Share

6. Gerak Bebas

Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah makan malam, karena aku memutuskan untuk tidur lebih awal agar aku bisa bangun di pagi hari, karena ada matakuliah penting yang tidak boleh terlambat. 

Namun, seingatku semalam, aku mendengar Papa membentak Abang sampai Bubun tersentak, padahal Bubun ada di sana. Aku mendengar Papa mengatakan ketidak sukaannya atas keputusan Abang.

Entah apa yang dibahas semalam, pagi ini, tatap dingin Papa benar-benar menakutkan. Belum lagi, ketika aku datang Papa justru memalingkan wajahnya, berlalu meninggalkan meja makan dengan alasan takut terlambat. 

Aku yakin kalau semalam Abang dan Papa berdebat lagi, setelah hampir dua bulan terakhir aku tidak mendengar mereka berdebat. 

Papa dan Abang memiliki kadar kegengsian jauh lebih tinggi dari aku dan Kak Adena. Entah bagaimana bisa, kadar itu menurut seratus persen pada Bang Ravi, karena setahuku, Bang Ravi kalau sudah meminta satu hal, pasti akan sulit menggantinya dengan yang lain. 

Keras seperti batu! 

"Mas, kamu nggak sarapan bareng?" 

"Aku sarapan di kantor aja, lagian udah kesiangan." 

Sudah tiga kali Bubun menanyakan hal yang sama dengan jawaban yang sama pula, Bubun mendengarnya. 

Papa memang keras kepala, dan itu membuat Bubun terus mengusap dada lalu berkata 'sabar' mungkin lelah. 

"Bun, tensi Papa naik lagi? Perasaan dari semalam ngomel-ngomel terus," kataku, Bubun menggeleng,  kemudian pergi meninggalkan pintu utama setelah keberadaan Papa tak lagi terlihat. Aku tidak memikirkan hal lain kecuali meminta uang untukku pergi ke kampus. Aku menguntit di belakang Bubun,  usai sarapan tadi aku mengikutinya juga sampai ke depan pintu, tapi aku lupa apa tujuanku. Setelah mengingatnya, barulah aku buru-buru menyusul, sungguh hari yang menyebalkan. 

"Bun, ongkosnya belum," kataku. Bubun menoleh, kemudian menghela napas, aku yakin Bubun juga lupa. 

"Dek, ini bukan Bubun nggak kasih, tapi Bubun belum ambil uang, jadi pakai uang sendiri dulu, ya? Ada, kan?" 

Aku tidak lagi merengek, lagi pula, Bubun kalau sudah bersuara dengan nada yang begitu lembut, pasti Bubun tidak berbohong. Aku juga lupa kalau ini pertengahan Bulan, tandanya memang Bubun belum menerima transfer dari Papa. 

Aku hanya mengangguk, setelahnya bersalaman lalu pergi. Sejak semalam rumahku terasa menegangkan. Apalagi pagi ini aku juga belum melihat Abang keluar dari kamarnya, sarapan bersama juga tidak, lantas apa yang terjadi semalam? Aku penasaran tapi aku takut terlambat. 

"Bun, Andra pamit duluan!" Teriakku. Aku sudah memastikan kalau suaraku terdengar sampai ke dapur.  Beruntungnya aku tidak benar-benar pergi sendiri, ada Akmal yang selalu stay di sisiku. Kami juga selalu pergi bersama seperti sekarang, dia sudah menungguku di depan gerbang rumah.

"Sori lama. Gue harus menuntaskan ritual  dulu ke Bubun," kataku. Akmal tertawa, dia paham tapi dia tidak pernah berkomentar lebih tentang ucapanku.

***

Di sepanjang jalan Akmal terus bertanya tentang ke siapanku untuk ikut seleksi selanjutnya. Padahal, dia tahu kalau aku sangat susah mendapatkan izin terlebih dari Papa. 

Gerak bebas saja tidak cukup, karena izin selalu menjadi patokan utama dalam setiap langkah yang ku tempuh.

"Jadi gimana? Abang lo pasti udah minta izin ke Om Akbar, kan?"  

Baru sampai yang dibahas tentang perizinan, rasanya kepalaku ingin pecah, jujur aku ingin tapi mustahil kalau caranya tidak resmi. 

"Gue nggak tau, karena semalam mereka ngobrol gue udah duluan ke kamar." Akmal mengangguk, setelah ya ia memberiku sebuah kertas oranye yang sudah dilipat rapi. Aku menoleh, lalu menatap ke arahnya. 

"Dari Erika, kemarin dia kasih waktu Lo jalan duluan ke parkiran." 

"Mantan. Masih aja ngirim surat cinta. Dia pacaran sama Neandro, kan? Terus ini apa? Mau manasin gue? Nggak jaman!" 

"Buka dulu, siapa tahu itu penting, lo berburuk sangka terus deh, biar mantan, dia juga manusia, harus dihargai, apapun isinya." 

Aku tak lagi bisa berkomentar kalau Akmal sudah bersabda. Dia seperti kakak yang terkadang mampu menyadarkan pikiranku yang sempit. Tapi, dia juga bisa menjadi musuh jika aku sedang tak ingin diganggu. 

"Nanti gue baca. Sekarang udah ada Pak Johan," kataku. Aku pun menyelipkan kertas itu dalam buku catatan ku.  

***

"Motor Lo kayaknya belum pernah jajan deh, Mal. Masa dua kali mogok sih?"  Protesku membuat Akmal terkekeh. Sebal, dia malah memamerkan deretan gigi putih bersihnya padaku. Padahal aku sudah terlambat untuk menonton bersama Kak Adena di rumah. 

"Mal! Bisa nggak? Gue naik bus aja deh," kataku. Akmal berbalik untuk membuatku tenang. 

"Sabar, ini masih ada bensinnya, cuma mogok aja. Sabar-sabar. Mending  duduk dulu," tenang ucapan Akmal membuatku semakin panas. Aku tidak bisa  bersabar jika aku telat menonton  bersama Kak Adena yang baru saja kembali dari dinasnya. 

"Udah bisa! Ayo buruan!" 

Aku merelakan waktu dua puluh menitku karena sebuah motor yang  lama belum diservis. 

Omong-omong tentang motor, tadi saat kami diperjalanan menuju kampus, aku sempat melihat seseorang, meski tidak begitu jelas, tapi di sana aku bisa mengenali jaket yang dikenakannya sama seperti jaket yang pernah pelatih Farda kenakan. 

Apa aku salah lihat? Rasanya tidak, tapi aku takut alasanku kembali justru membawa sesuatu yang lebih perih dari sebelumnya. 

Dua tahun silam telah memberi luka, kali ini aku harus memikirkannya dengan sangat matang. Gerak bebasku saat ini bukan sekadar maju lalu menang, tapi memikirkan apa yang harus aku ambil sebelum bahaya menyerang. 

"Lusa, Julian tes fisik, kayaknya jadwalnya bareng sama gue, terus lo gimana?" 

Aku tersentak, aku mendekatkan diri agar aku bisa mendengar kembali apa yang Akmal ucapkan. Tapi sayang, Akmal justru tidak menjawabku. 

"Mal, gue mundur aja kali, ya?" 

Tiba-tiba Akmal memberhentikan motornya sampai membuatku hampir terjatuh. 

"Ada apa?" tanyaku. 

"Gue harus ke mini market, Mama nitip belanjaan, gue lupa," ucap Akmal. 

Aku mendengkus, kesal tapi aku tidak punya pilihan selain ikut dengan Akmal ke mini market. Aku sangat jengkel sebenarnya, tapi tak ada pilihan lain untuk menghemat uang. 

Hari ini aku hanya ada dua matakuliah,  tapi hanya satu dosen yang masuk, daripada aku menunggu lama di kampus, aku memilih pulang. Itulah sebabnya kami bisa pulang lebih awal. Padahal siang nanti kami akan latihan futsal. 

Sesampainya di mini market, aku memilih untuk menunggu di luar selagi Akmal berbelanja, aku kembali membuka amplop yang sengaja aku taruh di dalam tas, bukan lagi diselip buku. Aku tahu, aku termasuk ceroboh, jadi sebelum kejadian ada oknum nakal yang menemukannya, aku segera menaruhnya di dalam tas. 

Aku sempat ragu untuk membuka dan membacanya, karena aku tahu bagaimana sifat Erika. Dan kali ini aku memilih mengikuti apa yang Akmal katakan. 

Dear, Kala. 

Kalau kamu baca surat ini, aku harap kamu nggak lupa buat lunasi janji kamu dulu, kita kita ketemu di caffe biasa, ya. Di tunggu besok jam tiga sore. 

Jujur, aku malas, tapi aku bukan orang yang ingkar janji, setelah membacanya aku pun merobek kertas itu sampai tak tersisa. 

Sekali lagi, gerak bebas bukan sekadar memberi ruang untuk mengikuti apa yang diinginkan. Hanya saja, terlalu berat untuk dijalani tanpa sesuatu yang mewakili perasaan lega. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status