Share

1. Kemudahan

Kalian tahu apa yang indah dari sebuah kunci? Bukan karena bentuknya, tapi ada sebuah rahasia yang sulit kalian temukan di dalamnya. Katanya, kalau kunci itu memiliki makna tersembunyi, kalian sudah tahu itu? Aku rasa kalian belum tahu. Tentu, karena di sini aku yang akan mengajaknya untuk menyelam ke rumahku. Rumah di mana tempat semua orang kembali, tempat semua orang berlindung, dan tempat semua orang melepas lelah di saat semua tak lagi ada. 

Katanya kita memiliki banyak jalan sebelum memilih jalan yang tepat untuk tempat yang tepat. Kamu akan melakukan apa yang kamu mau untuk memilih jalan itu. Sama seperti aku, ketika aku memilih seni bela diri Taekwondo sebagai rumah untukku bertahan, berlindung, dan kembali pada kenyataan untuk tidak berhenti sebelum meraih. Mencoba untuk tidak menyerah meski lawannya berat. 

Aku tidak akan sendirian untuk melakukan apa yang aku mau hanya karena aku seorang yang bertindak sesuka hati, katanya seperti itu. Tapi lihatlah sekitarku, mereka banyak merayu, bahkan banyak menggoda ketika aku melintas di lobi kampus. Semua yang berteriak bukan hanya wanita yang sudah bersuami, tapi gadis-gadis yang baru menjadi Maba pun tak kalah histeris. 

Contoh kecil dari cara mereka menggoda seperti berteriak dan menarik tanganku meski mereka tahu kalau aku tak pernah sendiri. Ada Akmal di sana, sahabat baikku sejak SMP.

"Kalandra, kan? Gila dia ganteng banget, berasa kayak lagi turun dari surga." 

"Anaknya siapa sih dia? Bapaknya pasti ganteng nih, keturunan yang sempurna emang." 

Sedikit lebih dari kata, aku adalah orang yang populer  di manapun aku berpijak. Tak heran semua desis histeris yang mereka lontarkan membuatku terkikik sendirian. Mungkin kalian juga pernah, kan? Tak apa, aku tak akan tertawa, paling tidak aku tahu, kalau aku memang setampan itu untuk jadi idola dikalangan remaja.

Jangan tertawa setelah aku mengatakannya. Ini hanya gurau jadi kalian tidak perlu khawatir tentang ucapanku. Aku memang mempermudah jalan menuju kekesalan semua orang. Di balik senyumku yang terlampau manis, aku memiliki sisi tegas, bahkan ketika aku berhasil memutuskan cinta pertamaku dengan alasan yang cukup masuk akal, tapi orang lain akan melihat aku yang paling jahat. 

Tunggu, aku pernah mengatakan kalau  aku juga suka bermain futsal. Itu benar! Aku memang mencintai beberapa jenis olahraga yang aku rasa  sangat cocok dengan pasionku. Kalian tak akan percaya kalau dulu  aku menjuarai lomba di tingkat provisi, itu suatu kebanggan. Tahun di mana aku masih bersantai  tanpa memikirkan  beban hidup dan beban rasanya menjomlo. 

Jangan tanya bagaimana perasaanku, aku saja geli mengatakannya, apalagi kalian yang menikmati kisahku nanti sampai akhir. Aku hanya ingin mempermudah perkenalan kita, sebelum aku memberi luka untuk kalian. 

Aku bercanda. Aku hanya ingin kalian tahu satu hal tentang bagaimana rasa tumbuh dari sebuah kebencian. Ini bukan masalah, benci jadi cinta, tapi ini realita yang semua orang mungkin pernah mengalaminya. Contoh saja Minggu lalu, Abangku memotong pembicaraan dengan begitu santai sampa membuat Papa naik darah. Apalagi kalau Abang sudah berkelahi denganku, aku yakin kalian akan menjadi wasit di tengah perkelahian kami. 

"Andra, hari ini kamu ke kampus, kan?" Sebentar, aku lupa kalau pagi ini aku berniat membantu Bubun membereskan halaman belakang, tapi rasanya aku juga lupa kalau hari ini ada jam matakuliah.  Niatku tidak pupus, hanya saja tindakkanku harus tertunda untuk waktu yang lama. 

Setidaknya aku punya ladang pahala untuk membantu, kan? Lagipula siapa yang  tahu kalau usai shalat subuh tadi aku membuat Papa kesal karena aku merayu Bubun?  

"Iya, Bun. Nggak apa-apa, nih Andra tinggal? Nanti Bubun nggak ada yang bantu, gimana?" 

Bubun itu super lembut, jadi nggak perlu kasih kode, Bubun akan tahu.  Tentu apa yang aku ingin pun Bubun sudah mrngetahuinya. Lihat saja apa yang dilakukan Bubun, beliau justru membuatku semakin malas untuk melangkah, kebetulan Bubun masih berada di dapur, jadi aku memeluknya dengan sepenuh hati. 

"Bubun baik banget deh, cantik lagi Andra boleh pinjem motor Bubun,nggak?" Aku yakin Bubun akan mengizinkannya, tapi tidak akan semudah yang akan kalian pikirkan juga. Akan ada sosok pria gagah dengan sesuka hati menarik kerah bajuku. 

"Pakai angkutan umum. Nggak usah manja." Sudah kubilang, jangan katakan apapun padaku.  Aku hanya menoleh, menatap Papa yang sudah berdiri di belakang kami. Perasaanku dibuat kacau dalam waktu singkat. Padahal hanya ingin membuat Bubun luluh, kan, aku sudah tampan, kurang bagaimana lagi?  

Beri aku saran untuk menjadi lebih tampan dan imut. Ah, tidak-tidak. Nanti, semua orang akan berjejer meneriaki namaku, lagi. 

"Kamu mau apa? Minta jatah uang jajan? " Aku menggeleng dengan cepat, rasanya Papa seperti monster sangat menyeramkan. 

"Mas, kalem dikit, kamu datang tuh ngagetin orang terus, " balas Bubun. Aku akan merasa bangga, selain Bubun bucin padaku, Bubun akan memarahi Papa kalau Papa seenaknya datang tanpa permisi. 

"Maaf, lagian anak orang ini mau ngapain? Pakai goda-goda, mau minta tambah uang jajan, kan?" 

"Papa nih overthink terus deh, sama Andra. Nggak lah, Andra itu baik hati, jadi nggak akan minta yang macem-macem.

Aku tidak yakin dengan ucapanku sendiri, tapi melihat ekspresi wajah Papa, sudah membuktikan kalau Papa kesal. Aku melihatnya, karena Papa pergi usai mencium kening Bubun di hadapanku. Papa itu romantis, kalau kalian ingin tahu, tapi Papa terlalu gengsi, makanya selalu diejek oleh Kakek Ibram atau Kakek Zee. 

Aku hanya menyarankan, untuk tidak senyum-senyum sendiri, karena Papa dan Bubun memang selucu itu. Aku memang anak paling beruntung, hadir di tengah keluarga yang memiliki sifat yang bervariasi, mungkin kalian juga begitu. Tetap syukuri, ya! Apapun itu,  karena Papa pernah mengatakan padaku tentang kata 'mudah' tapi sebenarnya sulit. Jadi lakukan semampumu, jangan paksakan apa yang kamu tidak bisa. 

Untuk saat ini, aku masih melakukan apa yang aku suka, bukan berarti aku melupakan apa yang membuatku bahagia sebelumnya. Hanya mencoba, setidaknya itu mempermudah untuk tidak jatuh ke dalam lubang yang sama, hanya untuk melawan apa yang seharusnya tidak perlu dilakukan hanya dengan tenaga. 

"Andra, lepasin, Bubun kapan selesai masak kalau kamu masih peluk begini." Aku tersentak, hampir saja aku melupakan niatku, aku pun melepaskan tanganku dari pinggang Bubun yang ramping meski sudah memiliki tiga orang anak. Bubun tersenyum, tak lupa wajahku selalu diusapnya karena memang Bubun begitu khawatir setiap kali melihatku. 

"Jangan buat Bubun khawatir lagi," lembut suara Bubun terkadang membuatku ingin terus memeluknya. Padahal aku sudah besar, tapi aku tidak bisa jauh dari Bubun. 

Aku cukup tahu diri untuk tidak merepotkan semua orang, tapi ragaku seolah  tak mengizinkan untuk menjauh terlalu lama. Seperti saat aku bersama dengan Akmal. Sahabat terbaik yang aku punya. Dia selalu meyakinkanku akan banyak hal. Kalau semua orang berhak memilih hidup dan tujuannya. Tergantung bagaimana dia bisa membawa semua itu dengan baik. Pasti akan diberi kemudahan terus menerus. 

Aku percaya, karena aku yakin semua hal pasti bisa dilewati dengan baik. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status