Share

4. Babak Penyisihan?

"Lakukan sekali lagi!" 

"Itu belum benar, lakukan lagi!" 

Hei, aku sudah katakan setelah ini tubuhku  pasti akan pegal-pegal. Tapi pelatih masih saja memintaku untuk melakukannya berulang kali. 

Jika saja bukan karena seleksi, mungkin aku akan pulang lebih awal, setelah kejadian di kampus membuat kepalaku benar-benar pusing. Belum lagi aku sempat bertemu dengan Erika , mantan pacar yang cantik tapi sayang, jiwanya lemah. 

Kalian akan menganggap aku lelaki tak tahu diri, dan  aku tak peduli akan hal itu. Jika saja dia bisa mengambil keputusan yang tepat, mungkin hari ini yang duduk bersamaku bukan Akmal.   Tapi, kenyataannya, Akmal yang memang selalu bisa kuandalkan.  Akmal seperti orang suruhan Papa, kapanpun  dan di manapun dia selalu ada  meski sesekali aku ingin sendiri, tetap saja  Akmal akan ada di sana bersamaku. 

"Kal, muka Lo bening banget,  glow up parah!" ucap Akmal. Aku mengerutkan keningku, melihatnya menatapku seperti sedang menaruh hati. Aku menamparnya pelan, agar matanya tidak melotot ke arahku seolah ingin keluar saja. 

"Lo mau ngepain? Suka Lo sama gue?" 

"Dih! Nggaklah! Gue masih waras, masih suka sama lawan jenis juga, emangnya Lo?! Jomlo dipertahankan." 

Akmal memang paling bisa membuatku naik darah. Ucapannya terdengar mengejek, tapi berhubung aku baik hati, jadi aku akan membiarkannya bicara sesuka hati. Lagipula aku sudah sangat lelah, jadi untuk memarahi Akmal harus butuh tenaga yang ekstra agar memberinya pelajaran tidaklah sia-sia dan aku sangat puas pastinya.  

Sudah hampir dua jam kami berlatih, hanya untuk seleksi peserta yang akan mengikuti kejuaraan. Banyak hal yang masih aku takutkan dalam pertandingan. Tapi Bang Ravi selalu memberiku keyakinan dengan ceramahnya yang terkadang aku sendiri tidak paham. 

Sebelumnya Bang Ravi telah memberitahuku untuk datang ke gedung. Aku pikir hanya untuk menonton saja, tapi pelatih Farda justru memintaku untuk pemanasan. Aku memang rutin datang ke perguruan, meski hanya berlatih, bukan untuk bertanding. Karena cidera yang pernah aku alami cukup serius. Bila terjadi lagi, mungkin akan fatal akibatnya. Jadi aku memutuskan sebagai pemain cadangan. Alasanku sebenarnya adalah ingin kembali berkiprah, tapi aku sadar dengan kemampuanku yang cukup minim untuk saat ini. Selain daya tahan tubuhku yang cukup buruk,  aku juga harus merelahan sedikit waktuku untuk berkunjung ke rumah sakit untuk cek up. 

"Mal, kalau semisal nanti gue pulang ke rumah, kira-kira Papa gue ngamuk lagi nggak, ya?"  Terdengar konyol memang, tapi aku benar-benar takut untuk pulang dan berhadapan langsung dengan Papa, rasanya mentalku bisa menciut, padahal Papa tidak akan ringan tangan, segalak apapun, Papa hanya akan memarahi anak-anaknya. Tidak pernah ringan tangan. 

Karena aku tahu, Papa selalu berkata untuk tidak menyakiti  meski kesalahannya besar. Cukup diami, dan lakukan  apapun tanpa pedulikan orang yang tak suka. Sampai detik ini, Papa sendiri juga masih kesal dengan Om Radhin, rival terberat Papa ketika meraka masih muda. 

Padahal Papa dan Om Radin adalah saudara sepupu, bisa dibilang mereka adik dan kakak. Hanya saja, saat itu Papa pernah membuat Bubun kesal, lucu sekali kiisah cinta mereka. Dan aku tidak pernah mau berguru pada Papa meski Kakek Ibram memintanya. 

Papa itu minim bergurau, jad tidak ada romantis-romantisnya! Ada banyak wanita di kantornya, tapi hanya Tante Adista yang kukenal, selain sebagai sekertaris pribadi Papa, Tante Adista  juga merupakan sahabat baik Papa dan Bubun, jadi kalau ketemu sama Tante Adista, beliau yang lebih dulu datang dan mencubit meski dia tahu kalau aku sudah tidak kecil lagi. 

"La! Ya ampun, Untung nggak kena tendang, bisa repot urusannya kalau Om Akbar tau anak gantengnya bonyok lagi," celoteh Akmal. 

Sejak tadi aku hanya memikirkan kemungkinan terbesar bila aku pulang ke rumah, sampai tidak sadar saat ini aku sedang latihan bersama yang lain. 

"Baik, sekarang kalian bisa istirahat, saya akan  mulai menyeleksi siapa saja yang akan ikut pertandingan pekan ini. Kita akan melakukan sparing bersama perguruan Cakrawala. Nama-nama yang dipanggil harap  pindah posisi dan persiapkan diri untuk latihan besok." 

Hal yang sangat membosankan, seandainya Julian tidak menarikku dalam masalah, mungkin hari ini aku tidak akan berada di sini, dan tidak mungkin juga akan ikut seleksi yang pastinya akan ditentang oleh Papa. 

"Kalandra. Akmal, Ferdy, silakan kalian persiapkan diri  besok kita akan  melakukan penimbangan,  mengingat lawan di Cakrawala begitu bagus, dengan bobot yang ideal." 

Apa katanya? Penimbangan? Serius aku akan ikut seleksi? Setelah seleksi pasti akan ada penyisihan, siapa saja yang akan ikut kejuaraan tingkat Nasional yang diselenggarakan di GOR Jakarta beberapa bulan lagi. Astaga, ini sangat mendadak sekali. Kalau kabar ini terdengar sampai telinga Papa, bisa-bisa peliharaan ku di rumah dipenggal semua. Aku yakin ini ulah Bang Ravi, jadi dia yang harus bertanggung jawab buat semuanya. 

Aku pastikan Abangku harus dapat hukuman, lagipula ide konyolnya beberapa hari lalu benar-benar membuatku jadi kena amarah Bubun, padahal aku diam saja, meresahkan sekali jika diingat, Bang Ravi tidak ada lembut-lembutnya apalagi kalau di samakan seperti squisy 

"Pelatih, apa nggak bisa di ganti aja ? Saya masih belum bisa ikut serta walau itu sparing," kataku. Entah akan dipercaya atau tidak, tapi kenyataannya pemulihan untuk tulang itu cukup lama. Terlebih saat tahu ada beberapa kerusakan sendi yang tanpa aku sadari benar-benar membuatku semakin takut untuk ikut serta. 

Ada trauma yang coba kuhindari selama ini, bahkan ketakutan terbesarku adalah tidak siap melihat kecewa dan sedih di wajah Bubun. 

Sejak kecil aku tidak pernah melihat Bubun menangis karena kenakalanku. Sesekali mungkin pernah, tapi itu karena ulah Om Tio yang diam-diam sengaja membawaku pergi tanpa izin. Bubun begitu cemas dan akhirnya menelpon Papa karena khawatir.  Saat itu usiaku masih sangat muda untuk tahu segalanya. Terlebih, posisi Om Tio adalah adik kandung Bubun. Tetap saja Bubun akan memarahinya hingga Om Tio meminta ampun, bukan pada Bubun saja, Papa saat itu terlihat sangat  kesal, tapi untuk pertama kalinya aku melihat Papa menahan emosinya adalah ketika kami sedang menghadiri jamuan makan malam di sebuah hotel berkelas  yang telah di boking untuk para tamu penting saja. 

Di sana ada Om Radin bersama Tante Melody yang begitu anggun. Aku bisa merasakan aura yang sangat negatif ketika Papa melihat Om Radin, hanya saja itu untuk sesaat, setelahnya semua kembali normal. 

Dan kini,  aku harus disadarkan oleh kenyataan, kalau babak penyisihan itu akan segera terlaksana. Meski aku telah menolaknya. 

"Kamu harus mencobanya, Kal,  sudah dua tahun kamu vakum dari perguruan, dan sekarang kamu harus kembali aktif." 

Aku tidak tuli, tapi itu terdengar seperti paksaan, bahkan ada sebuah keanehan di setiap kata yang terlontar dari Pelatih Farda. Tapi apa?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status