apalagi ketika tadi bertemu dengan Bang Ravi.

"La, Lo marah sama gue?" 

Tentu! Tentu aku marah pada Akmal. Bisa-bisanya dia memaksaku untuk mengikuti kemauan Bang Ravi. Memangnya aku anak kecil, mudah dibujuk begitu saja? Jangan takankan bagaimana wajahnya saat ini. Dia begitu khawatir, karena sejak pergi dari kantin, aku selalu menjauh darinya, walau melihatnya seperti seorang anak yang kehilangan orang tuanya. Melas! 

"Kalandra! Gue cuma ngomong doang lho, yang ngusul, kan, Abang Lo," katanya. 

Aku tidak peduli siapa yang mengatakannya, tapi aku sempat melihat mantanku saat di kantin tadi. Rasanya seperti mimpi, tapi aku tidak melihat ada bahagia yang terpancar di wajahnya. 

"La, Erika tuh, tadi dianggurin, sekarang masa mau dicuekin lagi," kata Akmal tiba-tiba. Dia seperti setan penasaran, menggangguku tanpa ampun. 

"Mantan!" 

Harusnya aku tidak perlu menjawab. Tapi aku tidak bisa menahan diri kalau Akmal sudah menyebut nama Erika di hadapanku. Ingin berteriak tapi ranahnya masih dalam lingkungan Kampus. Bagaimana bisa aku membuat kehebohan hanya karena Akmal yang menyebut nama mantan. 

Bagiku mantan hanya sebuah kata yang paling indah dari sebuah sampah. Kasar tapi nyatanya begitu. Erika membuat sebuah keputusan yang sangat mengecewakan. 

"Tapi Lo nggak boleh kasar gitu, La. Dia mantan terindah, kan?" 

"Nggak ada namanya mantan itu indah!" 

Sudah kesal, jadi aku tinggalkan saja  Akmal. Lagipula hari ini aku akan menemui dosen untuk pengajuan judul skripsi sebenarnya. Dan ada beberapa matakuliah yang memang sempat terlewat olehku, jadi aku harus melanjutkannya sebelum akhirnya aku mengikuti sidang nanti. 

Omong-omong tentang seni  dan olahraga, kalian perlu mengingat siapa lawanku saat dimedan tempur. Tapi rasanya tidak mungkin aku ceritakan semuanya, nanti saja aku akan kembali dan menceritakannya lagi pada kalian. 

"Lepasin! Ini sakit, kamu nggak kayak dulu, kamu kasar, kamu beda sama Andra!" 

"Jangan sebut namanya di depan wajahku! Kamu milikku sekarang, bisa bisanya kamu menyebut nama orang lain di saat bersamaku." 

Saat aku hendak melangkahkan kaki menuju kelas, aku mendengar pekik seseorang dari sudut lorong menuju kelasku. Aku benar-benar penasaran, siapa yang ada di sana. Bahkan semua orang tahu kalau di sudut sana hanya ada jalan buntu, tembok yang sedikit menjorok ke dalam, jadi akan sedikit sulit untuk melihatnya.  

"Lepasin!" 

"La, ayo! Lo mau ke mana sih? Di sana nggak ada jalan, Lo mau mgepain? Meditasi?" 

  

Aku menoleh saat Akmal menarik lenganku, langkahku terhenti seketika,  aku ingin mengatakan apa yang aku dengar barusan, tapi tanganku sudah ditarik paksa untuk masuk ke dalam kelas. 

"Lihat apa sih?" 

"Lo nggak dengar?" 

Akmal menggeleng, bahkan saat  kami sudah benar-benar  berada di dalam kelas pun,  pikiranku masih tertuju pada nyaring suara gadis yang benar-benar telah mengusik ketenanganku saat ini. 

"Rezvan! What are you doing, now?" 

Aku tidak tahu apa yang dikatakan oleh Akmal, tapi aku bisa mendengar tawa semua orang saat Mr. Karan menghampiriku, pria gagah dengan setelan kemeja yang senada kini berdiri di sisi kursiku. 

Aku mendongak saat Mr. Karan menyodorkan selembar kertas di atas mejaku. 

"Sorry sir, what is this? I really don't know," kataku. Aku sungguh payah untuk matakuliah dosenku yang satu ini. Padahal setiap sebulan sekali, Bang Ravi selalu mengajakku ke sebuah perpustakaan nasional yang ada di Jakarta. 

"Hasil ujian Minggu lalu! Rezvan, apakah kamu tidak berniat untuk memperbaiki nilaimu dalam matakuliah saya?" Aku menunduk, sejujurnya matakuliah Mr. Karan salah satu jenis matakuliah yang begitu membosankan menurutku. 

"C lagi? Ini sih  bisa kena sidang duluan sama Papa, terus gue harus gimana? Meditasi juga nggak ada hasilnya," batinku. Aku merenungkan segala kemungkinan  yang akan terjadi kalau Papa sampai melihat nilaiku yang buruk. Astaga, aku sangat kesal satu hari penuh masalahku sangat beruntun. Mula dari dekan, sampai sekarang dan tadi, seperti suara jin. Menyeramkan! 

Hari ini, sepertinya aku memang sedang mendapat kesialan yang luar biasa. Bukan hanya sekali, tapi melpah ruah karena setelah ini, mungkin aku akan mendapat ceramah dari Papa dan ocehan dari Bubun yang akan mengingatkanku banyak hal. 

Kalian akan bosan untuk mendengarkan mereka berbicara, begitu juga dengan aku, yang hampir setiap menit mendengarkan Bubun kalau sudah kesal, suaranya jauh lebih keras dari yang biasa aku dengar ketika Bubun memanggilku. 

Aku hanya bisa menghela napas untuk hari ini, setidaknya untuk menyelesaikan matakuliah yang sangat-sangat membosankan. Kalian bisa membayangkan sendiri, tidak perlu aku katakan secara penuh bagaimana kondisiku saat ini. Bahkan ketika aku melihat Akmal, diaa sudah menguap berkali-kali.  Memang tidak ada bedanya. 

Sepertinya aku harus meditasi lebih lama. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status